Adriana berdiri di luar gedung kantornya cukup lama. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dan menyita perhatiannya. Airin mengajaknya bertemu di sebuah kafe langganan mereka."Hai...." seru Airin. Tangannya melambai saat Adriana mendorong pintu kafe itu dan tatapan mata mereka saling bersirobok.Adriana membalas lambaian itu, buru-buru dia menghampiri Airin. Sahabatnya pasti telah menunggu dirinya sejak tadi. Jalanan menuju ke sini sangat padat oleh kendaraan, menyebabkan dia datang terlambat."Maaf, kau harus menunggu diriku," ucap Adriana, lalu memeluk Airin erat.Airin hanya tersenyum. Pelan-pelan dia mendorong Adriana agar melepaskan pelukannya. Dia memandang Adriana cukup lama."Kau agak kurusan," kata Airin mengomentari penampilan Adriana yang sedikit mengkhawatirkan. Sepertinya Adriana telah kehilangan bobot tubuhnya cukup banyak."Tidak terlalu kurus. Berat badanku hanya turun dua kilogram," tukas Adriana seraya mengulas senyum manis.Duduk saling berhadapan, dua orang sahabat itu
Setengah jam lalu. Daren baru saja keluar dari gedung tempat acara. Acara itu berjalan sangat lancar dan menyenangkan. Dia bertemu dengan para pengusaha sukses yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Dari pertemuan itu dia berniat menambah relasi bisnisnya yang kelak bisa bermanfaat untuk perusahaannya."Kau bisa pulang lebih dulu," ucap Daren pada Keanu saat sampai di tempat parkir."Kau mau ke mana?" Keanu menatapnya dengan sorot mata heran."Aku akan ke kantor terlebih dahulu. Ada berkas yang tertinggal yang harus aku periksa di rumah," jawab Daren, berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam mobilnya sambil melambaikan tangannya. Dia segera melajukan mobilnya cepat.Saat sampai di kantor, Daren tidak menemui seorang pun. Semua pegawainya telah kembali ke rumah masing-masing. Tanpa terkecuali Adriana. Padahal sebelumnya dia berharap Adriana belum meninggalkan kantor. Usai mengambil berkas yang dia butuhkan, Daren langsung meninggalkan kantornya. Saat Daren dalam perjalanan pulang, Daren
Butuh waktu beberapa detik untuk Daren mencerna informasi dari Adriana. Akhirnya dia juga ikut melompat turun. Langkah kakinya panjang saat menyusul Adriana."Apa maksudmu sebenarnya?" Daren langsung mencekal tangan Adriana begitu jarak di antara mereka tinggal beberapa sentimeter.Adriana menghentikan langkahnya. Dia memutar tubuhnya, menghadap ke arah Daren dengan kepala tertunduk. Benaknya berkecamuk, kenapa rasanya sangat berat mengulang kalimatnya kembali yang dulu pernah dia ucapkan pada Daren?"Kenapa hanya diam? Atau kau sengaja mengatakannya agar aku merasa penasaran?" tanya Daren terdengar tidak sabaran."Bukankah aku dulu pernah bilang. Aku memintamu untuk menerimaku bekerja kembali selama satu bulan. Sekarang apa kau sudah ingat itu?" Perlahan Adriana mengangkat kepalanya, lalu matanya bertatapan dengan sepasang mata yang membalas menatapnya dengan sorot mata yang tajam."Omong kosong macam apa ini? Aku tidak pernah mengingatnya karena bagiku itu tidak terlalu penting," se
Adriana memandang map yang baru saja diserahkan oleh Daren dengan tatapan kosong. Dia tidak mampu berkata apa-apa saat menerimanya. Perasaannya campur aduk. Seharusnya dia bahagia karena status pekerjaannya sekarang menjadi jelas. Tapi, kenyataannya dia tidak merasakan apa-apa. Sungguh aneh.Dulu dia sangat menginginkan pekerjaan ini karena sudah lama dia menganggur. Tabungannya menipis, dan tinggal beberapa lembar uang ratusan ribu. Tapi kini, keinginannya itu seakan memudar seiring berjalannya waktu. Menjadi asisten pribadi Daren Liew tidak lagi menarik hatinya.“Sekarang kau tidak perlu mengkhawatirkan soal kontrak kerjamu," kata Daren menenangkan. "Aku harap kau bisa tetap bekerja di sini selama waktu yang tertera di kontrak tersebut. Bila kinerjamu sangat memuaskan, aku akan memperpanjang kontrak untukmu. Atau kau bisa menjadi pegawai tetap perusahaan ini." Cukup lama Daren menatap Adriana, memastikan Adriana mendengar semua ucapannya. "Kenapa kau hanya diam? Biasanya kau selalu
