"Bisa kau ulangi lagi kata-katamu?"
Daren mendorong kursinya mundur. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan dengan kedua matanya memindai sosok Adriana yang masih berdiri di depan pintu. Rupanya gadis itu punya nyali untuk menemuinya dengan menyampaikan omong kosong."Perkataanku cukup jelas untuk kau dengar. Aku hanya meminta waktu selama satu bulan. Setelah itu, aku berjanji akan menghilang dari hidupmu. Selamanya." Adriana menjawab sangat tegas tanpa rasa takut.Daren berhenti tepat di depan Adriana. Jarak mereka terlalu dekat sehingga Daren bisa melihat hembusan napas Adriana yang cepat. Adriana pasti berusaha menahan rasa malunya untuk menemuinya kembali, batinnya dalam hati."Aku tidak mau. Sekali aku bilang tidak, maka itu berarti kau tidak memiliki kesempatan untuk mengubah pikiranku," ucap Daren teguh pada pendiriannya.Adriana memijit pelipisnya. Usaha apa lagi yang harus dia lakukan untuk membuka hati laki-laki di depannya ini? Dia telah mempertaruhkan harga dirinya untuk datang ke ruangan ini kembali. Tidak mungkin dia pergi begitu saja, menyerah pada kemauan laki-laki tiran ini."Kau telah berbuat semena-mena. Kalau kau tidak membutuhkan asisten pribadi, kenapa kau membuka lowongan pekerjaan?" tanya Adriana. Dia mengeluarkan erangan yang kentara karena benar-benar merasa sangat jengkel."Perusahaan ini milikku. Jadi, aku lah yang memiliki aturannya," jawab Daren ringan. Dengan gaya santai, dia membalikkan tubuhnya, lalu duduk di sofa.Dari tempatnya duduk, Daren melirik sekilas ke arah Adriana. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Mungkin saja dia akan menerima asisten pribadi yang lolos seleksi, asal bukan Adriana. Siapa saja asal bukan gadis itu, tegasnya.Adriana mengibaskan tangannya. Sepertinya sia -sia semua usaha yang telah dia lakukan. Pikiran Daren tidak akan pernah berubah."Aku harus mengaku kalah. Pada awalnya aku berpikir bahwa kau bisa mengubah keputusanmu, lalu menerimaku bekerja denganmu. Tapi, ternyata aku salah," ucap Adriana putus asa.Adriana memutar tubuhnya. Dia mengayun langkah cepat tanpa menoleh ke belakang. Meskipun sangat menyakitkan, dia tidak ingin meraung-raung menangisi nasibnya. Dia percaya di luar sana telah menunggu hadiah terbaik untuk dirinya.Sepeninggal Adriana, Daren menatap ke arah pintu yang tertutup dengan sorot mata yang kosong. Hari ini dia telah bersikap di luar kendali, dan bertindak sangat kejam. Seharusnya dia dapat mengesampingkan masalah pribadinya dengan pekerjaan. Sayangnya, dia tidak mampu melakukannya. Kejadian dua bulan lalu masih merongrong dirinya, dan menimbulkan rasa tidak suka pada Adriana.Daren sangat menyadari seharusnya dia tidak membenci Adriana. Pertemuannya kala itu dengan Adriana bukanlah karena kesalahan gadis itu. Dia memasuki kamar sebuah hotel, dan mendapati Adriana berada di kamar yang sama. Saat itu tanpa sadar dia telah mempermalukan dirinya sendiri di depan orang asing yang baru dia temui pertama kali, menuduh Adriana yang bukan-bukan. Padahal sebenarnya pertemuan mereka terjadi karena ketidaksengajaan akibat keteledoran salah satu petugas hotel.Pintu ruangan Daren diketuk seseorang. Tidak menunggu lama, akhirnya muncul Keanu di hadapan Daren dengan raut wajah tegang. Dadanya kembang kempis memperlihatkan napasnya yang berhembus kencang."Ada masalah apa?" tanya Daren sambil mengerutkan keningnya."Kau seharusnya menghadiri pertemuan dengan pemilik perusahaan Building corps setengah jam lalu," jawab Keanu.Daren membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa kehabisan kata-kata. Informasi yang baru disampaikan oleh Keanu seolah menampar dirinya."Tidak ada yang memberi tahuku sebelumnya," tukas Daren sekenanya. Padahal dalam hati dia menyimpan perasaan sesal karena melupakan pertemuan sepenting itu.Keanu membuang muka, lalu menggertakkan giginya. Bisa-bisanya Daren bersikap sesantai itu. Seharusnya Daren menyadari bahwa pertemuan