Suara sirine ambulan meraung-raung membelah kepadatan lalu lintas di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Airin duduk di samping tubuh Adriana yang tergolek tidak sadarkan diri. Seorang tenaga medis berusaha menenangkannya dan meminta dia menghentikan tangisnya."Adriana..."Airin memanggil nama sahabatnya dengan tersedu-sedu. Berkali-kali dia mengusap air mata yang jatuh bercucuran di kedua pipinya. Siapa yang menyangka bahwa mereka akan mengalami musibah seperti itu. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Ambulan itu akhirnya sampai di depan rumah sakit. Dengan gesit beberapa orang tenaga medis membawa Adriana masuk ke ruang IGD. Airin mengikuti mereka dengan langkah tertatih, lalu menghampiri seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa seorang pasien. Dia sendiri juga memerlukan perawatan meskipun luka yang dia derita tidak separah Adriana.Lima belas menit kemudian."Siapa wali pasien ini?" Seorang perawat, wanita paruh baya, bertanya sambil menunjuk ke
Dua jam sebelumnya."Siapa yang meninggal?" tanya Adriana saat melihat Airin mematung setelah menerima telepon dari seseorang.Airin merentangkan tangannya, mencari pegangan agar tubuhnya tidak tersungkur ke lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Hatinya sangat perih seperti teriris-iris oleh belati. "Sammy...." Airin menjawab lirih. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua matanya tanpa dapat dia bendung.Adriana ingin memeluk Airin, menghiburnya agar kesedihan yang Airin rasakan sedikit berkurang. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Tubuhnya masih tertahan di atas ranjang ini dengan jarum infus yang terpasang di tangannya.Airin lah yang berjalan mendekati Adriana. Dia memeluk Adriana erat sambil meluapkan kesedihannya. Kabar kematian Sammy sungguh menyesakkan dada."Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk dia," kata Adriana menghibur Airin. "Sekarang dia tidak merasa sakit lagi."Airin membersit hidungnya, mengusapnya dengan selembar tisu. Air matanya masih mengalir meskipu
"Daren sudah pergi?" tanya Airin saat masuk ke kamar Adriana dan tidak menemukan laki-laki itu di sana.Adriana mengangguk lemah. Dia menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Daren meninggalkannya setelah gagal meyakinkannya untuk pergi bersama laki-laki itu."Kenapa dia bisa ikut bersamamu ke sini?" Adriana bertanya tanpa memandang Airin.Airin tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Seharusnya dia bisa menduga Adriana akan bertanya tentang hal itu, tapi sekarang dia bingung untuk berbicara apa."Mungkinkah kau menghubungi dia?" Adriana memicingkan matanya, lalu menatap tajam ke arah Airin."Itu tidak mungkin aku lakukan. Lagi pula aku tidak mengenalnya," tukas Airin salah tingkah. "Meskipun dia terkenal, aku tidak pernah berminat untuk mencari tahu tentang dirinya.""Lalu....""Dia datang ke tempat pemakaman," ucap Airin cepat. "Semula dia menduga bahwa kau lah yang meninggal."Adriana tersenyum lebar usai mendengar informasi itu. Dalam benaknya dia bisa
Adriana seolah terhipnotis oleh ciuman Daren yang memabukkan. Tanpa dia sadari, dia pun membalas ciuman Daren, tidak kalah mesranya. Tahu-tahu kedua tangannya terangkat lalu memeluk leher Daren. Selama beberapa menit Adriana seperti melambung tinggi, semua ini terasa sangat menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Tapi, setelah itu dia kembali tersadar, dan mendorong Daren menjauh."Apa itu tadi?" tanya Adriana dengan wajah linglung. Telapak tangannya menyentuh bibirnya, dan masih terasa jejak ciuman Daren di sana."Kau mengetahui pasti jawabannya," kata Daren pendek. Daren menatap Adriana lekat-lekat. Dia ingin mengulang ciumannya tadi. Adriana sangat responsif, membalas ciumannya, bukan menolak atau meminta Daren untuk berhenti. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Adriana, membelainya dengan lembut."Kau pikir aku apa? Seenaknya kau ...." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya kini bersemu merah."Setidaknya kau menikmatinya," tukas Daren santai. "Lebih kita
