Ivana menggedor pintu Kinar keras-keras. Di pagi hari yang cukup dingin dan beberapa kelopak-kelopak mata milik para penghuni yang masih terpejam. Tindakan Ivana cukup bar-bar serta mengganggu kenyamanan para penghuni. Namun siapa yang akan peduli dengan itu semua. Ivana ingin segera melampiaskan emosinya. Wanita yang Ivana pilih untuk mau menyewakan rahimnya ternyata tidak sebaik perkiraannya. Sial!“Kinar!” Kali ini gedoran Ivana lebih brutal.Sampai suara kunci di putar dan pintu terbuka dari kamar sebelahnya menyembulkan kepalanya. Menatap Ivana dari atas ke bawah lalu mendengkus.“Pengganggu!” umpatnya terang-terangan dan Ivana tidak peduli dengan itu. “Kamu harus mengasah sopan santunmu untuk bertamu. Dasar pembuat onar.”“Saya tidak punya urusan denganmu. Lanjutkan saja tidurmu dan enyahlah!”“Kamu mengganggu penghuni yang lain.”Masih kekeuh meski tahu itu percuma. Ivana tidak mundur meski beberapa penghuni mulai menyaksikan tingkahnya. Tangan Ivana sekali lagi menggedor pintu
“Apa yang Ivana katakan?” tanya Anan yang di jam makan siang mendatangi Kinar di kostnya.Pria itu menyempatkan waktunya hanya untuk bertanya perihal apa yang Ivana lakukan di kostnya pagi tadi. Entah siapa yang memberi tahu masalah itu. Yang jelas, Kinar tidak menghubungi Anan setelah kepergian Ivana.“Ivana yang memberi tahu?” Anan menggeleng masih dengan kunyahan gado-gado di mulutnya. “Rahasia wanita.”“Tidak ada rahasia di antara kita.” Anan memungkas jawaban Kinar agar tidak ada jawaban seperti itu lagi di kemudian hari. “Saya tidak suka bermain rahasia dan jajarannya. Kamu hanya perlu mengatakan apa yang Ivana sampaikan hingga bersusah payah datang ke sini.”“Kenapa bukan Bapak saja yang bertanya dengan Ivana?” Kinar tersenyum sinis. Menatap wajah Anan yang memerah akibat kesal. “Dia masih istri Bapak dan sudah seharusnya menjadi kendali Bapak. Jangan malah mendatangi saya.”“Apa salah?” Kinar menggeleng seraya mengerutkan hidungnya yang terlihat imut di pandangan Anan. “Kamu a
“Kamu punya pernikahan impian?”Kinar menggeleng. “Tidak.” Mulutnya ganyem asinan yang disediakan oleh pihak penyelenggara road show.Saat ini, Kinar dan temannya yang sesama penulis, namanya Kania, sama-sama duduk di kursi menikmati makan siang. Hujan turun membasahi Bandung siang itu. Akhir-akhir ini cuaca mulai tak menentu. Pagi cerah, siang mendadak mendung lalu hujan dan kemudian kembali panas seolah tak pernah ada air dari langit yang mengguyur bumi.Kinar lemparkan tatapannya pada lalu lalang malang serta para tamu yang datang hendak menginap di hotel. Koper-koper yang di seret serta tas punggung yang digendong menjadi pemandangan penyeling setelah dua jam berada di dalam ruangan. Kinar embuskan napasnya sedang tangannya kembali menusuk asinan buahnya dengan garpu kecil.Lain halnya dengan Kania yang menghentikan kunyahan pada buah melonnya. Menatap Kinar horor yang sedetik kemudian menyipitkan matanya. Kania curiga, takut jika Kinar penyuka sesama jenis karena di usia yang sud
“Kamu di sini tapi tidak menghubungi saya?”Kinar terkejut melihat Anan yang berdiri santai dengan kedua tangan terlipat di dada tengah bersandar di depan pintu masuk toilet wanita. Garis bawahi; toilet wanita. Sinting!“Memangnya penting?”Walau terkejut, Kinar menetralkan ekspresi wajahnya seperti semula. Menatap Anan yang juga menatapnya lewat cermin dengan kedua bahu mengedik.“Saya pemilik hotel ini.”Terkejut untuk kedua kalinya namun sekali lagi Kinar kembalikan wajahnya seperti semula.“Lalu?”“Seharusnya kamu memberi kabar jika kamu berada di sini.”“Apakah penting?”“Sangat penting. Karena tidak ada kabar dari kamu yang sedang berada di sini, saya membuang-buang waktu selama 30 menit untuk menggedor pintu kost kamu.”“Salah saya?” Kinar mendengkus. “Bapak tidak punya pekerjaan atau memang selalu begini?”“Begini bagaimana maksud kamu? Saya bukan pria yang suka kelayapan seperti yang kamu pikir. Jangan asal menuduh, ya!”“Kenapa harus marah?” Kinar membalikkan badannya. “Itu