Adriana menarik tangannya kuat-kuat. "Lepaskan tanganku.""Bantu aku bangun," pinta Daren setelah melihat Adriana hampir menangis karena dirinya.Adriana menarik tangan Daren agar laki-laki itu bisa menegakkan punggungnya. Setelah memastikan Daren mampu duduk dengan benar, Adriana melepaskan pegangannya. Dia mundur beberapa langkah karena dia merasa sangat sesak saat berdekatan dengan Daren dalam suasana seperti sekarang ini. Tanpa terlihat jelas, dia mengusap setitik air mata di sudut matanya."Kapan kau datang ke sini?" tanya Daren, mencoba mengusir keheningan di antara mereka berdua."Jam sebelas malam. Seseorang menghubungiku, dan memintaku untuk datang ke sini setelah memberi tahu kecelakaan yang kau alami," jawab Adriana panjang lebar."Kau pasti terburu-buru hingga tidak sempat berganti pakaian," seloroh Daren sambil menahan senyum saat melihat piyama Adriana yang bermotif karakter hello Kitty.Wajah Adriana langsung merona saat mendengar olok-olok dari Daren. Mungkin Daren mas
Adriana terkesiap, tersadar oleh situasi yang melingkupi dirinya. Tangannya terangkat, lalu menampar pipi Daren dengan keras. Napasnya tersengal-sengal. Dengan sekuat tenaga dia mendorong tubuh Daren menjauh darinya."Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya untuk kesekian kalinya," ucap Adriana dengan nada gusar. Kelopak matanya terasa basah, dan sebentar lagi air matanya jebol karena pertahanannya runtuh.Daren memegang pipinya yang terasa sakit. Tersadar dari kelakuan buruknya, dia menatap Adriana lekat-lekat. Sedikit banyak dia menyesali perbuatannya. Entah kenapa dia bisa mencium paksa Adriana, dan membuat Adriana begitu tersiksa."Maafkan aku." Daren berjalan mendekati Adriana. "Aku lupa diri. Tidak seharusnya aku melakukan itu.""Jangan katakan apa-apa. Aku tidak ingin mendengarnya," kata Adriana pahit. Dia berjalan mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja, lalu bergegas meninggalkan Daren. "Adriana... tunggu. Aku akan mengantarmu pulang," sergah Daren. Dia segera menyusu
Dua hari kemudian.Adriana menemui manajer personalia, lalu menyerahkan surat kontrak kerjanya. Setelah berpikir dan mempertimbangkan keputusan yang harus dia ambil, akhirnya Adriana menandatangani surat itu. Tidak tampak binar bahagia di wajahnya.“Kenapa kau tidak langsung menyerahkan surat ini kembali?” tanya manajer personalia, seorang wanita di akhir tiga puluhan dengan wajah tidak ramah, usai menerima map yang diberikan oleh Adriana.“Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku disibukkan dengan pekerjaan, jadi baru sekarang aku sempat menyerahkan ini,” jawab Adriana.Adriana lalu bergegas meninggalkan wanita itu karena situasinya tidak menyenangkan. Di belakangnya dia mendengar wanita itu mengomel, mengeluhkan sikapnya yang buruk. Adriana tidak menggubrisnya. Dia terus berjalan, kembali ke tempatnya.“Dari mana kau?”Adriana melihat Daren tengah menunggu dirinya. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Sengaja mengulur waktu, Adriana meraih gelas di atas meja, meneguk minumannya hingga h
"Kau tidak perlu repot-repot menjemput kami, Chantal," ucap Daren satu menit kemudian. Dia tidak membiarkan wanita itu memeluknya terlalu lama. Dengan sorot jijik dia menarik kedua lengan wanita itu yang melingkari tubuhnya."Tentu saja aku tidak repot. Dengan senang hati aku melakukannya," timpal Chantal dengan nada menggoda, seolah tidak mengerti perasaan Daren. "Terlebih kami lah yang mengundangmu datang ke sini."Merasa jengah dengan situasi yang sedang terjadi, Adriana menarik tangannya dari genggaman tangan Daren. Dia seperti berada di tempat yang salah dan bertemu dengan orang yang salah. Tidak seharusnya dia berada di sini. Tapi, Daren semakin mempererat genggamannya."Ngomong-ngomong, kau belum memperkenalkan kami." Chantal melirik Adriana dengan tatapan menghina."Perkenalkan, ini Adriana." Daren menoleh sekilas ke arah Adriana. "Adriana, ini Chantal. Dia adalah istri Mr. Smith," ucap Daren, lalu melepaskan tangan Adriana.Malas-malasan Chantal mengulurkan tangannya, menjaba
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening