“Apa Tuan Hari akan kembali ke kantor nanti?” tanya Adriana pada wanita sebelumnya dengan nada putus asa. Dia sangat mengerti petugas resepsionis itu pasti merasa jengkel karena sikapnya.
“Aku tidak tahu pasti,” jawab wanita itu sekenanya.“Tidak bisakah kau memastikannya?” desak Adriana putus asa.Wanita itu menatap sebal pada Adriana. Dia tidak segan menunjukkan rasa tidak sukanya. Dengan malas tangannya terulur, meraih gagang telepon di atas meja. Lalu dia memencet beberapa nomor, menghubungi seseorang.Adriana memalingkan wajahnya. Dia tidak mau dianggap sedang menguping pembicaraan orang lain. Tujuannya datang ke sini adalah untuk menemui Tuan Hari Leo.“Aku sudah menghubungi asisten beliau. Dia bilang Tuan Hari masih memiliki jadwal rapat dengan pegawai. Hanya saja dia tidak tahu pasti kapan beliau kembali.”Adriana memutar kepalanya. Matanya berbinar, bercahaya. Dia merasa senang, setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan untuk bisa menemui laki-laki itu.“Terima kasih atas informasinya. Aku akan menunggunya,” ucap Adriana. Lalu, dia masuk ke ruang tunggu yang berada tidak jauh dari sana.***Adriana mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia menatap ke sekililing dengan kesadaran yang belum tekumpul sepenuhnya. Detik selanjutnya dia baru ingat dia sedang berada di mana. Ternyata dia ketiduran selama menunggu.Adriana meraba pergelangan tangannya, melihat jam tangannya. Sekarang hampir pukul lima sore, seharusnya Tuan Hari Leo sudah kembali ke kantornya. Adriana beringsut dari sofa, lalu berjalan menemui petugas resepsionis tadi.“Tuan Hari Leo sedang mengikuti rapat sekarang,” tukas wanita itu sebelum Adriana sempat berbicara.Adriana menganggukkan kepalanya, lalu berkata, “Baiklah kalau begitu. Aku akan tetap menunggu sampai beliau bersedia menemuiku.”Wanita itu tidak menanggapi. Dia pura-pura tidak mendengar ucapan Adriana. Dengan sengaja dia mengerjakan sesuatu, dan mengacuhkan Adriana.Adriana mundur beberapa langkah, lalu berhenti. Mendadak sebuah ide muncul di benaknya. Dia berencana masuk ke lift, naik ke lantai berapa pun untuk menemui Tuan Hari Leo. Meskipun terlihat berbahaya, dia bertekad melakukannya. Dia tidak mungkin hanya duduk diam menunggu.Adriana masuk ke dalam lift. Dia memencet tombol secara acak. Untuk masalah selanjutnya, dia akan memikirkannya belakangan.Tiiing.Pintu lift terbuka. Adriana segera keluar. Dia berjalan lurus melewati lorong sambil mengawasi sekitar. Dadanya terasa bergemuruh. Tidak hanya itu. Telapak tangannya juga ikut dingin."Maaf, permisi sebentar."Adriana menghentikan langkah seorang wanita yang mendorong troli kebersihan. Wanita itu terlihat waspada saat Adriana mendekatinya. Dia diam menunggu sambil menatap tajam ke arah Adriana."Saya ingin menemui Tuan Hari Leo, tapi saya tersesat. Bisakah Anda memberi tahu letak ruangannya?" tanya Adriana sepelan mungkin.Wanita itu tidak menjawab pertanyaan Adriana. Bibirnya terkunci rapat. Dia menatap Adriana dengan sorot curiga."Aku tidak bisa mengatakannya. Sebaiknya kau bertanya pada petugas resepsionis di bawah." Setelah mengucapkan itu, dia menyeret troli kebersihannya, meninggalkan Adriana yang masih diam terpaku.Lagi-lagi Adriana dibenturkan oleh kenyataan pahit. Seolah usahanya selama seharian menjadi sia-sia. Sekuat apa pun dia mencoba, dia tetap gagal juga.Dengan langkah gontai