Sengaja mengulur-ulur waktu, Adriana berjalan perlahan saat menuju apartemen Daren. Dia belum siap bertemu Daren. Lebih-lebih setelah pertengkaran mereka tadi pagi.Setelah sampai di depan apartemen itu, Adriana memencet bel. Dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena Daren tidak memberi tahu nomor sandi pintu apartemennya. Adriana menunggu selama beberapa sambil menghitung dalam hati, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menggelayuti.Terdengar bunyi klik. Adriana mendorong pintu itu, lalu masuk dengan langkah santai. Dia tidak ingin membuat Daren mengira dirinya takut akan kemarahan Daren yang masih membara."Jam berapa sekarang?" tanya Daren gusar setelah Adriana muncul di hadapannya. Adriana mengangkat kepalanya, melihat jam dinding di belakang Daren. "Jam sembilan malam. Apakah ada yang salah dengan itu?" Pertanyaan Adriana berhasil membuat emosi Daren langsung tersulut."Alasan inilah yang membuat aku tidak menyetujuimu untuk bekerja," kata Daren pedas. "Kau lupa waktu hin
“Tapi apa?” Daren meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar. Dia menunggu cukup lama sampai mendapat jawaban dari Adriana.“Tidak …," tukas Adriana gagap. "Aku bisa pulang sebelum malam tiba." Adriana menambahkan dengan mantap.Diam-diam Adriana memperhatikan Daren. Raut wajah Daren tidak sekeruh sebelumnya. Dia menghela napas lega. Setidaknya dia berhasil melalui pagi ini dengan lancar."Aku akan mengantarmu," ucap Daren saat mereka akan meninggalkan apartemen itu.Adriana langsung memotong ucapan Daren. "Tidak usah. Aku akan berangkat sendiri.""Aku tidak akan memaksamu. Pastikan kau pulang tepat waktu."Daren tidak memaksa. Karena dia sudah memahami bahwa Adriana pasti melawannya dengan sekuat tenaga bila dia tetap memaksakan keinginannya. Sekarang dia akan mengikuti kemauan Adriana. Kelak saat dia sudah bisa mengendalikan keadaan, dia sangat yakin Adriana bertekuk lutut padanya."Ya .... Sampai jumpa nanti malam," ucap Adriana lalu keluar apartemen terlebih dahulu.***"Adriana
Adriana tampak sangat berantakan. Wajahnya pucat pasi. Kedua matanya membengkak usai menangis semalaman. Rambut panjangnya tidak tertata rapi.Seperti dugaannya sebelumnya. Dia akhirnya merasa patah hati dan hancur walaupun dirinya lah yang mengakhiri hubungan dengan Daren. Hatinya serasa dicabik-cabik dan sangat menyakitkan."Maafkan aku. Apa aku boleh libur hari ini?" tanya Adriana pada Airin melalui sambungan telepon."Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?" balas Airin yang bertanya. Nada suaranya terdengar sangat khawatir."Aku tidak bisa menceritakan sekarang," jawab Adriana. "Beri aku waktu untuk menenangkan diri. Setelah itu aku pasti akan bercerita padamu."Airin tidak mendesak. Dia sangat memahami Adriana. Sahabatnya itu tidak akan mungkin menyembunyikan sesuatu padanya. Dia yakin, sesuai dengan janjinya Adriana pasti memberi tahu dia tentang apa yang tengah dialami oleh Adriana."Apa kau membutuhkan sesuatu?" Adriana menggeleng. "Tidak ada. Terima kasih atas tawaranmu.""Baik
Adriana berjalan cepat mengikuti petugas paramedis yang mendorong ranjang tempat Daren tergeletak tidak sadarkan diri. Wajahnya sangat pucat, seputih kapas. Dia menggigit bibirnya kuat, dan tangannya mengepal erat. Dalam waktu sekejap Adriana menyaksikan kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidup. Setengah jam yang lalu mereka masih sempat bertengkar. Lalu setelah itu dia menyaksikan seorang penjahat menikam dada Daren karena terhalang jalannya."Tolong tunggu di luar. Dokter akan memeriksa pasien, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan nyawanya." Seorang perawat merentangkan tangannya ke depan, meminta Adriana menunggu di luar ruang tindakan.Adriana menurut. Deraian air matanya tidak jua berhenti walaupun dia sudah berusaha mengendalikan emosinya. Pertanda apakah ini? Kenapa dia begitu sedih saat melihat Daren tergeletak tidak sadarkan diri? Apakah ini cinta?"Pasien harus segera dioperasi karena luka tusukan di dadanya sangat dalam, dan