“Oh si Ratna itu.” Kinar memakan kulit ayamnya yang bunyinya kres-kres nyaring dan puas sekali saat masuk ke dalam rungu. “Setahu saya, dia memang kaya dan bukan hal aneh ketika dia memamerkan apa pun yang dia punya. Entah barang, entah nominal uang bahkan pacarnya sekali pun. Jadi bukan hal aneh lagi kalau dia memang berlagak. Zaman kuliah dulu, saya tidak munafik, iri dengan fasilitas yang Ratna miliki. Itu wajar, ‘kan?”“Sekarang keadannya berbeda.” Maria, teman kuliah Kinar yang kebetulan sedang berada di Bandung setelah sekian tahun tidak menyambangi kota kembang. Mengangguk setuju dengan ucapan yang Kinar rasakan. “Awalnya, aku tidak percaya. Tapi setelah aku mengingat-ingat jika roda kehidupan pun berputar, aku tahu, mungkin Tuhan sedang memberinya cobaan. Harta hanya titipan yang bersifat sementara. Jika tidak kita pergunakan dengan baik terlebih ketika diberi kesempatan untuk terus berbenah namun malah abai, ada akibat dari sebab yang kita lakukan.”“Separah itu, ya?” Maria m
“Obrolan kalian sepertinya serius,” kata Anan yang menjemput Kinar di stasiun Bandung setelah Maria menaiki keretanya. Pria itu duduk tak jauh dari Kinar dan maria, sengaja mengping pembicaraan dua wanita yang sedang temu kangen. “Kamu sadis juga.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” Kinar ganyem mie goreng dalam boxnya dengan santai. “Kamu sok tahu!”“Saya mendengarnya sendiri. Bukan sok tahu, tapi memang tahu apa yang kamu katakan kepada teman kamu itu. Jangan didik anak saya seperti itu.”Kinar menyeringai. Tersenyum miring dan menghadapkan kepalanya ke arah Anan yang sedang menyetir mobil.“Anak kamu?” ulang Kinar masih dengan seringaian di wajahnya yang berubah dingin. “Kalau begitu, kamu saja yang hamil! Kamu tidak perlu bersusah payah menikahi saya hanya untuk seorang anak.”Anan mendengkus. Mendengar perkataan Kinar yang tidak pantas diucapkan membuat kepala Anan menggeleng dengan penuh keheranan. Kok ada wanita seperti Kinar Dewi ini? Di antara puluhan wanita bahkan jutaan spes
Karena akan menjadi janda sebentar lagi, Ivana mulai kepanasan jika berada di dalam rumah yang satu atap dengan Anan. Ivana memilih pergi sebelum melihat kepulangan sang suami. Mencari angin segar untuk menjernihkan pikirannya sendiri dan melakukan hal-hal yang lebih membuatnya senang.“Kamu gila, ya?” tanya teman Ivana, Stafani. Wanita berambut pirang itu menanggak minumannya langsung dari botol. “Cuma kamu wanita yang paling santai saat akan diceraikan. Asal kamu tahu, jika aku ada di posisimu, mungkin menggila adalah jalanku demi tetap mempertahankan pernikahan. Tapi lihat apa yang kamu lakukan?”Stefani mendesis dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Wanita seperti ini berasal dari belahan dunia mana? Kenapa bisa tidak merasa khawatir atau pun melakukan ancaman-ancaman lainnya demi tetap memiliki ikatan?“Aku tidak mungkin berguling-guling di tanah dan memohon: Anan, jangan ceraikan aku. Aku masih sangat mencintai kamu. Anan aku mohon kembalilah. Aku mohon, Anan! Begitu maksud
Kembali bersitegang dengan Zahra adalah sesuatu yang Banyu benci.“Tapi benar, ‘kan kalau itu kamu?”Yang membuat mood Banyu amblas ke dasar bumi. Tuduhan yang Zahra layangkan tidak mendasar sama sekali. Tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan hanya bermodalkan ‘katanya’. Miris. Hidup menuruti katanya yang di sampaikan dari orang lain. Tidak ada hasil yang membaik selain menuju pada kehancuran.“Aku di rumah, jelas!?” Sudah ketiga kalinya jawaban Banyu sama dan memang itu yang terjadi. “Kamu lupa?” Wajah Banyu merah padam sementara Zahra tetap keras kepala dengan tuduhannya. “Aku demam dan kamu berada di apartemenku. Kamu yang membelikan obat penurun demam serta memasakkan aku bubur. Kamu gila menyimpulkan hal yang tidak aku lakukan?”“Setelahnya aku pulang. Bisa saja, ‘kan kamu pergi dengan wanita itu? Sania tidak mungkin salah lihat. Jelas-jelas itu kamu. Kamu lupa pernah punya janji apa ke aku? Kamu bilang tidak akan pernah menginjakkan kakimu ke kelab dan segala bentuk hiburan malam