Adriana menghampiri lift. Dia memutuskan meninggalkan gedung ini, lalu melapor pada Daren bahwa dia telah gagal mengemban misi. Selanjutnya, dia akan memasrahkan semua keputusan di tangan Daren. Terserah Daren, apakah masih mau menerima dia bekerja, atau memecatnya untuk kedua kalinya.Adriana masuk ke dalam lift. Rupanya dia tidak sendirian. Ada seorang gadis berusia sekitar sepuluh tahun berdiri di sudut sambil menyeka air matanya beberapa kali."Hei, kenapa kau menangis?" tanya Adriana, lalu mendekati gadis itu.Gadis itu melirik Adriana sebentar. Setelah itu dia menggeleng cepat. Bibirnya terkunci rapat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun."Apa kau mau es krim? Kita bisa ke kafetaria di dekat lobi," ucap Adriana menawarkan diri. Pikirnya, gadis ini tidak mungkin menolak tawarannya karena anak-anak pasti menyukai es krim.Masih sama. Tidak ada jawaban. Meskipun begitu, Adriana tetap menggandeng gadis itu keluar dari lift, membimbingnya masuk ke kafetaria gedung itu."Es krim gelato cookies and cream satu. Steak sapi lada hitam dan es lemon tea satu," ucap Adriana di counter pemesanan. Siang tadi dia belum makan apa-apa. Baru sekarang dia merasakan kelaparan.Setelah memesan makanan, Adriana memilih meja di dekat jendela. Di sana tidak terlalu ramai. Jadi, mereka bisa menikmati makanan dengan tenang."Siapa namamu?" tanya Adriana mencoba memecah keheningan. Dia paling benci dengan suasana sepi seperti sekarang ini. Seolah dirinya sedang berbicara dengan sebuah patung.Gadis itu menundukkan kepalanya dalam. Jari-jarinya memainkan ujung kemejanya. Sangat kentara sekali bahwa dia tidak tertarik mengobrol dengan Adriana.Tidak berselang lama, pelayan datang mengantarkan pesanan. Dia menyunggingkan senyum ramah saat menyapa keduanya. Usai meletakkan makanan di atas meja, dia buru-buru beranjak pergi."Nabila ...."Adriana langsung menoleh saat mendengar seseorang memanggil sebuah nama. Matanya terbuka lebar saat menyadari sesuatu. Laki-laki yang saat ini sedang berdiri di depan mejanya adalah Tuan Hari Leo."Maaf, sebelumnya. Apa Tuan mengenal dia?" tanya Adriana sambil menunjuk gadis itu."Dia cucuku. Kenapa kau membawanya ke sini?" tanya Tuan Hari Leo."Saya tidak sengaja bertemu dengannya. Dia menangis, lalu saya mengajaknya kemari," jawab Adriana terus terang.Tuan Hari Leo sepertinya mengerti penjelasan Adriana. Dia tidak bertanya lagi. Sekarang perhatiannya mengarah pada cucunya sepenuhnya."Nabila .... Sebaiknya kita pulang sekarang. Maafkan kakek karena tidak sempat memperhatikanmu sepanjang hari ini, " ucap Tuan Hari Leo dengan nada prihatin.Gadis itu, Nabila, tidak menanggapi permintaan maaf kakeknya. Dia asyik sendiri dengan es krim yang berada di depannya. Dia seakan berada di dunianya sendiri.Tuan Hari Leo memaklumi kondisi Nabila. Dia menarik sebuah kursi, lalu mendudukinya sambil menghela napas panjang. Dia akan menunggu sampai cucunya selesai menghabiskan es krim itu."Siapa kau? Sepertinya kau bukan pegawaiku."Tuan Hari Leo memandang Adriana lurus, merasa tebakannya sangat benar. Adriana tampil berbeda dari pegawainya dan sangat mencolok. Sedangkan semua pegawainya selalu memakai seragam yang dibuat khusus sebagai identitas perusahaannya.Adriana berdeham sebentar. "Saya Adriana, Tuan. Saya adalah asisten pribadi Tuan Daren Liew."Adriana menangkap raut wajah Tuan Hari Leo