Satu jam kemudian.
Adriana masih terisak. Kejadian beberapa saat yang lalu masih tercetak jelas di dalam benaknya. Dia begitu tidak berdaya saat laki-laki asing yang kini berbaring di sampingnya sambil memeluknya, menodai dirinya dengan paksa. Kesucian yang dia jaga selama ini direnggut oleh laki-laki itu. Sia-sia usaha yang dia lakukan untuk melepaskan diri dari serangan brutal itu.Adriana benar-benar tidak berdaya. Rasa nyeri di pangkal pahanya membuat dia meringis kesakitan. Tidak hanya itu. Seluruh tubuhnya dipenuhi bekas-bekas kecupan dari bibir kotor laki-laki itu. Dia pun bergidik ngeri sekaligus jijik."Jangan pergi," ucap laki-laki itu saat Adriana hendak beranjak dari tempat tidur. Pelukannya di tubuh Adriana semakin bertambah erat."Lepaskan aku." Akhirnya Adriana bisa bersuara. Dia menepis tangan itu dengan kasar.Laki-laki itu bergerak, mengerang keras sambil memegang kepalanya. Dia menegakkan punggungnya, lalu menoleh ke arah Adriana. Kedua matanya membelalak lebar."Siapa kau?" tanya laki-laki itu disertai suara geraman.Adriana bangun dari posisi berbaringnya. Dia memegang erat selimut yang menutupi tubuh polosnya. Pelan-pelan dia melenan ludahnya yang terasa pahit."Aku penghuni kamar ini,"katanya tegas."Tidak mungkin. Aku lah yang seharusnya berada di sini," sergah laki-laki itu.Adriana mendengus kesal. Bisa-bisanya orang itu mengakui sebagai penghuni kamar ini. Padahal dia lah penghuni sebenarnya.“Pasti telah terjadi kesalahpahaman,” tukas Adriana.Tidak mungkin dua orang berbeda menghuni satu kamar yang sama. Pihak hotel pasti telah melakukan kesalahan. Dia harus memastikannya.“Tidak ada kesalahpahaman. Kau lah yang salah masuk ke sini,” ucap laki-laki itu.“Bagaimana aku bisa melakukan kesalahan? Aku telah melakukan reservasi sebelumnya, dan mendapatkan kunci di meja resepsionis,” tukas Adriana.Laki-laki itu memicingkan matanya. “Kau pasti sedang berbohong, dan berpikir bisa mengelabui diriku,” balas dia. “Atau jangan-jangan kau telah mencuri kunci kamar ini," tuduhnya langsung.Adriana menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia merasa heran. Mimpi apa dia semalam sehingga hari ini dia bertemu dengan laki-laki asing sombong dan menuduh dia yang bukan-bukan? Seumur hidup dia telah belajar untuk tidak berbohong, atau mencuri sesuatu yang bukan miliknya."Setelah semua yang kau lakukan padaku, kau bisa berkata seperti itu. Sungguh tidak bisa dipercaya." Adriana mengingatkan. Dia menunjuk dirinya sendiri, lalu pada laki-laki itu.“Dengar Tuan. Aku tidak tahu siapa dirimu. Namamu, pekerjaanmu, dan semua yang melekat di tubuhmu. Lalu, bagaimana bisa kau menuduhku yang bukan-bukan tanpa memberi bukti yang jelas ?"Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Sepertinya dia sedang berpikir dan -ingat apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Lalu dia diam seribu bahasa.Adriana bangkit berdiri. Dia mengangkat gagang telepon. Dia harus menghubungi siapa saja, entah resepsionis atau manajer hotel ini untuk mengatasi masalah ini."Halo ....Ini dari kamar 1112. Saya ingin meminta tolong karena telah terjadi masalah di kamar saya," ucap Adriana begitu panggilan teleponnya tersambung. "Baik, saya akan menunggunya."Adriana membalikkan tubuhnya. Dia menatap laki-laki itu dengan sorot mata setajam silet. Dia bertekad tidak akan takut pada sikap mengintimidasi yang dipancarkan oleh lawan bicaranya."Aku telah menghubungi resepsionis. Dia akan memberi penjelasan tentang kekeliruan ini," kata Adriana tanpa mengalihkan tatapannya.Adriana memungut jubah mandinya. Buru-buru dia memakainya. Dia tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk pada petugas hotel yang akan menemuinya di sini.Laki-laki itu melakukan hal yang sama. Dia mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Setelah itu dia hanya diam, seolah kehabisan kata-kata."Selamat malam. Perkenalkan, saya manajer hotel ini. Kalau boleh tahu, apa masalah yang saat ini sedang Anda hadapi?" tanya wanita yang mengaku sebagai manajer itu dengan senyum cerah terkembang setelah masuk ke kamar Adriana.Adriana berdeham sedikit sebelum menjawab pertanyaan si manajer. Dia menoleh sebentar ke arah tamu tidak diundang itu. Dia harus bergegas bila ingin masalah ini cepat selesai."Maaf sebelumnya karena menggangu waktu Anda yang berharga," ucap Adriana basa-basi. "Tuan di sana masuk ke kamar ini, dan menuduh saya masuk ke kamarnya