Beberapa kali terdengar suara Sarah sedang muntah di dalam kamar mandi. Maura yang mendengar tentu saja tidak tenang dan khawatir. Berulang kali dia mengetuk pintu kamar Sarah, akan tetapi wanita itu tak kunjung membukanya juga.“Duh, gimana sekarang? Mba Sarah kenapa, ya? Mana mas Gani udah berangkat kerja lagi!” gumam Maura seorang diri di depan pintu kamar Sarah yang masih tertutup rapat.“Mba ... buka pintunya sebentar, dong Mba. Mba kenapa?” tanya Maura dari luar setengah berteriak.Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu, tapi setelahnya pintu kamar terbuka dan tampak Sarah berdiri di belakang pintu dengan wajah pucat. Mukanya basah, sepertinya Sarah baru saja membasuh muka.“Kenapa? Heboh banget deh dari tadi manggil-manggil!” ucap Sarah dengan nada ketus.“Maaf kalau aku mengganggu Mba Sarah. Tapi, aku khawatir sama keadaan Mba Sarah. Dari tadi aku dengar muntah terus. Mba Sarah sakit apa?” tanya Maura setelah menjelaskan panjang lebar.“Aku nggak apa-apa kok. Palingan masuk an
Gani sampai di rumah dan langsung terburu-buru masuk ke dalam kamar Sarah. Di sana dia melihat Sarah masih pingsan dan kepalanya dipangku oleh Maura. Gani mengangkat tubuh Sarah dan membaringkannya di atas ranjang.“Sarah ... Sayang, bangun. Kamu kenapa?” tanya Gani dan mencoba membangunkan Sarah, akan tetapi hasilnya nihil.Maura yang masih bersimpuh di lantai merasa kakinya keram dan tak bisa berdiri. Namun, dia menahannya seorang diri karena jelas saat ini Gani lebih peduli pada kesehatan Sarah dari pada dirinya.“Pak Gani.” Suara seorang pria terdengar dari depan pintu kamar Sarah.“Dok, silakan masuk. Periksa keadaan istri saya sekarang juga, Dok!” titah Gani saat melihat dokter yang dikenalnya sudah sampai dan berdiri di depan pintu kamar.“Mba ini kenapa? Apa sakit juga?” tanya dokter Cakra saat melihat Maura bersimpuh di lantai dengan menahan rasa sakit.“Nggak apa-apa, Dok. Periksa mba Sarah aja dulu. Kaki saya cumaa keram aja kelamaan duduk di lantai,” jelas Maura dengan ras
Ternyata, Maura mendengar yang dijelaskan oleh dokter Cakra tadi. Namun, karena dia tidak ingin terlihat menyedihkan, jadi Maura berprura-pura tidak mendengar dan asik dengan rasa keram di kakinya. Maura tahu pasti Gani akan memandang ke arahnya setelah dokter menjelaskan hal itu.Kini, Maura tersandar di belakang pintu dengan isak tangis yang sulit sekali rasanya untuk bisa berhenti. Pikirannya berkelana entah ke mana setelah tahu bahwa saat ini Sarah tengah mengandung anak Gani. Anak yang selama ini ditunggu dan diidamkan oleh Wulan – ibu mertuanya.Setelah puas menangis, Maura memutuskan untuk kembali ke kamarnya saja. Dia sudah kehabisana energi karena menangis. Langkahnya tertatih, kaki seperti dipaksa untuk diseret ke lantai atas menuju kamar tidurnya dengan Gani selama dua bulan belakangan ini.“Aku siap untuk mengalah dan pergi, kalau itu memang harus. Aku nggak mau menjadi penghancur rumah tangga mba Sarah dan mas Gani semakin jauh. Meski saat ini aku udah terlalu cinta, tapi
“A-aku nggak apa-apa kok, Ma. Sepertinya masuk angin doang, Ma. Soal barang-barang dan koper aku itu, aku memang sengaja membereskan aja, Ma. Soalnya kalau terjadi apa-apa gampang bawanya,” ungkap Maura dengan nada bergetar seperti menahan kegetiran dalam hatinya.“Maksud kamu gimana? Apa terjadi sesuatu?” tanya Wulan curiga dengan sikap dan ucapan Maura.“Mama udah tau kabar mba Sarah? Tadi dia juga dibawa ke rumah sakit sama mas Gani.” Maura berkata tanpa menjawab pertanyaan Wulan terlebih dahulu.“Mama tau Gani bawa dia ke rumah sakit. Tapi, Mama belum dengar kabar dia gimana. Tadi, Gani bilang masih dalam pemeriksaan dokter spesialis.”“Semoga kabar yang aku dengar tadi benar. Aku ikut senang kalau ternyata itu benar, dan selamat untuk Mama.”“Selamat? Memangnya apa sih? Mama jadi penasaran, Sayang.”“Sepertinya ... mba Sarah hamil, Ma. Tadi dokter periksa mba Sarah di rumah dan mengatakan hal itu ke mas Gani. Itu sebabnya dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jel
