Pagi itu, bumi pasundan cerah. Setelah subuh tadi diguyur hujan deras, kini mentari pagi yang berada di ufuk timur menampilkan rekahannya yang menghangatkan penghuni bumi. Kinar Dewi menggerakkan kedua kelopak matanya perlahan saat sinar kuning keemasan itu menyapa wajahnya. Lewat celah-celah gorden yang menyusup masuk lewat jendelanya, Kinar membuka kedua matanya dengan berkedip beberapa kali, Mencoba mencari kesadaran dan mengingat-ingat kejadian apa saja yang sebelum terlelap dirinya alami.Lalu helaan napasnya terembus saat kilas balik dari kejadian yang Kinar alami terekam jelas dalam jejak kepalanya. Sial! Masih terlalu pagi dan Kinar sudah mengumpat. Tenaga Kinar terkuras habis hanya untuk meladeni keras kepalanya Anan Pradipta. Pria satu itu memang aneh dan lain dari awal Kinar bertermu. Cara bicaranya yang santai, cara pikirannya yang sederhana dalam menyimpulkan masalah dan cara-cara lain yang hadir tanpa bisa Kinar duga-duga.“Kinar.” Bertambah tidak mood saja Kinar
Sepanjang perjalanan pulang, Kinar Dewi banyak memikirkan ucapan demi ucapan kedua orang tua Anan. Entah mengapa, rasanya ada yang aneh dari pasangan tua itu tapi Kinar tidak tahu apa dan bagaimana harus menjabarkannya. Kinar tidak bisa langsung asal tuduh. Di samping mengingat siapa orang yang Kinar hadapi, dengar-dengar dari banyak kabar yang beredar, mereka tidak segan-segan merampas hak kehidupan atas orang lain yang berani menentang mereka. Jadi, Kinar tidak bisa bertindak sembrono.Lagi pula, yang membuat Kinar gemas dengan dirinya sendiri adalah, dari mana datangnya pemikiran penuh curiga ini? Yang Ibu Anan tanyakan termasuk pertanyaan wajar dan Kinar hanya harus menceritakan apa yang terjadi pada hari itu dan bagaimana kronologinya. Namun Kinar memilih membungkam mulutnya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Ibunya Anan bahkan merasa terharu mendengar penuturan Kinar yang selamat dari kecelakaan maut itu. Disangkanya Zumarnis, Kinar tidak mempunyai trauma yang mendalam
“Oh si Ratna itu.” Kinar memakan kulit ayamnya yang bunyinya kres-kres nyaring dan puas sekali saat masuk ke dalam rungu. “Setahu saya, dia memang kaya dan bukan hal aneh ketika dia memamerkan apa pun yang dia punya. Entah barang, entah nominal uang bahkan pacarnya sekali pun. Jadi bukan hal aneh lagi kalau dia memang berlagak. Zaman kuliah dulu, saya tidak munafik, iri dengan fasilitas yang Ratna miliki. Itu wajar, ‘kan?”“Sekarang keadannya berbeda.” Maria, teman kuliah Kinar yang kebetulan sedang berada di Bandung setelah sekian tahun tidak menyambangi kota kembang. Mengangguk setuju dengan ucapan yang Kinar rasakan. “Awalnya, aku tidak percaya. Tapi setelah aku mengingat-ingat jika roda kehidupan pun berputar, aku tahu, mungkin Tuhan sedang memberinya cobaan. Harta hanya titipan yang bersifat sementara. Jika tidak kita pergunakan dengan baik terlebih ketika diberi kesempatan untuk terus berbenah namun malah abai, ada akibat dari sebab yang kita lakukan.”“Separah itu, ya?” Maria m
“Obrolan kalian sepertinya serius,” kata Anan yang menjemput Kinar di stasiun Bandung setelah Maria menaiki keretanya. Pria itu duduk tak jauh dari Kinar dan maria, sengaja mengping pembicaraan dua wanita yang sedang temu kangen. “Kamu sadis juga.”“Memangnya apa yang aku lakukan?” Kinar ganyem mie goreng dalam boxnya dengan santai. “Kamu sok tahu!”“Saya mendengarnya sendiri. Bukan sok tahu, tapi memang tahu apa yang kamu katakan kepada teman kamu itu. Jangan didik anak saya seperti itu.”Kinar menyeringai. Tersenyum miring dan menghadapkan kepalanya ke arah Anan yang sedang menyetir mobil.“Anak kamu?” ulang Kinar masih dengan seringaian di wajahnya yang berubah dingin. “Kalau begitu, kamu saja yang hamil! Kamu tidak perlu bersusah payah menikahi saya hanya untuk seorang anak.”Anan mendengkus. Mendengar perkataan Kinar yang tidak pantas diucapkan membuat kepala Anan menggeleng dengan penuh keheranan. Kok ada wanita seperti Kinar Dewi ini? Di antara puluhan wanita bahkan jutaan spes