“Jadi mau apa?” tanya Kinar dengan ekspresi wajah tidak percayanya. “Ini disebut apa, ya?” Teman Kinar—Daniah—mengerutkan keningnya. Tidak mengerti dengan tanya yang Kinar maksudkan. “Begini, aku pernah mendengar ini dari beberapa orang. Yang kategorinya putus asa dalam bayangan sebuah pernikahan. Ada yang menikah untuk memenuhi ekspektasi orang lain atau pun membungkam pandangan masyarakat sekitar. Kamu pasti tidak percaya tapi memang itu fakta dan terjadi entah dibelahan dunia mana. Ada juga yang menikah hanya untuk bersenang-senang, sebagai pelampiasan bahkan lebih parahnya pelarian. Sedangkan milik kamu ini, aku tidak bisa memilih satu golongan di antaranya.”“Tapi kamu baru saja mengatakannya. Bukankah setiap yang kamu ucapkan selalu memiliki dasar dan alasan yang kuat?”Kinar tersenyum. Saat ini, kondisi malam di salah satu restoran di daerah Braga terbilang ramai dan penuh. Jalanan di luar sana meski basah oleh gerimis rintik-rintik tidak mengendorkan semangat para pejalan kaki
Pagi itu, bumi pasundan cerah. Setelah subuh tadi diguyur hujan deras, kini mentari pagi yang berada di ufuk timur menampilkan rekahannya yang menghangatkan penghuni bumi. Kinar Dewi menggerakkan kedua kelopak matanya perlahan saat sinar kuning keemasan itu menyapa wajahnya. Lewat celah-celah gorden yang menyusup masuk lewat jendelanya, Kinar membuka kedua matanya dengan berkedip beberapa kali, Mencoba mencari kesadaran dan mengingat-ingat kejadian apa saja yang sebelum terlelap dirinya alami.Lalu helaan napasnya terembus saat kilas balik dari kejadian yang Kinar alami terekam jelas dalam jejak kepalanya. Sial! Masih terlalu pagi dan Kinar sudah mengumpat. Tenaga Kinar terkuras habis hanya untuk meladeni keras kepalanya Anan Pradipta. Pria satu itu memang aneh dan lain dari awal Kinar bertermu. Cara bicaranya yang santai, cara pikirannya yang sederhana dalam menyimpulkan masalah dan cara-cara lain yang hadir tanpa bisa Kinar duga-duga.“Kinar.” Bertambah tidak mood saja Kinar
Sepanjang perjalanan pulang, Kinar Dewi banyak memikirkan ucapan demi ucapan kedua orang tua Anan. Entah mengapa, rasanya ada yang aneh dari pasangan tua itu tapi Kinar tidak tahu apa dan bagaimana harus menjabarkannya. Kinar tidak bisa langsung asal tuduh. Di samping mengingat siapa orang yang Kinar hadapi, dengar-dengar dari banyak kabar yang beredar, mereka tidak segan-segan merampas hak kehidupan atas orang lain yang berani menentang mereka. Jadi, Kinar tidak bisa bertindak sembrono.Lagi pula, yang membuat Kinar gemas dengan dirinya sendiri adalah, dari mana datangnya pemikiran penuh curiga ini? Yang Ibu Anan tanyakan termasuk pertanyaan wajar dan Kinar hanya harus menceritakan apa yang terjadi pada hari itu dan bagaimana kronologinya. Namun Kinar memilih membungkam mulutnya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Ibunya Anan bahkan merasa terharu mendengar penuturan Kinar yang selamat dari kecelakaan maut itu. Disangkanya Zumarnis, Kinar tidak mempunyai trauma yang mendalam
“Oh si Ratna itu.” Kinar memakan kulit ayamnya yang bunyinya kres-kres nyaring dan puas sekali saat masuk ke dalam rungu. “Setahu saya, dia memang kaya dan bukan hal aneh ketika dia memamerkan apa pun yang dia punya. Entah barang, entah nominal uang bahkan pacarnya sekali pun. Jadi bukan hal aneh lagi kalau dia memang berlagak. Zaman kuliah dulu, saya tidak munafik, iri dengan fasilitas yang Ratna miliki. Itu wajar, ‘kan?”“Sekarang keadannya berbeda.” Maria, teman kuliah Kinar yang kebetulan sedang berada di Bandung setelah sekian tahun tidak menyambangi kota kembang. Mengangguk setuju dengan ucapan yang Kinar rasakan. “Awalnya, aku tidak percaya. Tapi setelah aku mengingat-ingat jika roda kehidupan pun berputar, aku tahu, mungkin Tuhan sedang memberinya cobaan. Harta hanya titipan yang bersifat sementara. Jika tidak kita pergunakan dengan baik terlebih ketika diberi kesempatan untuk terus berbenah namun malah abai, ada akibat dari sebab yang kita lakukan.”“Separah itu, ya?” Maria m