“Ma ... apa yang terjadi sama Maura?” tanya Gani yang tiba-tiba muncul dari balik gorden ruang IGD itu.Maura dan Wulan sama-sama terkejut mendengar pertanyaan dari Gani dan kehadiran lelaki itu. Maura dengan cepat menghapus air matanya dan melepaskan genggaman tangan dengan Wulan tadi. Keduanya tampak seperti salah tingkah dan membuat Gani menaruh rasa curiga.“Kenapa? Kok jadi pada bengong dan kaget gitu? Ada yang aneh?” tanya Gani kemudian dan menyadarkan Wulan dari keterkejutannya itu.“Ah, nggak apa-apa kok, Nak. Maura hanya kecapean dan masuk angin aja kata dokternya tadi.” Wulan menjawab pertanyaan Gani.“Masuk angin? Kok bisa sih, Sayang? Sekarang gimana? Kamu udah enakan sekarang kan?” tanya Gani panik dan menghampiri Maura di sisi berlawanan dengan tempat Wulan duduk.Maura melempar senyum dengan berat hati. “Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku udah baikan sekarang dan sebentar lagi udah bisa pulang,” jelas Maura pula menjawab pertanyaan Gani.“Syukurlah kalau gitu, Sayang. Aku
“Sayang ... kamu baik-baik aja kan?” tanya Wulan melihat Maura yang tampak murung.“Aku nggak apa-apa kok, Ma. Mama janji nggak akan kasih tau sama mas Gani tentang yang tadi kan, Ma? Aku nggak mau konsentrasi mas Gani terbagi. Mba Sarah lebih berhak, Ma.”“Maura sayang ... Mama nggak setuju dengan keputusan kamu ini. Kamu juga berhak, Nak. Anak dalam kandungan kamu itu juga berhak. Kamu istri Gani juga,” ungkap Wulan dengan nada yang menyayat hati.“Ma! Aku nggak mau merebut kebahagiaan mba Sarah. Saat ini, dia pasti sangat senang dengan kehadiran buah hati dalam rahimnya itu. Mereka udah menunggu selama lima tahun lamanya. Mama juga sama kan? Aku yang menunggu dua bulan aja, rasanya tiap hari itu seperti bom waktu.Kita nggak tau perjuangan sebesar apa yang udah dilakukan mba Sarah selama ini, Ma. Kita nggak tau hal apa yang udah harus dikorbankan oleh mba Sarah hingga akhirnya dia memiliki janin dalam rahimnya saat ini. Kita nggak pernah tau, Ma ... kesulitan dan duka lara apa yang
Dengan hati yang bahagia, Wulan pergi diantarkan oleh sopir ke mini market. Dia membeli beberapa macam buah dan juga bumbu rujak. Hal seperti ini yang selalu dibayangkan oleh Wulan sejak dulu. Menuruti pengidaman menantunya dan menjaga menantu hingga melahirkan. Melihat dan meniman cucu yang dinantikan.“Udah semua, Bu?” tanya kasir mengagetkan Wulan dari lamunannya.“Udah, Mba. Silakan ditotal,” jawab Wulan dan melempar senyum bahagia.“Baik, Bu. Dari tadi Ibu melamun dan senyum-senyum terus. Ada hal bahagia apa ini? Sepertinya ... mau membuat rujak, ya Bu?” tanya kasir dengan ramah dan juga sambil mengerjakan tugasnya.“Iya, Mba. Si Mba tau aja sih saya lagi bahagia. Saya mau punya cucu, Mba.”“Wah ... selamat, ya Bu. Sebentar lagi mau nimang cucu. Anak Ibu hamil muda dan ngidam rujak, ya?”“Iya, baru ketauan hamil dan langsung pengen rujak buatan mertuanya.”“Jadi, yang hamil ini menantunya, Bu?”“Benar, Mba. Tapi, bagi saya nggak ada yang namanya menantu. Dia itu anak saya dan aka
“Mas! Nggak mungkin Maura tiba-tiba hamil juga pas tau aku hamil,” bantah Sarah yang tak mau membuat Gani mengabaikannya karena tahu bahwa Maura sekarang hamil juga.“Iya, Nak. Maura hamil dan ... dia minta Mama merahasiakan itu dari kamu.” Ayuni menjawab dengan isak tangis yang menyedihkan.“Sejak kapan Mama tau kalau Maura hamil?” tanya Gani setelah mengantarkan Sarah ke kamar, lalu kembali lagi ke kamar Maura.“Waktu dibawa ke IGD tadi, Nak. Dia dinyatakan hamil sama dokter setelah periksa urine dan darah di labor.”“Kenapa Mama nggak kasih tau aku langsung?”“Dia nggak mau kamu tau. Maura nggak mau membuat Sarah sedih karena kabar ini dan dia ingin kamu hanya tetap fokus dengan kehamilan Sarah. Menurut Maura, dia adalah wanita yang nggak seharusnya hadir dalam pernikahan kamu dan Sarah. Masalahnya ada pada keturunan, dan sekarang Sarah mampu memberikan kamu keturunan. Itu yang membuat dia merasa kehadirannya udah nggak berarti lagi,” jelas Ayuni panjang lebar kepada Gani dan tetap