Karena akan menjadi janda sebentar lagi, Ivana mulai kepanasan jika berada di dalam rumah yang satu atap dengan Anan. Ivana memilih pergi sebelum melihat kepulangan sang suami. Mencari angin segar untuk menjernihkan pikirannya sendiri dan melakukan hal-hal yang lebih membuatnya senang.“Kamu gila, ya?” tanya teman Ivana, Stafani. Wanita berambut pirang itu menanggak minumannya langsung dari botol. “Cuma kamu wanita yang paling santai saat akan diceraikan. Asal kamu tahu, jika aku ada di posisimu, mungkin menggila adalah jalanku demi tetap mempertahankan pernikahan. Tapi lihat apa yang kamu lakukan?”Stefani mendesis dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Wanita seperti ini berasal dari belahan dunia mana? Kenapa bisa tidak merasa khawatir atau pun melakukan ancaman-ancaman lainnya demi tetap memiliki ikatan?“Aku tidak mungkin berguling-guling di tanah dan memohon: Anan, jangan ceraikan aku. Aku masih sangat mencintai kamu. Anan aku mohon kembalilah. Aku mohon, Anan! Begitu maksud
Kembali bersitegang dengan Zahra adalah sesuatu yang Banyu benci.“Tapi benar, ‘kan kalau itu kamu?”Yang membuat mood Banyu amblas ke dasar bumi. Tuduhan yang Zahra layangkan tidak mendasar sama sekali. Tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan hanya bermodalkan ‘katanya’. Miris. Hidup menuruti katanya yang di sampaikan dari orang lain. Tidak ada hasil yang membaik selain menuju pada kehancuran.“Aku di rumah, jelas!?” Sudah ketiga kalinya jawaban Banyu sama dan memang itu yang terjadi. “Kamu lupa?” Wajah Banyu merah padam sementara Zahra tetap keras kepala dengan tuduhannya. “Aku demam dan kamu berada di apartemenku. Kamu yang membelikan obat penurun demam serta memasakkan aku bubur. Kamu gila menyimpulkan hal yang tidak aku lakukan?”“Setelahnya aku pulang. Bisa saja, ‘kan kamu pergi dengan wanita itu? Sania tidak mungkin salah lihat. Jelas-jelas itu kamu. Kamu lupa pernah punya janji apa ke aku? Kamu bilang tidak akan pernah menginjakkan kakimu ke kelab dan segala bentuk hiburan malam
Kusut adalah suatu kondisi di mana wajah tidak terlihat segar sama sekali meski sudah menggunakan rangkaian skincare. Itu yang Banyu Himawan alami. Pagi ini, moodnya belum membalik seperti sedia kala atau layaknya pagi-pagi yang biasa dilaluinya. Zahra Amira menjadi beban tambahan yang tidak bisa Banyu singkirkan semudah mengedipkan mata. Andai itu bisa, Banyu ingin memindahkan Zahra ke Segitiga Bermuda. Biarlah lenyap di telan bumi ketimbang harus menggerecoki hidup Banyu.Gila saja Banyu harus hidup susah dengan uang dari penghasilannya yang pas-pasan. Zahra tidak berpikir jika Banyu menjadi tulang punggung keluarganya selepas Ayahnya yang meninggal. Meski menghidupi Ibu dan Adiknya di kampong tidaklah berat, namun Banyu sadar untuk kesejahteraan dan masa depan Adiknya haruslah cerah. Banyu tidak mau Adiknya menjalani kehidupan seperti yang Banyu alami. Banyu tidak mau masa tua Ibunya terbuang sia-sia dengan sisa-sisa kelelahan demi menaikkan derajat kedua anaknya.Jangan harap Bany
Apakah Zahra yakin? Apakah memang ini yang Zahra kehendaki: melepas Banyu dan mengakhiri hubungan keduanya?Sangat disayangkan bukan? Zahra pernah jatuh sejatuh-jatuhnya kepada sosok Banyu. Yang memberinya banyak cinta di saat kondisi Zahra benar-benar down. Hanya karena satu pengkhiantan, Zahra memilih menjadi gila sementara ada Banyu yang datang mengucurinya kasih sayang. Apa iya serius ingin berakhir begitu saja?Zahra mengembuskan napasnya. Memutar kursi kerjanya dan meninggalkan laptop dengan berlembar-lembar dokumen yang harus dipelajarinya. Zahra layangkan netra beningnya yang hampa ke luar. Bandung dalam suasana panas dan cerah. Gedung-gedung pencakar langit yang berdekatan dengan tempatnya bekerja cukup memberi hiburan bagi mata Zahra yang kosong.Ingatan Zahra melayang pada malam itu. Mungkin omongan Banyu memang benar. Zahra ingat, dirinya merawat Banyu yang demam meski tidak sampai pagi. Tapi setidaknya itu sudah menjadi bukti yang nyata jika Banyu memang berada di apartem