yang berubah sedikit tegang. Laki-laki itu pasti tidak menyangka Adriana datang ke gedung ini untuk menemuinya. Sepertinya kehadiran Adriana tidak pernah dia harapkan."Ada perlu apa kau datang ke sini?" tanya Tuan Hari Leo. "Aku merasa tidak memiliki janji temu denganmu." Dia menambahkan."Saya ingin bertemu Tuan untuk meminta maaf atas ketidakhadiran Tuan Daren di janji pertemuan kemarin," kata Adriana hati-hati. "Ada sedikit masalah di perusahaan yang menyebabkan dia tidak bisa meninggalkan ruangannya," kata Adriana membela Daren. Kata-katanya merupakan sebuah kebohongan."Itu tidak menjadikan alasan untuk membenarkan tindakannya," sergah Tuan Hari Leo. Dia terlihat sangat kesal saat mengucapkan kata-kata itu. "Lagi pula seharusnya dia lah yang datang ke sini menemuiku, bukannya dirimu.""Ya, Tuan. Tapi, sampai sekarang kami belum bisa mengatasi masalah yang sedang kami hadapi. Sehingga Tuan Daren memerintahkan saya untuk menemui Anda."Adriana tertawa dalam hati. Sejak kapan dia pandai berbohong? Kata demi kata berisi kebohongan begitu lancar keluar dari bibirnya."Tetap saja aku tidak menyukai alasan itu. Sekali sudah berjanji, dia harus menepati. Apa pun keadaannya," ucap Tuan Hari Leo berapi-api.Tuan Hari Leo melirik Nabila sekilas. Cucunya telah menghabiskan makanannya. Sekarang waktunya mereka pulang untuk beristirahat. Dia lalu mengajak Nabila meninggalkan kafetaria itu. Dia sengaja meninggalkan Adriana tanpa mengatakan apa-apa.Hati Adriana mencelos. Perasaannya sungguh merana. Pupus sudah harapan yang dia pupuk setinggi langit. Dia akan kembali ke kantor dengan tangan kosong. Dengan langkah gontai dia ikut meninggalkan kafetaria itu."Adriana ...."Langkah Adriana langsung berhenti. Dia menoleh ke arah sumber suara. Tuan Hari Leo berdiri di samping mobilnya sambil menatap dia lurus."Aku memberi satu kesempatan. Besok siang, suruh Daren menemuiku. Itu adalah belas kasih yang bisa aku tawarkan terakhir kalinya untuk dia," ucap Tuan Hari Leo lantang. Setelah itu dia masuk ke dalam mobilnya.Malam datang menjelang. Adriana sampai di gedung kantor Daren dalam keadaan sebagian besar ruangan telah mati lampunya. Semua pegawai telah meninggalkan pekerjaannya. Kini tinggal dirinya yang masih di sini.Adriana membuka pintu ruangan Daren yang terang, tapi sepi. Dia tidak menemukan bosnya. Ke mana Daren pergi? Dia bertanya dalam hati. Lalu, Adriana memutuskan untuk menunggu. Mungkin sekarang Daren sedang pergi ke suatu tempat. Tapi, dia yakin nanti Daren akan kembali ke sini.***Daren berdiri terpaku di depan pintu. Nanar matanya menatap Adriana yang tengah meringkuk di sofa. Sejak kapan Adriana berada di sana? Kenapa dia tidak mengetahui saat Adriana masuk ke sini?"Hei ... bangun." Pelan-pelan Daren menggoyangkan tubuh Adriana. Dia berusaha membangunkan gadis itu. Hanya saja Adriana tidak bergerak sama sekali.Daren lalu berjongkok di hadapan Adriana. Ditatapnya wajah Adriana yang tampak sangat lembut dan meneduhkan. Wajah itu tidak cantik, tapi ada sesuatu yang menarik dan su