tanpa ijin. Sebenarnya saya lah penghuni kamar ini, tapi Tuan itu bersikeras saya lah yang bersalah.""Beri saya waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan persoalan ini," balas wanita itu. Dia meraih ponsel di saku bajunya, lalu menghubungi seseorang."Maaf, apa Tuan bersedia memperkenalkan diri pada kami sehingga kami bisa meluruskan masalah ini?" tanya si manajer seraya menatap laki-laki itu lurus.Laki-laki itu berjalan mendekat. "Nama saya Daren Liew. Saya datang ke sini karena istri saya telah memesan satu kamar di hotel ini untuk kami." Dia melirik tajam ke arah Adriana, "Tapi dia telah menempati kamar kami tanpa ijin terlebih dahulu," ucapnya tegas. Dia melihat Adriana dengan tatapan tajam.Selang lima menit kemudian seorang wanita muda muncul di tengah-tengah mereka dengan wajah pucat pasi. Wanita itu terlihat ketakutan dengan bibir bergetar. Dia menundukkan kepalanya dalam. Dia membisikkan sesuatu di telinga si manajer."Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Kami mendapati salah satu pegawai kami telah melakukan kesalahan karena kesamaan nama depan Nona ini dengan istri Tuan," ujar si manajer hati-hati.Adriana terkesiap saat mendengar penjelasan si manajer. Pantas saja laki-laki itu menuduh dia macam-macam. Semua disebabkan oleh kesamaan nama depannya dengan istri laki-laki bernama Daren Liew itu.Benang kusut itu akhirnya terurai. Petugas resepsionis lah yang telah melakukan kesalahan karena tidak meneliti nama panjang istri Daren Liew dengan namanya. Adriana kini bisa bernapas lega."Kamar ini memang disediakan untuk Nona Adriana Kirani. Sedangkan kamar Tuan ada di lantai lain," ucap si manajer dengan nada suaranya yang bergetar. "Setelah ini saya memastikan tidak akan ada kekeliruan lagi. Saya akan mengantar Tuan menuju kamar Anda," pungkas dia mengakhiri polemik di antara mereka semua.Adriana memutar kepalanya. Dia melihat tubuh Daren yang kaku. Wajahnya memerah menahan amarah yang kentara. Kedua tangannya terkepal erat."Terima kasih. Maaf kalau saya mengganggu istirahat Anda," kata Adriana, lalu mengantar kedua wanita itu pergi.Adriana memutar tubuhnya. Dia berjalan mendekati Daren pelan-pelan. Emosi yang menggelegak kini memenuhi dadanya."Sekarang, apakah kau sudah puas?" sindir Adriana."Itu bukan murni kesalahanku," elak Daren tidak mau disalahkan begitu saja."Kau masuk ke kamar ini. Lalu ....." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Lihat apa yang kau perbuat padaku.""Sekarang apa maumu?" tanya Daren gusar.Dia menjambak rambutnya. Samar-samar ingatannya muncul ke permukaan. Sebelumnya dia mabuk berat. Tanpa dia sadari dia telah merenggut kegadisan Adriana."Apa hanya itu yang bisa kau ucapkan? Setelah semua yang kau lakukan padaku, kau masih bertanya apa mauku." Adriana berjalan cepat mendekati Daren. Tangannya terangkat, lalu menampar pipi Daren keras."Kembalikan semua seperti semula!" teriak Adriana histeris disertai bulir-bulir bening yang membasahi pipinya. "Kau harus bertanggung jawab karena menghancurkan hidupku.Daren tidak berkata apa-apa. Wajahnya terlihat kaku. Permintaan Adriana sungguh tidak masuk akal."Aku tidak mungkin menikahimu karena aku tidak mencintaimu. Aku mengaku bersalah. Aku melakukannya dalam kondisi mabuk, dan tidak mengenalimu.""Dasar pengecut!" ucap Adriana. Dia mundur satu langkah, menjauhi Daren."Sebutkan nomor rekeningmu. Aku akan mengganti kerugianmu dengan sejumlah uang yang sangat besar," kata Daren selanjutnya."Lupakan saja. Aku tidak membutuhkan uang busukmu," balas Adriana dengan mata berapi-api. "Sebaiknya kau segera meninggalkan kamar ini. Saat aku kembali, aku harap dirimu sudah pergi dari sini."Adriana masuk ke dalam kamar mandi. Dia menyalakan kran di bak mandi. Di sana dia menangis sejadi-jadinya.Dering telepon berbunyi. Adriana mempertajam pendengarnya untuk memastikan bahwa suara itu berasal dari ponselnya. Setelah itu dia bergerak cepat mengambil benda pipih itu di dalam tasnya."Halo ..." Adriana menunggu beberapa detik sampai si penelepon berbicara. Seharusnya dia tahu dia tidak boleh mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak dia kenal. Tapi, entah kenapa hatinya seolah mendorong dia menerima panggilan tersebut."Halo. Ini aku, Daren Liew."Adriana menelan ludahnya. Apakah dia tidak salah dengar? Laki-laki itu tiba-tiba menghubungi dia."Maaf, sepertinya kau salah nomor," tukas Adriana.Adriana menatap Airin, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir saat Airin berbisik, bertanya siapa yang meneleponnya. Dia menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Airin diam. Sahabatnya itu pun mengikuti permintaannya, memilih untuk menunggu."Aku tidak salah nomor. Aku memang sengaja menghubungi dirimu, Adriana," tukas Daren.Adriana berdeham sebentar, lalu berkata, "Aku
“Apa Tuan Hari akan kembali ke kantor nanti?” tanya Adriana pada wanita sebelumnya dengan nada putus asa. Dia sangat mengerti petugas resepsionis itu pasti merasa jengkel karena sikapnya.“Aku tidak tahu pasti,” jawab wanita itu sekenanya.“Tidak bisakah kau memastikannya?” desak Adriana putus asa.Wanita itu menatap sebal pada Adriana. Dia tidak segan menunjukkan rasa tidak sukanya. Dengan malas tangannya terulur, meraih gagang telepon di atas meja. Lalu dia memencet beberapa nomor, menghubungi seseorang.Adriana memalingkan wajahnya. Dia tidak mau dianggap sedang menguping pembicaraan orang lain. Tujuannya datang ke sini adalah untuk menemui Tuan Hari Leo.“Aku sudah menghubungi asisten beliau. Dia bilang Tuan Hari masih memiliki jadwal rapat dengan pegawai. Hanya saja dia tidak tahu pasti kapan beliau kembali.”Adriana memutar kepalanya. Matanya berbinar, bercahaya. Dia merasa senang, setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan untuk bisa menemui laki-laki itu.“Terima kasih atas
Malam datang menjelang. Adriana sampai di gedung kantor Daren dalam keadaan sebagian besar ruangan telah mati lampunya. Semua pegawai telah meninggalkan pekerjaannya. Kini tinggal dirinya yang masih di sini.Adriana membuka pintu ruangan Daren yang terang, tapi sepi. Dia tidak menemukan bosnya. Ke mana Daren pergi? Dia bertanya dalam hati. Lalu, Adriana memutuskan untuk menunggu. Mungkin sekarang Daren sedang pergi ke suatu tempat. Tapi, dia yakin nanti Daren akan kembali ke sini.***Daren berdiri terpaku di depan pintu. Nanar matanya menatap Adriana yang tengah meringkuk di sofa. Sejak kapan Adriana berada di sana? Kenapa dia tidak mengetahui saat Adriana masuk ke sini?"Hei ... bangun." Pelan-pelan Daren menggoyangkan tubuh Adriana. Dia berusaha membangunkan gadis itu. Hanya saja Adriana tidak bergerak sama sekali.Daren lalu berjongkok di hadapan Adriana. Ditatapnya wajah Adriana yang tampak sangat lembut dan meneduhkan. Wajah itu tidak cantik, tapi ada sesuatu yang menarik dan su
"Memangnya apa yang aku katakan pada dia?" Adriana balas bertanya dengan nada menantang. Matanya menatap tajam pada Daren. Tentu saja dia tidak terima bila selalu dituduh yang bukan-bukan. Ini bukan kali pertama Daren melakukannya padanya. Tanpa bukti yang jelas, Daren memojokkan dia seperti seorang pesakitan. Daren tidak menjawab pertanyaan Adriana. Merasa kesal karena Adriana menantangnya, Daren segera masuk ke ruangannya. Dia melempar tasnya di atas meja dengan kasar. Adriana mengikuti Daren. Dia menarik lengan Daren agar laki-laki itu bisa menghadap ke arahnya. Wajah Daren masih terlihat kaku dan memerah. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kau akan selalu memperlakukan aku seperti ini?""Aku... Kau.... Ah, sudahlah. Anggap saja aku tidak pernah bertanya," kilah Daren, lalu membelakangi Adriana kembali. "Ya ampun. Bagaimana bisa kau mengatakan semua omong kosong itu dengan mudah? Beberapa detik yang lalu kau menuduhku yang bukan-bukan, lalu detik berikutnya kau menga
Tepat hari minggu. Adriana akhirnya mendapatkan hari liburnya setelah dia bekerja sangat keras selama hampir satu minggu lamanya. Dia bahkan tetap bekerja sampai kemarin. Seharusnya dia mendapat jatah libur selama dua hari. Tapi, Daren meminta dia melakukan sesuatu di luar pekerjaannya. Daren memberinya imbalan yang sangat besar bila dia bersedia menerima pekerjaan itu. Tentu saja itu sebuah tawaran yang tidak mampu dia tolak."Yang perlu kau lakukan hanyalah menyediakan makan siang untuk tamuku," ucap Daren dua hari sebelumnya saat Adriana bersiap untuk pulang. "Kau tidak perlu memaksa. Semua makanan untuk tamuku bisa kau pesan melalui aplikasi pesan antar.""Apa tidak ada orang lain? Asisten rumah tangga atau apa pun itu," tukas Adriana mencoba menolak permintaan Daren. Dia ingin menyegarkan isi kepalanya yang terasa sangat panas akibat pekerjaannya."Aku tidak pernah memiliki asisten rumah tangga. Ada yang membantuku membersihkan rumah, tapi dia hanya datang tiga kali satu minggu."
Saat ini.Angan-angan Adriana untuk menikmati hari liburnya ternyata pupus sudah. Dia terpaksa tinggal di rumah seharian karena merasa tidak enak badan. Tiba-tiba demam datang menyerang, memaksanya tetap berbaring di atas tempat tidur.Setelah kejadian kemarin, suasana hatinya berubah buruk. Sisa hari itu dia jalani dengan merenung dan melamun. Setitik penyesalan mulai menggelayuti. Tanpa dia sadari, dia telah membuka rahasia besar dalam hidupnya. Adriana menyalahkan lidahnya yang terlalu lancang mengeluarkan sebuah fakta yang tidak banyak orang tahu, kecuali Airin.Bila harus jujur, pernah tinggal di panti asuhan bukanlah sesuatu yang buruk. Setidaknya dia merasa beruntung karena memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi, alasan dia bisa tinggal di sana lah yang membuat dia merasa sangat kesal, marah, dan benci pada kedua orang tuanya. Bahkan sampai sekarang dia masih menyimpan dendam pada mereka.***"Ibumu pergi dengan laki-laki lain saat usiamu dua tahun."Begitu awal mula cer
“Ini rumah atau gudang?” gumam Daren setelah berkeliling di rumah Adriana. Ukuran rumah ini tidak lebih dari setengah apartemennya, dia membatin dalam hati.“Kau tidak memiliki hak untuk menghina rumahku,” bisik Adriana dengan mata tertutup. “Setidaknya aku mendapatkannya dengan hasil kerja kerasku dan dalam kondisi serba terbatas.”“Kau sudah sadar?” tanya Daren sedikit terkejut ternyata Adriana mendengar kata-katanya.Daren melihat Adriana mulai membuka matanya perlahan. Adriana menoleh ke arahnya sekilas, lalu menghadap ke arah langit-langit kamar di atasnya. Gadis itu berusaha menegakkan punggungnya untuk duduk.“Jam berapa sekarang?” tanya Adriana seakan lupa waktu.Sudah berapa lama dia pingsan? Kenapa Daren masih di sini? Adriana bertanya-tanya dalam hati.“Jam tujuh malam,” jawab Daren. Dia mendekati Adriana. Tangannya menyentuh dahi Adriana yang tidak lagi demam. “Keadaanmu telah membaik.Tapi, menurutku sebaiknya kau pergi ke dokter.""Tidak mau. Aku hanya membutuhkan istiraha
Adriana berdiri di luar gedung kantornya cukup lama. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dan menyita perhatiannya. Airin mengajaknya bertemu di sebuah kafe langganan mereka."Hai...." seru Airin. Tangannya melambai saat Adriana mendorong pintu kafe itu dan tatapan mata mereka saling bersirobok.Adriana membalas lambaian itu, buru-buru dia menghampiri Airin. Sahabatnya pasti telah menunggu dirinya sejak tadi. Jalanan menuju ke sini sangat padat oleh kendaraan, menyebabkan dia datang terlambat."Maaf, kau harus menunggu diriku," ucap Adriana, lalu memeluk Airin erat.Airin hanya tersenyum. Pelan-pelan dia mendorong Adriana agar melepaskan pelukannya. Dia memandang Adriana cukup lama."Kau agak kurusan," kata Airin mengomentari penampilan Adriana yang sedikit mengkhawatirkan. Sepertinya Adriana telah kehilangan bobot tubuhnya cukup banyak."Tidak terlalu kurus. Berat badanku hanya turun dua kilogram," tukas Adriana seraya mengulas senyum manis.Duduk saling berhadapan, dua orang sahabat itu
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening