Bab657"Aggrrhhh, brengsek." Bagus meninju diudara, kemudian pergi menjauhi Amira yang sumpah serapahnya mengikuti langkah Bagus keluar kamar."Dasar suami tidak berguna ....""Suami sialan ....""Anak haram ....""Anak terbuang ...."Begitulah sumpah serapah Amira kepada Bagus. Bagus tidak memperdulikannya, lelaki itu terus melangkah, menuju keluar rumah.Di pesannya taksi online, menuju ke rumah temannya. Perasaannya benar- benar kalut, dia butuh ketenangan._______Arman, lelaki itu terkejut, ketika mendengar cerita kehidupan Bagus yang semakin berada di kondisi terpuruk."On the way menuju miskin kamu, Bro? Sia- sia selama ini yang kalian kumpulkan," ujar Arman, teman satu profesi Bagus di kantor."Mobil sudah nggak ada, rumah juga nyaris di sita, malang betul nasibmu kawan," lanjut Arman."Aku benar- benar bingung, Man. Semenjak kami mulai menikmati hidup enak, Amira mulai berubah. Apalagi saat dia mulai menjabat sebagai Manager, berpenghasilan lebih besar dari aku, dia mulai ber
Bab658Pov Bagus."Yaudah, Man. Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini, aku mau pulang dulu," ujarku pada Arman.Bukannya solusi yang aku dapatkan, malah ceramah dari Arman yang membuat hati semakin tidak nyaman.Aku tidak melakukan kesalahan apapun pada Ibu, yang salah adalah Amira, bukan aku. Lagian, Ibu memang pilih kasih, lebih mementingkan Enggar dari pada aku. "Oke, Gus. Renungkan ucapanku tadi, surgamu ada pada Ibumu, Gus."Aku hanya mengangguk, tidak ingin melanjutkan obrolan yang memuakkan itu. Surga apa? Ibuku saja belum tentu masuk surga.Aku melangkah dengan lunglai, menyusuri jalanan komplek perumahan tempat tinggal Arman tadi.Kupesan taksi online, untuk pulang ke rumah. Rasanya kepalaku semakin berat, perasaan stress ini sangat membebani hati dan pikiranku.Aku membayar tagihan taksi online dengan hati perih, sebab uang di dompetku yang tersisa, hanyalah selembar uang berwarna merah, pedih sekali.Aku berjalan ke depan pintu dan menarik gagangnya. Aku terkejut, mel
Bab659Mau tidak mau, Bagus tidur di kursi taman kota. Hanya itu pilihan terakhirnya, setelah sekian jam dia mencari akal dan bantuan, tapi tidak ada teman mau pun kenalan yang mau menampungnya.Perasaan Bagus benar- benar terluka. Bagaimana pun kehidupan sulit di masa lalu, tidak pernah membuatnya tidur di jalan seperti sekarang ini.Tidur di beratapkan langit, berteman dengan nyamuk dan udara malam hari, membuat Bagus benar- benar tersiksa. "Amira, kejam sekali kamu ...." Bagus berteriak dalam hati, merutuki sikap Amira yang menggembok pintu rumah mereka.Jam 12 malam lewat 20 menit, tiba- tiba ada 4 pemuda yang tengah di pengaruhi oleh minuman yang memabukkan, berjalan menuju tempat Bagus tertidur."Liat di sana, siapa orang itu? Dia tertidur di tempat tongkrongan kita kawan- kawan," ucap salah satu, dari 4 pemuda itu."Mangsa," sahut yang lainnya.Mereka berempat tersenyum jahat, dan mendekati Bagus.Plak ....Salah satu dari mereka, memukul bahu Bagus dengan cukup keras.Bagus t
Bab660"Man, Bagus mana?" tanya Amira, ketika bertemu Arman di ruang divisi pemasaran."Saya nggak tau, Bu. Dari tadi, Bagus nggak ada ke kantor.""Nomornya kok nggak aktif ya, Man?" ujar Amira lagi.Arman hanya mengendikkan bahu, sebagai jawaban tidak tahu- menahu. Amira pergi meninggalkan divisi pemasaran dengan perasaan kecewa lagi."Dimana dia? Apakah dia sudah di rumah Ibunya? Enak sekali dia di sana, sedangkan kami tinggal di wisma. Aku juga nggak mungkin tetap tinggal di situ, uangku sudah sangat tipis," batin Amira.Apalagi, kini dirinya menjadi wanita pengangguran, dan di tuntut mengembalikan uang perusahaan yang dia gelapkan."Hanya mobil ini yang aku punya, rumah sudah tidak mungkin lagi. Aku harus ke rumah Ibu mas Bagus dulu, mana tau dia mau memberikan kami uang ...."Amira melajukan mobilnya, menuju rumah Jelita. Sesampainya di rumah mertuanya itu, Amira ikut kecewa, karena Jelita dan keluarganya belum kembali ke kota."Kalau Ibu nggak ada di sini, jadi mas Bagus kemana
Bab661"Sebelum kembali ke rumah, kita ke Mall dulu, beli perlengkapan baju kerja untuk kamu, Nak.""Iya, Bu." "Kita ke Mall, Nek?" tanya Adam dengan wajah berbinar. "Tentu saja, besok Bapak kamu sudah mulai bekerja.""Wah, Adam mau mainan boleh nggak?" tanya anak lelaki itu pada Jelita."Tentu saja, apa sih yang enggak buat Adam. Tapi ada syarat.""Apa itu, Nek?""Doa sebelum makan harus hapal dulu, baru nanti Nenek kasih mainannya.""Yah Nenek." Wajah Adam mendadak lesu.Jelita terkekeh."Sanggup nggak? Nenek akan bayar, apapun mainan yang kamu beli. Tapi, mainan itu akan menjadi milik kamu, setelah kamu selesai dengan misi yang Nenek berikan."Mau tidak mau, demi mainan impiannya, Adam pun menyanggupi. Jelita tersenyum senang, dan mereka pun telah sampai di parkiran mobil.Jelita dan keluarga kecilnya memasuki pusat perbelanjaan, tiba- tiba, suara memekik memanggil kata Ibu, terdengar jelas dari arah belakang mereka.Mereka semua menoleh, terlihat Amira dan Rara yang berjalan set
Bab662Pov Jelita"Bu ...." Amira menatapku dengan tatapan mengiba. Mudah sekali ekspresinya berubah- rubah. Aku mengamati dengan seksama, agar tidak mudah tertipu dengan wajah memelasnya."Apa lagi? Katakan semua yang ada di dalam pikiranmu, sebelum Ibu mulai menjawab," ujarku dengan raut wajah kesal.Lina hanya diam, tidak ingin memperkeruh suasana, sambil mengusap pipinya yang panas, akibat tamparan keras dari Amira tadi."Kami nggak betah tinggal di kontrakkan sempit, Bu. Aku juga sudah dipecat, secara tidak hormat sama pak Galih."Aku terkejut mendengarnya, kenapa Amira bisa di pecat? Tapi aku juga tidak ingin bertanya tanya, karena Amira tidak mudah untuk di percaya."Terus?""Izinkan kami tinggal bersama Ibu, kasihan Rara, Bu. Selain kesepian, dia tidak punya siapa- siapa, yang bisa menemani dia, jika nanti Amira dapat kerjaan lagi.""Ibu bisa izinkan Rara tinggal bersama kami. Tapi kamu dan Bagus, tetap tinggal di tempat lain.""Kok gitu, Bu? Kenapa harus begitu?""Karena Ibu
Bab663"Enggar, Lina! Tidak seharusnya kalian menikmati hak suamiku ...." Amira terus berteriak, tanpa ada rasa malu lagi di dirinya.Enggar, Lina dan juga Jelita mengabaikan jeritan wanita itu.Amira tersedu- sedu, pergi ke Mall untuk shopping, sisa- sisa dari uang penjualan mobil, membuatnya malah bertemu dengan mertuanya itu.Amira cemburu, pada kebahagiaan Enggar dan Lina. Dia merasa Jelita tidak adil pada mereka, mengabaikan mereka yang lagi kesulitan.Meskipun mulutnya berkata maaf dan menyesal, tapi di hati Amira masih menyimpan perasaan kesal dan tidak senang pada keluarga suaminya itu.Biar pun sekarang mereka kaya, tapi bagi Amira, mereka tetap miskin. Mereka tidak suka mengakui kenyataan, bahwa sekarang dialah yang miskin."Bu, kasihan Rara ya," celetuk Lina."Kasihan lagi kamu,yang barusan dia tampar, memang kurang ajar wanita itu," jawab Jelita, masih dengan raut wajah kesal."Lina nggak apa- apa kok, Bu."Enggar masih terdiam, meskipun dia kesal sekali, karena istrinya d
Bab664Lina dapat merasakan, kegelishan hati Jelita. Sebagai seorang Ibu, Lina paham apa yang kini Jelita rasakan. Biar bagaimana pun juga, seburuk- buruknya Bagus, dia tetap anak yang Jelita besarkan.Sesampainya mereka di parkiran rumah sakit, Jelita dengan cepat turun dari mobil, dan menghampiri kepala pelayan, yang begitu setia menunggu kedatangan Jelita."Bagaimana keadaannya, Pak?" tanya Jelita, mereka sambil berjalan, dengan kepala pelayan yang membimbing mereka menuju ruang perawatan Bagus."Alhamdulilah cukup baik, Ibu bisa lihat langsung," ujar kepala pelayan. Kepala pelayan membuka pintu ruangan, nampak Bagus yang duduk bersandar, dengan wajah yang lebam- lebam, kaki di perban, juga tangan yang di gips."Ya Allah, Bagus," lirih Jelita dan langsung menghampiri anak lelakinya itu. Bagus nampak kurus, matanya ikutan lebam."Ibu," pelan suara Bagus terdengar pilu di telinga Jelita.Enggar dan Lina hanya terdiam, kepala pelayan mempersilahkan mereka duduk di sofa. Lelaki tua it