"Memangnya apa yang aku katakan pada dia?" Adriana balas bertanya dengan nada menantang. Matanya menatap tajam pada Daren. Tentu saja dia tidak terima bila selalu dituduh yang bukan-bukan. Ini bukan kali pertama Daren melakukannya padanya. Tanpa bukti yang jelas, Daren memojokkan dia seperti seorang pesakitan. Daren tidak menjawab pertanyaan Adriana. Merasa kesal karena Adriana menantangnya, Daren segera masuk ke ruangannya. Dia melempar tasnya di atas meja dengan kasar. Adriana mengikuti Daren. Dia menarik lengan Daren agar laki-laki itu bisa menghadap ke arahnya. Wajah Daren masih terlihat kaku dan memerah. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kau akan selalu memperlakukan aku seperti ini?""Aku... Kau.... Ah, sudahlah. Anggap saja aku tidak pernah bertanya," kilah Daren, lalu membelakangi Adriana kembali. "Ya ampun. Bagaimana bisa kau mengatakan semua omong kosong itu dengan mudah? Beberapa detik yang lalu kau menuduhku yang bukan-bukan, lalu detik berikutnya kau menga
Tepat hari minggu. Adriana akhirnya mendapatkan hari liburnya setelah dia bekerja sangat keras selama hampir satu minggu lamanya. Dia bahkan tetap bekerja sampai kemarin. Seharusnya dia mendapat jatah libur selama dua hari. Tapi, Daren meminta dia melakukan sesuatu di luar pekerjaannya. Daren memberinya imbalan yang sangat besar bila dia bersedia menerima pekerjaan itu. Tentu saja itu sebuah tawaran yang tidak mampu dia tolak."Yang perlu kau lakukan hanyalah menyediakan makan siang untuk tamuku," ucap Daren dua hari sebelumnya saat Adriana bersiap untuk pulang. "Kau tidak perlu memaksa. Semua makanan untuk tamuku bisa kau pesan melalui aplikasi pesan antar.""Apa tidak ada orang lain? Asisten rumah tangga atau apa pun itu," tukas Adriana mencoba menolak permintaan Daren. Dia ingin menyegarkan isi kepalanya yang terasa sangat panas akibat pekerjaannya."Aku tidak pernah memiliki asisten rumah tangga. Ada yang membantuku membersihkan rumah, tapi dia hanya datang tiga kali satu minggu."
Saat ini.Angan-angan Adriana untuk menikmati hari liburnya ternyata pupus sudah. Dia terpaksa tinggal di rumah seharian karena merasa tidak enak badan. Tiba-tiba demam datang menyerang, memaksanya tetap berbaring di atas tempat tidur.Setelah kejadian kemarin, suasana hatinya berubah buruk. Sisa hari itu dia jalani dengan merenung dan melamun. Setitik penyesalan mulai menggelayuti. Tanpa dia sadari, dia telah membuka rahasia besar dalam hidupnya. Adriana menyalahkan lidahnya yang terlalu lancang mengeluarkan sebuah fakta yang tidak banyak orang tahu, kecuali Airin.Bila harus jujur, pernah tinggal di panti asuhan bukanlah sesuatu yang buruk. Setidaknya dia merasa beruntung karena memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi, alasan dia bisa tinggal di sana lah yang membuat dia merasa sangat kesal, marah, dan benci pada kedua orang tuanya. Bahkan sampai sekarang dia masih menyimpan dendam pada mereka.***"Ibumu pergi dengan laki-laki lain saat usiamu dua tahun."Begitu awal mula cer
“Ini rumah atau gudang?” gumam Daren setelah berkeliling di rumah Adriana. Ukuran rumah ini tidak lebih dari setengah apartemennya, dia membatin dalam hati.“Kau tidak memiliki hak untuk menghina rumahku,” bisik Adriana dengan mata tertutup. “Setidaknya aku mendapatkannya dengan hasil kerja kerasku dan dalam kondisi serba terbatas.”“Kau sudah sadar?” tanya Daren sedikit terkejut ternyata Adriana mendengar kata-katanya.Daren melihat Adriana mulai membuka matanya perlahan. Adriana menoleh ke arahnya sekilas, lalu menghadap ke arah langit-langit kamar di atasnya. Gadis itu berusaha menegakkan punggungnya untuk duduk.“Jam berapa sekarang?” tanya Adriana seakan lupa waktu.Sudah berapa lama dia pingsan? Kenapa Daren masih di sini? Adriana bertanya-tanya dalam hati.“Jam tujuh malam,” jawab Daren. Dia mendekati Adriana. Tangannya menyentuh dahi Adriana yang tidak lagi demam. “Keadaanmu telah membaik.Tapi, menurutku sebaiknya kau pergi ke dokter.""Tidak mau. Aku hanya membutuhkan istiraha