Kusut adalah suatu kondisi di mana wajah tidak terlihat segar sama sekali meski sudah menggunakan rangkaian skincare. Itu yang Banyu Himawan alami. Pagi ini, moodnya belum membalik seperti sedia kala atau layaknya pagi-pagi yang biasa dilaluinya. Zahra Amira menjadi beban tambahan yang tidak bisa Banyu singkirkan semudah mengedipkan mata. Andai itu bisa, Banyu ingin memindahkan Zahra ke Segitiga Bermuda. Biarlah lenyap di telan bumi ketimbang harus menggerecoki hidup Banyu.Gila saja Banyu harus hidup susah dengan uang dari penghasilannya yang pas-pasan. Zahra tidak berpikir jika Banyu menjadi tulang punggung keluarganya selepas Ayahnya yang meninggal. Meski menghidupi Ibu dan Adiknya di kampong tidaklah berat, namun Banyu sadar untuk kesejahteraan dan masa depan Adiknya haruslah cerah. Banyu tidak mau Adiknya menjalani kehidupan seperti yang Banyu alami. Banyu tidak mau masa tua Ibunya terbuang sia-sia dengan sisa-sisa kelelahan demi menaikkan derajat kedua anaknya.Jangan harap Bany
Apakah Zahra yakin? Apakah memang ini yang Zahra kehendaki: melepas Banyu dan mengakhiri hubungan keduanya?Sangat disayangkan bukan? Zahra pernah jatuh sejatuh-jatuhnya kepada sosok Banyu. Yang memberinya banyak cinta di saat kondisi Zahra benar-benar down. Hanya karena satu pengkhiantan, Zahra memilih menjadi gila sementara ada Banyu yang datang mengucurinya kasih sayang. Apa iya serius ingin berakhir begitu saja?Zahra mengembuskan napasnya. Memutar kursi kerjanya dan meninggalkan laptop dengan berlembar-lembar dokumen yang harus dipelajarinya. Zahra layangkan netra beningnya yang hampa ke luar. Bandung dalam suasana panas dan cerah. Gedung-gedung pencakar langit yang berdekatan dengan tempatnya bekerja cukup memberi hiburan bagi mata Zahra yang kosong.Ingatan Zahra melayang pada malam itu. Mungkin omongan Banyu memang benar. Zahra ingat, dirinya merawat Banyu yang demam meski tidak sampai pagi. Tapi setidaknya itu sudah menjadi bukti yang nyata jika Banyu memang berada di apartem
Kinar Dewi memilih cokelat dingin sebagai minumannya di siang yang terik ini. Bandung dan cuacanya sesekali menjadi sahabat dekat namun bisa juga berlaku seperti musuh. Hanya saat hujan mengguyur bumi pasundan, Kinar akan membutuhkan cokelat panas sebagai temannya. Tapi kali ini, selain teriknya matahari yang menyengat kulit, Kinar juga ingin misuh-misuh. Anan Pradipta penyebabnya. Pria itu merusak mood Kinar yang setengah matu jungkir balik mengembalikannya.“Bapak mengajak saya bertemu hanya untuk menikmati cokelat dingin ini di restoran baru, begitu?” Kinar tersenyum sinis dengan wajah penuh kekesalan. “Bapak memang pengangguran, sekarang saya yakin.”“Sesibuk-sibuknya saya, ketika saya bisa menyisihkan waktu untuk menemui kamu, maka jawabannya harus ‘ya’. Kamu dilarang menolak ajakan saya bahkan perintah saya. Saya tidak menerima itu semua.”Kinar menggelengkan kepalanya penuh keheranan. Karena memang percuma mendebat seorang Anan Pradipta yang punya jawaban atas seribu tanya sela
Banyu Himawan tidak ingin terkejut. Tapi tetap saja bertemu dengan Kinar Dewi setelah sekian tahun bukan suatu harapan yang Banyu panjatkan dalam doanya. Rasanya ini seperti karma. Saat batin sucinya membandingkan Kinar dengan Zahra, wanita yang pernah merajut cinta dengannya itu muncul di hadapannya. Dengan wajah yang bertambah cantik serta penampilan yang menarik. Banyak perubahan yang terjadi dalam diri Kinar dan Banyu tergiur akan rasa penasarannya.Banyu ingin tahu, apa yang saja yang telah Kinar alami setelah berpisah darinya? Meski terlihat baik-baik saja, kedalaman hati seseorang tidak ada yang bisa mengira. Bukan ingin sombong, tapi Banyulah orang yang selalu ada dan paling mengerti tentang Kinar. Banyu yang menjadi penyemangan untuk Kinar di saat mimpi-mimpi buruk itu selalu datang di setiap malamnya.“Baik. Halo juga mantan,” balas Banyu yang Kinar sambut dengan senyuman paling manis. Bahkan senyum yang Kinar lemparkan pun masih sama seperti dahulu. “Aku tidak menyangka aka
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw