Adriana seolah terhipnotis oleh ciuman Daren yang memabukkan. Tanpa dia sadari, dia pun membalas ciuman Daren, tidak kalah mesranya. Tahu-tahu kedua tangannya terangkat lalu memeluk leher Daren. Selama beberapa menit Adriana seperti melambung tinggi, semua ini terasa sangat menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Tapi, setelah itu dia kembali tersadar, dan mendorong Daren menjauh."Apa itu tadi?" tanya Adriana dengan wajah linglung. Telapak tangannya menyentuh bibirnya, dan masih terasa jejak ciuman Daren di sana."Kau mengetahui pasti jawabannya," kata Daren pendek. Daren menatap Adriana lekat-lekat. Dia ingin mengulang ciumannya tadi. Adriana sangat responsif, membalas ciumannya, bukan menolak atau meminta Daren untuk berhenti. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Adriana, membelainya dengan lembut."Kau pikir aku apa? Seenaknya kau ...." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya kini bersemu merah."Setidaknya kau menikmatinya," tukas Daren santai. "Lebih kita
Sengaja mengulur-ulur waktu, Adriana berjalan perlahan saat menuju apartemen Daren. Dia belum siap bertemu Daren. Lebih-lebih setelah pertengkaran mereka tadi pagi.Setelah sampai di depan apartemen itu, Adriana memencet bel. Dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena Daren tidak memberi tahu nomor sandi pintu apartemennya. Adriana menunggu selama beberapa sambil menghitung dalam hati, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menggelayuti.Terdengar bunyi klik. Adriana mendorong pintu itu, lalu masuk dengan langkah santai. Dia tidak ingin membuat Daren mengira dirinya takut akan kemarahan Daren yang masih membara."Jam berapa sekarang?" tanya Daren gusar setelah Adriana muncul di hadapannya. Adriana mengangkat kepalanya, melihat jam dinding di belakang Daren. "Jam sembilan malam. Apakah ada yang salah dengan itu?" Pertanyaan Adriana berhasil membuat emosi Daren langsung tersulut."Alasan inilah yang membuat aku tidak menyetujuimu untuk bekerja," kata Daren pedas. "Kau lupa waktu hin
“Tapi apa?” Daren meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar. Dia menunggu cukup lama sampai mendapat jawaban dari Adriana.“Tidak …," tukas Adriana gagap. "Aku bisa pulang sebelum malam tiba." Adriana menambahkan dengan mantap.Diam-diam Adriana memperhatikan Daren. Raut wajah Daren tidak sekeruh sebelumnya. Dia menghela napas lega. Setidaknya dia berhasil melalui pagi ini dengan lancar."Aku akan mengantarmu," ucap Daren saat mereka akan meninggalkan apartemen itu.Adriana langsung memotong ucapan Daren. "Tidak usah. Aku akan berangkat sendiri.""Aku tidak akan memaksamu. Pastikan kau pulang tepat waktu."Daren tidak memaksa. Karena dia sudah memahami bahwa Adriana pasti melawannya dengan sekuat tenaga bila dia tetap memaksakan keinginannya. Sekarang dia akan mengikuti kemauan Adriana. Kelak saat dia sudah bisa mengendalikan keadaan, dia sangat yakin Adriana bertekuk lutut padanya."Ya .... Sampai jumpa nanti malam," ucap Adriana lalu keluar apartemen terlebih dahulu.***"Adriana
Adriana tampak sangat berantakan. Wajahnya pucat pasi. Kedua matanya membengkak usai menangis semalaman. Rambut panjangnya tidak tertata rapi.Seperti dugaannya sebelumnya. Dia akhirnya merasa patah hati dan hancur walaupun dirinya lah yang mengakhiri hubungan dengan Daren. Hatinya serasa dicabik-cabik dan sangat menyakitkan."Maafkan aku. Apa aku boleh libur hari ini?" tanya Adriana pada Airin melalui sambungan telepon."Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?" balas Airin yang bertanya. Nada suaranya terdengar sangat khawatir."Aku tidak bisa menceritakan sekarang," jawab Adriana. "Beri aku waktu untuk menenangkan diri. Setelah itu aku pasti akan bercerita padamu."Airin tidak mendesak. Dia sangat memahami Adriana. Sahabatnya itu tidak akan mungkin menyembunyikan sesuatu padanya. Dia yakin, sesuai dengan janjinya Adriana pasti memberi tahu dia tentang apa yang tengah dialami oleh Adriana."Apa kau membutuhkan sesuatu?" Adriana menggeleng. "Tidak ada. Terima kasih atas tawaranmu.""Baik
Adriana berjalan cepat mengikuti petugas paramedis yang mendorong ranjang tempat Daren tergeletak tidak sadarkan diri. Wajahnya sangat pucat, seputih kapas. Dia menggigit bibirnya kuat, dan tangannya mengepal erat. Dalam waktu sekejap Adriana menyaksikan kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidup. Setengah jam yang lalu mereka masih sempat bertengkar. Lalu setelah itu dia menyaksikan seorang penjahat menikam dada Daren karena terhalang jalannya."Tolong tunggu di luar. Dokter akan memeriksa pasien, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan nyawanya." Seorang perawat merentangkan tangannya ke depan, meminta Adriana menunggu di luar ruang tindakan.Adriana menurut. Deraian air matanya tidak jua berhenti walaupun dia sudah berusaha mengendalikan emosinya. Pertanda apakah ini? Kenapa dia begitu sedih saat melihat Daren tergeletak tidak sadarkan diri? Apakah ini cinta?"Pasien harus segera dioperasi karena luka tusukan di dadanya sangat dalam, dan
"Apa-apaan ini?" bentak Daren sambil memegangi pipinya yang terasa panas setelah mendapat tamparan dari Adriana."Aku hanya ingin mengingatkan bahwa di sini kau tidak bisa berbuat semena-mena sesuka hatimu," jawab Adriana dengan napas tersengal-sengal. Telapak tangannya terasa perih setelah menampar Daren, lalu dia menggenggam tangannya erat. "Juga, jangan libatkan aku dalam masalahmu."Aku tidak melibatkanmu dalam hal apapun lagi pula aku tidak pernah memintamu datang ke sini lagi," tukas Daren kesal.Adriana menekan keningnya mendadak. dia merasa kepalanya berdenyut-denyut. Ternyata menghadapi Daren saat ini lebih sulit dibandingkan pada saat kondisi Daren baik-baik saja. Bertemu Daren dengan situasi seperti ini benar-benar telah menguras emosinya."Kau tahu, aku tidak akan pernah sudi menemuimu bila perawat tidak menghubungiku dengan putus asa setelah menghadapi tingkahmu yang kekanakan," kata Adriana, lalu mundur beberapa langkah untuk menjauh dari Daren."Setidaknya kau harus ber
Adriana meminta sopir taksi untuk mempercepat laju mobilnya. Dia tengah terburu-buru. Waktu yang dia miliki tidak banyak.Beberapa saat yang lalu dia menerima telepon dari orang asing yang tidak pernah dia kenal. Entah dari mana si penelepon mendapatkan nomornya, tiba-tiba saja dia menghubungi Adriana. Orang itu mengaku sebagai perwakilan dari neneknya. Nenek yang tidak pernah dia temui sebelumnya, selama sepanjang hidupnya."Halo .... apa benar ini Adriana?"Adriana sempat ragu-ragu menjawab. Tapi, akhirnya dia memutuskan mengatakan yang sebenarnya. "Ya, saya Adriana." "Aku tidak bisa mengatakan panjang lebar. Yang pasti malam ini nenekmu ingin bertemu dengan mu," ucap laki-laki itu."Nenek siapa? Saya rasa Anda salah paham karena saya tidak memiliki seorang nenek," elak Adriana."Kau masih memiliki seorang nenek, Adriana. Ibu dari ayahmu."Tubuh Adriana langsung merosot turun ke lantai dapur. Kedua matanya berkaca-kaca setelah mendengar ucapan orang itu, lalu dia tergugu pelan. Dia
"Apakah Anda tidak salah berbicara?" tanya Adriana ingin memastikan bahwa pengacara itu serius dengan ucapannya. Juga memang benar neneknya meninggalkan sebuah warisan padanya tanpa pernah dia harapkan sebelumnya. Dalam waktu satu hari hidupnya berubah total. Adriana masih sulit mempercayainya."Tentu saja aku serius. Semua telah tertulis di sini." William menunjuk amplop coklat yang tergeletak di atas meja kerja neneknya. "Aku akan menyampaikannya satu per kata tanpa ada yang aku lewatkan," lanjut William.Adriana membetulkan posisi duduknya. Dia melipat kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap lurus pada William."Baiklah, kalau begitu, aku mulai sekarang."William membaca pembukaan isi surat wasiat itu. Permohonan maaf neneknya yang tidak pernah menyetujui pernikahan orang tua Adriana karena neneknya merasa ibu Adriana bukan wanita yang tepat untuk ayahnya. Kedua, neneknya meminta Adriana untuk bersedia menerima pemberian terakhirnya untuk membayar kesalahannya selama in