Adriana berdiri di luar gedung kantornya cukup lama. Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dan menyita perhatiannya. Airin mengajaknya bertemu di sebuah kafe langganan mereka."Hai...." seru Airin. Tangannya melambai saat Adriana mendorong pintu kafe itu dan tatapan mata mereka saling bersirobok.Adriana membalas lambaian itu, buru-buru dia menghampiri Airin. Sahabatnya pasti telah menunggu dirinya sejak tadi. Jalanan menuju ke sini sangat padat oleh kendaraan, menyebabkan dia datang terlambat."Maaf, kau harus menunggu diriku," ucap Adriana, lalu memeluk Airin erat.Airin hanya tersenyum. Pelan-pelan dia mendorong Adriana agar melepaskan pelukannya. Dia memandang Adriana cukup lama."Kau agak kurusan," kata Airin mengomentari penampilan Adriana yang sedikit mengkhawatirkan. Sepertinya Adriana telah kehilangan bobot tubuhnya cukup banyak."Tidak terlalu kurus. Berat badanku hanya turun dua kilogram," tukas Adriana seraya mengulas senyum manis.Duduk saling berhadapan, dua orang sahabat itu
Setengah jam lalu. Daren baru saja keluar dari gedung tempat acara. Acara itu berjalan sangat lancar dan menyenangkan. Dia bertemu dengan para pengusaha sukses yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Dari pertemuan itu dia berniat menambah relasi bisnisnya yang kelak bisa bermanfaat untuk perusahaannya."Kau bisa pulang lebih dulu," ucap Daren pada Keanu saat sampai di tempat parkir."Kau mau ke mana?" Keanu menatapnya dengan sorot mata heran."Aku akan ke kantor terlebih dahulu. Ada berkas yang tertinggal yang harus aku periksa di rumah," jawab Daren, berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam mobilnya sambil melambaikan tangannya. Dia segera melajukan mobilnya cepat.Saat sampai di kantor, Daren tidak menemui seorang pun. Semua pegawainya telah kembali ke rumah masing-masing. Tanpa terkecuali Adriana. Padahal sebelumnya dia berharap Adriana belum meninggalkan kantor. Usai mengambil berkas yang dia butuhkan, Daren langsung meninggalkan kantornya. Saat Daren dalam perjalanan pulang, Daren
Butuh waktu beberapa detik untuk Daren mencerna informasi dari Adriana. Akhirnya dia juga ikut melompat turun. Langkah kakinya panjang saat menyusul Adriana."Apa maksudmu sebenarnya?" Daren langsung mencekal tangan Adriana begitu jarak di antara mereka tinggal beberapa sentimeter.Adriana menghentikan langkahnya. Dia memutar tubuhnya, menghadap ke arah Daren dengan kepala tertunduk. Benaknya berkecamuk, kenapa rasanya sangat berat mengulang kalimatnya kembali yang dulu pernah dia ucapkan pada Daren?"Kenapa hanya diam? Atau kau sengaja mengatakannya agar aku merasa penasaran?" tanya Daren terdengar tidak sabaran."Bukankah aku dulu pernah bilang. Aku memintamu untuk menerimaku bekerja kembali selama satu bulan. Sekarang apa kau sudah ingat itu?" Perlahan Adriana mengangkat kepalanya, lalu matanya bertatapan dengan sepasang mata yang membalas menatapnya dengan sorot mata yang tajam."Omong kosong macam apa ini? Aku tidak pernah mengingatnya karena bagiku itu tidak terlalu penting," se