dengan pemilik perusahaan konstruksi itu sangat penting bagi perusahaan mereka."Semua jadwal untukmu sudah tertulis di buku agenda kerjamu. Aku yakin asisten pribadimu yang sebelumnya telah mengatakannya padamu, tapi kau lupa," ucap Keanu pelan, berusaha menjaga kesabarannya."Aku tidak tahu soal pertemuan hari ini. Bila aku mengetahuinya, aku pasti tidak hanya duduk-duduk di sini," kilah Daren. Dia tidak mau disalahkan begitu saja."Beberapa menit yang lalu aku memberi tahumu. Sayangnya kau sudah terlambat untuk menghadiri pertemuan itu," ucap Keanu setelah mampu menguasai dirinya. "Jadi, kau harus menanggung konsekuensinya karena sekarang Tuan Hari Leo pasti menganggapmu telah mempermainkan dirinya karena tidak menemuinya tanpa memberi alasan sebelumnya."Daren menarik napas panjang. Dia merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Keanu. Dia sangat memahami bahwa dia telah melakukan sebuah kesalahan, meskipun itu murni bukan kesalahannya. Tuan Hari Leo pasti tidak ingin menjalin kerja sama dengan perusahaannya. Mungkin bila ada seorang asisten pribadi, dia tidak akan melewatkan kesempatan yang ada untuk menghadiri sebuah pertemuan penting."Baiklah, aku mengaku salah. Apa kau memiliki saran untuk memperbaiki semua ini?" Daren menatap Keanu dengan sorot mata penuh harap.Keanu mendengus, lalu mengulas senyum sinis. "Kau bisa menghubungi dia. Minta maaflah dengan sungguh-sungguh, dan mengatur pertemuan ulang. Proyek kerja sama dengan perusahaan Building corps sangat penting untuk kita.""Aku akan mengikuti saranmu," ucap Daren sungguh-sungguh, lalu dia melanjutkan, "Satu lagi. Apa kau bisa ...." Mulut Daren tertutup rapat karena Keanu langsung memotong ucapannya."Tidak bisa. Aku tahu kau ingin mengatakan apa. Jawabanku tidak," tukas Keanu terus terang."Aku belum menyelesaikan ucapanku," sergah Daren dengan mata melotot tajam."Kau tidak perlu melakukannya. Aku sudah tahu kau akan memintaku untuk mencari pengganti Adriana. Jawabanku tidak," ucap Keanu tegas.Daren tidak bisa berkata-kata. Mulutnya terkunci rapat. Keanu seolah mampu membaca isi pikirannya."Kau tahu kenapa aku memilih Adriana di antara belasan kandidat lainnya?" tanya Keanu dengan mata menerawang jauh. "Karena dia berhasil melalui tes yang aku siapkan sampai akhir." Keanu menjawab sendiri pertanyaannya."Itu hanya kebetulan...," kilah Daren sambil tertawa sumbang."Aku menyisipkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan sifat, temperamen buruk, dan kebiasaanmu selama ini. Dan, mereka memilih kabur," ucap Keanu dengan bibir mencebik. "Hanya Adriana yang bertahan hingga akhir," pungkas Keanu, lalu meninggalkan ruangan Daren.***"Aku tidak sedih. Aku cuma merasa kesal," ucap Adriana pada Airin, sahabatnya, sambil mengaduk nasi di dalam wajan.Perutnya sangat lapar karena sejak tadi siang dia belum menyantap makanan. Dia akhirnya memutuskan untuk membuat nasi goreng. Masakan yang sederhana dan diolah dengan cepat.Satu jam lalu Airin, mengetuk pintu rumahnya, dan memaksa masuk tanpa peduli bahwa dia sedang ingin sendiri. Airin tidak membiarkan dia larut dalam kesedihan setelah kehilangan pekerjaan. Airin menceritakan banyak hal agar dia segera melupakan kejadian hari ini."Aku sangat mengenal dirimu. Kita telah bersahabat selama sepuluh tahun," balas Airin santai. Dia lalu mencomot seiris mentimun yang tertata di atas piring. "Aku mengetahui, saat kau bilang kau baik-baik saja, maka keadaan yang sebenarnya adalah kebalikannya." Airin melanjutkan.Adriana mematikan kompor. Dia berdiam diri cukup lama. Lalu, dia memutar tubuhnya, menatap Airin lurus."Seandainya kami tidak bertemu sebelumnya, dalam suasana yang memalukan. Mungkin, keadaannya tidak seperti sekarang," ucap Adriana dengan nada pahit.Dua bulan lalu."Saya ingin mengambil kunci kamar atas nama Adriana Kirani," ucap Adriana pada petugas resepsionis hotel yang sedang berjaga."Tunggu sebentar," balas wanita itu, lalu menunduk mencari kunci kamar Adriana.Adriana memutar tubuhnya, membelakangi meja resepsionis. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hotel yang dia kunjungi saat ini tampak sangat mewah dan elegan. Dia tidak mungkin bisa menginap di sini tanpa campur tangan Airin, sahabatnya."Ini kuncinya."Adriana langsung membalikkan badannya. Dia menerima kunci itu, mengucapkan terima kasih secara singkat. Setelahnya dia berjalan dengan langkah panjang masuk ke dalam lift yang terbuka. Dia menekan tombol menuju lantai kamarnya.Adriana membuka pintu, dan ternyata kamarnya sangat luas dengan ranjang tunggal yang lebar. Adriana langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dia tertawa lebar, rasa bahagia mulai menghinggapi dirinya. Menginap di hotel ini merupakan sebuah pengalaman yang menakjubkan di um
Satu jam kemudian.Adriana masih terisak. Kejadian beberapa saat yang lalu masih tercetak jelas di dalam benaknya. Dia begitu tidak berdaya saat laki-laki asing yang kini berbaring di sampingnya sambil memeluknya, menodai dirinya dengan paksa. Kesucian yang dia jaga selama ini direnggut oleh laki-laki itu. Sia-sia usaha yang dia lakukan untuk melepaskan diri dari serangan brutal itu. Adriana benar-benar tidak berdaya. Rasa nyeri di pangkal pahanya membuat dia meringis kesakitan. Tidak hanya itu. Seluruh tubuhnya dipenuhi bekas-bekas kecupan dari bibir kotor laki-laki itu. Dia pun bergidik ngeri sekaligus jijik."Jangan pergi," ucap laki-laki itu saat Adriana hendak beranjak dari tempat tidur. Pelukannya di tubuh Adriana semakin bertambah erat."Lepaskan aku." Akhirnya Adriana bisa bersuara. Dia menepis tangan itu dengan kasar.Laki-laki itu bergerak, mengerang keras sambil memegang kepalanya. Dia menegakkan punggungnya, lalu menoleh ke arah Adriana. Kedua matanya membelalak lebar."S
Dering telepon berbunyi. Adriana mempertajam pendengarnya untuk memastikan bahwa suara itu berasal dari ponselnya. Setelah itu dia bergerak cepat mengambil benda pipih itu di dalam tasnya."Halo ..." Adriana menunggu beberapa detik sampai si penelepon berbicara. Seharusnya dia tahu dia tidak boleh mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak dia kenal. Tapi, entah kenapa hatinya seolah mendorong dia menerima panggilan tersebut."Halo. Ini aku, Daren Liew."Adriana menelan ludahnya. Apakah dia tidak salah dengar? Laki-laki itu tiba-tiba menghubungi dia."Maaf, sepertinya kau salah nomor," tukas Adriana.Adriana menatap Airin, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir saat Airin berbisik, bertanya siapa yang meneleponnya. Dia menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Airin diam. Sahabatnya itu pun mengikuti permintaannya, memilih untuk menunggu."Aku tidak salah nomor. Aku memang sengaja menghubungi dirimu, Adriana," tukas Daren.Adriana berdeham sebentar, lalu berkata, "Aku
“Apa Tuan Hari akan kembali ke kantor nanti?” tanya Adriana pada wanita sebelumnya dengan nada putus asa. Dia sangat mengerti petugas resepsionis itu pasti merasa jengkel karena sikapnya.“Aku tidak tahu pasti,” jawab wanita itu sekenanya.“Tidak bisakah kau memastikannya?” desak Adriana putus asa.Wanita itu menatap sebal pada Adriana. Dia tidak segan menunjukkan rasa tidak sukanya. Dengan malas tangannya terulur, meraih gagang telepon di atas meja. Lalu dia memencet beberapa nomor, menghubungi seseorang.Adriana memalingkan wajahnya. Dia tidak mau dianggap sedang menguping pembicaraan orang lain. Tujuannya datang ke sini adalah untuk menemui Tuan Hari Leo.“Aku sudah menghubungi asisten beliau. Dia bilang Tuan Hari masih memiliki jadwal rapat dengan pegawai. Hanya saja dia tidak tahu pasti kapan beliau kembali.”Adriana memutar kepalanya. Matanya berbinar, bercahaya. Dia merasa senang, setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan untuk bisa menemui laki-laki itu.“Terima kasih atas
