Adriana berjalan cepat mengikuti petugas paramedis yang mendorong ranjang tempat Daren tergeletak tidak sadarkan diri. Wajahnya sangat pucat, seputih kapas. Dia menggigit bibirnya kuat, dan tangannya mengepal erat. Dalam waktu sekejap Adriana menyaksikan kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan seumur hidup. Setengah jam yang lalu mereka masih sempat bertengkar. Lalu setelah itu dia menyaksikan seorang penjahat menikam dada Daren karena terhalang jalannya."Tolong tunggu di luar. Dokter akan memeriksa pasien, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat untuk menyelamatkan nyawanya." Seorang perawat merentangkan tangannya ke depan, meminta Adriana menunggu di luar ruang tindakan.Adriana menurut. Deraian air matanya tidak jua berhenti walaupun dia sudah berusaha mengendalikan emosinya. Pertanda apakah ini? Kenapa dia begitu sedih saat melihat Daren tergeletak tidak sadarkan diri? Apakah ini cinta?"Pasien harus segera dioperasi karena luka tusukan di dadanya sangat dalam, dan
"Apa-apaan ini?" bentak Daren sambil memegangi pipinya yang terasa panas setelah mendapat tamparan dari Adriana."Aku hanya ingin mengingatkan bahwa di sini kau tidak bisa berbuat semena-mena sesuka hatimu," jawab Adriana dengan napas tersengal-sengal. Telapak tangannya terasa perih setelah menampar Daren, lalu dia menggenggam tangannya erat. "Juga, jangan libatkan aku dalam masalahmu."Aku tidak melibatkanmu dalam hal apapun lagi pula aku tidak pernah memintamu datang ke sini lagi," tukas Daren kesal.Adriana menekan keningnya mendadak. dia merasa kepalanya berdenyut-denyut. Ternyata menghadapi Daren saat ini lebih sulit dibandingkan pada saat kondisi Daren baik-baik saja. Bertemu Daren dengan situasi seperti ini benar-benar telah menguras emosinya."Kau tahu, aku tidak akan pernah sudi menemuimu bila perawat tidak menghubungiku dengan putus asa setelah menghadapi tingkahmu yang kekanakan," kata Adriana, lalu mundur beberapa langkah untuk menjauh dari Daren."Setidaknya kau harus ber
Adriana meminta sopir taksi untuk mempercepat laju mobilnya. Dia tengah terburu-buru. Waktu yang dia miliki tidak banyak.Beberapa saat yang lalu dia menerima telepon dari orang asing yang tidak pernah dia kenal. Entah dari mana si penelepon mendapatkan nomornya, tiba-tiba saja dia menghubungi Adriana. Orang itu mengaku sebagai perwakilan dari neneknya. Nenek yang tidak pernah dia temui sebelumnya, selama sepanjang hidupnya."Halo .... apa benar ini Adriana?"Adriana sempat ragu-ragu menjawab. Tapi, akhirnya dia memutuskan mengatakan yang sebenarnya. "Ya, saya Adriana." "Aku tidak bisa mengatakan panjang lebar. Yang pasti malam ini nenekmu ingin bertemu dengan mu," ucap laki-laki itu."Nenek siapa? Saya rasa Anda salah paham karena saya tidak memiliki seorang nenek," elak Adriana."Kau masih memiliki seorang nenek, Adriana. Ibu dari ayahmu."Tubuh Adriana langsung merosot turun ke lantai dapur. Kedua matanya berkaca-kaca setelah mendengar ucapan orang itu, lalu dia tergugu pelan. Dia
"Apakah Anda tidak salah berbicara?" tanya Adriana ingin memastikan bahwa pengacara itu serius dengan ucapannya. Juga memang benar neneknya meninggalkan sebuah warisan padanya tanpa pernah dia harapkan sebelumnya. Dalam waktu satu hari hidupnya berubah total. Adriana masih sulit mempercayainya."Tentu saja aku serius. Semua telah tertulis di sini." William menunjuk amplop coklat yang tergeletak di atas meja kerja neneknya. "Aku akan menyampaikannya satu per kata tanpa ada yang aku lewatkan," lanjut William.Adriana membetulkan posisi duduknya. Dia melipat kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap lurus pada William."Baiklah, kalau begitu, aku mulai sekarang."William membaca pembukaan isi surat wasiat itu. Permohonan maaf neneknya yang tidak pernah menyetujui pernikahan orang tua Adriana karena neneknya merasa ibu Adriana bukan wanita yang tepat untuk ayahnya. Kedua, neneknya meminta Adriana untuk bersedia menerima pemberian terakhirnya untuk membayar kesalahannya selama in
Adriana memejamkan matanya mencoba menahan godaan dari Daren. Meskipun Daren memaksa Adriana untuk membalas ciumannya, Adriana berusaha tidak terpengaruh akan hal itu. Dia menarik kepalanya sehingga bisa melepaskan diri dari Daren. "Kenapa kau menolaknya? Bukankah ini yang kau harapkan?" tanya Daren dengan sorot mata merendahkan.Adriana menggeleng lalu menjawab. "Tidak ... bukan seperti ini aku inginkan. Aku telah belajar dari masa lalu sehingga aku tidak akan terjatuh ke dalam perangkapmu untuk kesekian kalinya."Setelah mengungkapkan isi hatinya, Adriana melangkah menjauhi Daren. Tatapan matanya tidak terlepas pada wajah Daren yang menahan kesal atas penolakannya. Dia lalu membalikkan tubuhnya saat punggungnya membentur pintu. "Aku tidak lagi bodoh seperti dulu," ucap Adriana sambil memunggungi Daren. "Hati nuranimu sangat mengetahui apa keinginanku. Sayangnya kau mencoba mengingkarinya."Adriana membuka pintu itu cepat. Dia menarik napas dalam-dalam. Dalam hati dia mencoba mengh
Adriana menatap telapak tangannya yang masih terasa panas. Dia telah kembali ke rumahnya, dan meninggalkan Airin sendirian. Setelah menampar pipi Daren, dia memutuskan untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu karena dia merasa tidak sanggup bertemu Daren lebih lama lagi. "Maafkan aku, aku terpaksa meninggalkanmu," ucap Adriana cepat saat berada di dalam taksi yang berjalan menuju rumahnya."Apakah ada masalah?" tanya Airin cemas usai mendengar kata-kata Adriana.Adriana tidak langsung menjawab. Pikirannya saat sedang kalut. Dia tidak ingin Airin terlalu mengkhawatirkannya."Aku tidak bisa menceritakannya saat ini. Maafkan, aku." Adriana segera memutuskan panggilan teleponnya.Kembali ke masa kini. Adriana menundukkan kepalanya dalam. Kedua telapak tangannya menangkup wajahnya yang telah basah oleh air mata.Dalam hati Adriana berandai-andai. Mungkin bila dia tidak pernah bertemu dengan Daren, maka hatinya tidak akan pernah terluka. Mungkin dia akan baik-baik saja, hidup berbahagia b
"Maafkan aku karena datang terlambat. Apakah kau sudah lama menungguku?" tanya William sambil menarik kursi di depan Adriana.Adriana menggeleng lemah sambil mengulas senyum manis. "Saya baru sampai di sini lima menit yang lalu," ucap Adriana pelan.William menyodorkan sebuah amplop coklat berukuran cukup besar pada Adriana. "Semua dokumen, akta tanah, STNK BPKB mobil, dan yang lainnya lengkap ada di dalam sini.""Terima kasih. Saya akan memanfaatkan ini dengan sebaik mungkin," balas Adriana sambil tersenyum simpul. Dia menerima amplop itu, dan memasukkannya ke dalam tas."Aku rasa itu dulu. Selamat malam." William mendorong kursinya, dia bangkit berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Adriana.Adriana ikut berdiri, menyambut uluran tangan itu. Setelah itu William meninggalkan Adriana. Adriana melihat William menghilang, lalu dia terlonjak dan hampir terjengkang ke belakang saat mendapati Daren telah berdiri di sampingnya."Siapa dia? Kekasih barumu?" Daren mengedikkan kepalanya samb
Hampir tengah hari. Daren berjalan mondar-mandir di ruangannya sambil menyentuh keningnya. Dia merasakan kepalanya berdenyut-denyut setelah membaca laporan yang diberikan oleh Adriana. Sama sekali dia tidak ingat kapan laporan itu sampai di mejanya. Adriana tidak pernah memberi tahunya.Sepanjang hari ini dia tidak melakukan pekerjaannya karena pikirannya tengah berkecamuk, tidak memberinya kesempatan untuk melakukan hal lain. Dia lalu memutuskan menemui Adriana sekarang. Mungkin setelah ini dia akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya."Adriana ...." Daren memanggil, lalu terus melangkah ke dalam apartemennya. Suasana sepi sekali. Sebuah pikiran buruk terlintas di benaknya, mungkin Adriana pergi saat dia tidak berada di rumah. Dia berjalan cepat, buru-buru membuka pintu kamar Adriana. Setelah itu, dia mematung di depan pintu."Kau sudah pulang?" tanya Adriana pelan. Wajahnya masih pucat, dan rambutnya sedikit berantakan. Dia bangun tidur saat m