Malam datang menjelang. Adriana sampai di gedung kantor Daren dalam keadaan sebagian besar ruangan telah mati lampunya. Semua pegawai telah meninggalkan pekerjaannya. Kini tinggal dirinya yang masih di sini.Adriana membuka pintu ruangan Daren yang terang, tapi sepi. Dia tidak menemukan bosnya. Ke mana Daren pergi? Dia bertanya dalam hati. Lalu, Adriana memutuskan untuk menunggu. Mungkin sekarang Daren sedang pergi ke suatu tempat. Tapi, dia yakin nanti Daren akan kembali ke sini.***Daren berdiri terpaku di depan pintu. Nanar matanya menatap Adriana yang tengah meringkuk di sofa. Sejak kapan Adriana berada di sana? Kenapa dia tidak mengetahui saat Adriana masuk ke sini?"Hei ... bangun." Pelan-pelan Daren menggoyangkan tubuh Adriana. Dia berusaha membangunkan gadis itu. Hanya saja Adriana tidak bergerak sama sekali.Daren lalu berjongkok di hadapan Adriana. Ditatapnya wajah Adriana yang tampak sangat lembut dan meneduhkan. Wajah itu tidak cantik, tapi ada sesuatu yang menarik dan su
"Memangnya apa yang aku katakan pada dia?" Adriana balas bertanya dengan nada menantang. Matanya menatap tajam pada Daren. Tentu saja dia tidak terima bila selalu dituduh yang bukan-bukan. Ini bukan kali pertama Daren melakukannya padanya. Tanpa bukti yang jelas, Daren memojokkan dia seperti seorang pesakitan. Daren tidak menjawab pertanyaan Adriana. Merasa kesal karena Adriana menantangnya, Daren segera masuk ke ruangannya. Dia melempar tasnya di atas meja dengan kasar. Adriana mengikuti Daren. Dia menarik lengan Daren agar laki-laki itu bisa menghadap ke arahnya. Wajah Daren masih terlihat kaku dan memerah. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku? Apa kau akan selalu memperlakukan aku seperti ini?""Aku... Kau.... Ah, sudahlah. Anggap saja aku tidak pernah bertanya," kilah Daren, lalu membelakangi Adriana kembali. "Ya ampun. Bagaimana bisa kau mengatakan semua omong kosong itu dengan mudah? Beberapa detik yang lalu kau menuduhku yang bukan-bukan, lalu detik berikutnya kau menga
Tepat hari minggu. Adriana akhirnya mendapatkan hari liburnya setelah dia bekerja sangat keras selama hampir satu minggu lamanya. Dia bahkan tetap bekerja sampai kemarin. Seharusnya dia mendapat jatah libur selama dua hari. Tapi, Daren meminta dia melakukan sesuatu di luar pekerjaannya. Daren memberinya imbalan yang sangat besar bila dia bersedia menerima pekerjaan itu. Tentu saja itu sebuah tawaran yang tidak mampu dia tolak."Yang perlu kau lakukan hanyalah menyediakan makan siang untuk tamuku," ucap Daren dua hari sebelumnya saat Adriana bersiap untuk pulang. "Kau tidak perlu memaksa. Semua makanan untuk tamuku bisa kau pesan melalui aplikasi pesan antar.""Apa tidak ada orang lain? Asisten rumah tangga atau apa pun itu," tukas Adriana mencoba menolak permintaan Daren. Dia ingin menyegarkan isi kepalanya yang terasa sangat panas akibat pekerjaannya."Aku tidak pernah memiliki asisten rumah tangga. Ada yang membantuku membersihkan rumah, tapi dia hanya datang tiga kali satu minggu."
Saat ini.Angan-angan Adriana untuk menikmati hari liburnya ternyata pupus sudah. Dia terpaksa tinggal di rumah seharian karena merasa tidak enak badan. Tiba-tiba demam datang menyerang, memaksanya tetap berbaring di atas tempat tidur.Setelah kejadian kemarin, suasana hatinya berubah buruk. Sisa hari itu dia jalani dengan merenung dan melamun. Setitik penyesalan mulai menggelayuti. Tanpa dia sadari, dia telah membuka rahasia besar dalam hidupnya. Adriana menyalahkan lidahnya yang terlalu lancang mengeluarkan sebuah fakta yang tidak banyak orang tahu, kecuali Airin.Bila harus jujur, pernah tinggal di panti asuhan bukanlah sesuatu yang buruk. Setidaknya dia merasa beruntung karena memiliki harapan untuk melanjutkan hidup. Tapi, alasan dia bisa tinggal di sana lah yang membuat dia merasa sangat kesal, marah, dan benci pada kedua orang tuanya. Bahkan sampai sekarang dia masih menyimpan dendam pada mereka.***"Ibumu pergi dengan laki-laki lain saat usiamu dua tahun."Begitu awal mula cer