Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang.
"Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan.
"Hati-hati!"
"Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu.
"Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."
Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.
Hening.
Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.
Kupingku bahkan mulai mendengar langkah.
"May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!"
"Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."
Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatnya. Sukurin!
"Aduh!"
"Emang enak? Makanya jangan suka ngagetin!" seruku gemas. Ia hampir saja kutambah dengan toyoran andai saja tidak menghindar.
Laki-laki berkaus putih dengan jaket kulit hitam di luarnya itu menimang-nimang kunci. Gemerincingnya membuat konsentrasiku pecah. Kali imi kuperingatkan dia dengan pandangan sinis.
Bukan Aldi namanya kalau cepat kalah.
"Pulang, yuk, udah malam! Keburu dikunciin satpam. Nggak lucu, 'kan kalau kita kejebak berduaan di sini?"
Dia menaik-turunkan alisnya yang tebal.
Astaga, pikiran macam apa itu? Dia memang ada-ada saja. Bahkan, jam baru menunjuk pukul 21.30. Itu artinya, satpam baru akan mengunci pintu setengah jam lagi. Tent terlebih dulu pasti akan dicek satu demi satu.
"Aduh, Aldi, please, deh, seneng amat ngerecokin!"
Dia memang menyebalkan. Akan tetapi, sebagai teman, aku cukup nyaman apabila mengobrol dengannya. Selain tampan, dia juga punya sifat lucu dan ramah ke semua orang. Mungkin itu juga hal yang membuat kariernya naik pesat. Dari posisi marketing, dia naik menjadi kepala toko hanya dalam waktu kurang dari setahun.
Berbeda denganku yang dari masuk sampai sekarang masih saja berkutat dengan toko-toko. Hanya jumlahnya saja yang bertambah. Tentu dengan gaji dan tanggung yang juga makin banyak. Namun, aku sangat bersyukur karena bisa dibilang selama aku bekerja di sini tidak ada masalah berarti. Paling hanya sedikit salah paham dengan beberapa marketing.
"Udah, yuk, pulang, ah! Nanti ada yang godain kamu, aku nggak rela." Ah, mulutnya itu menyebalkan sekali.
"Udah, pulang duluan aja sana! Aku masih ngelarin ini. Lihat laporanku numpuk!"
Memang benar, pekerjaanku menumpuk.
Memeriksa laporan dari tiga puluh toko bukanlah pekerjaan mudah. Meski sudah setiap hari kulakukan, tetap saja akan ada satu dua kendala yang membuat pekerjaan itu tidak kunjung selesai. Ada saja, kadang ada laporan profit yang kurang tepat perhitungannya. Kadang, ada yang menuliskan tipe barang tidak sesuai, hingga aku kesulitan saat memeriksa laporan stok. Itu sering terjadi dan beberapa kali terjadi drama.
"Ya udah kalau nggak mau pulang sekarang."
Aldi melangkah meninggalkanku. Dia sepertinya sedikit sebal. Terlihat dari raut wajahnya yang tampak keruh.
Selepas kepergian laki-laki itu, aku mendengar dering ponsel. Bukan lagu All of Me, itu artinya orang lain. Ya, ponselku memang sengaja kuset personal.
Lagu All of Me hanya untuk panggilan spesial.
"Halo, selamat malam, Pak Agus," sapaku.
Orang yang bernama Agus berbicara di seberang. Dia menanyakan tentang uang setoran yang kurang. Hah?
***
"Maaf, Bu, kemarin memang saya tidak menghitung ulang pas Pak Eko ambil."
Sasti menunduk. Wajahnya terlihat ketakutan. Memerah. Bibirnya digigiti.
"Tapi uang dari anak-anak marketing gimana?"
Aku mencoba menata napas yang sesak.
Memang, kehilangan hanya 200 ribu, tetapi tetap saja tidak boleh dianggap remeh.
Jika dibiarkan, bisa-bisa jadi rutinitas nantinya.
"Saya hitung satu-satu, Bu. Semua pas." Dia kali ini memberanikan diri menatapku.
Ada kejujuran kutemukan di sana. Lagi pula, selama Sasti bekerja di sini, keuangan tidak pernah bermasalah. Ah, lalu kenapa aku tidak mencurigai Pak Eko? Dia karyawa baru yang aku sendiri tidak kenal seperti apa wataknya.
"Bilang ke anak-anak marketing, nanti jangan pulang dulu. Kita harus mendapatkan titik terang segera. Paham?" Aku pergi meninggalkan ruangan kecil tempatku dan admin bekerja. Otakku masih terus menerka siapa kira-kira yang memulai permainan ini.
"Bu, Asus core i5 RAM 8GB harga berapa?"
"Modal 8650. Langganan apa bukan?" Otak yang masih bertanya-tanya ini dipaksa untuk mulai bekerja memasarkan produk.
Jadilah, amarah yang tadi hampir meledak, sekarang mulai terurai. Aku juga memberikan afirmasi kepada diri sendiri. Semoga dengan begitu, aura negatif menyingkir. Akan buruk hasilnya apabila kita menghadapi pelanggan dengan masih membawa energi negatif.
"Baru, Bu. Kayaknya agak gampang. Siap-siap!"
Anak marketing itu berlalu setelah memberi isyarat dengan mata bahwa toko akan mendapatkan profit besar.
Aku bersyukur bisa mengendalikan diri.
Lihat saja, pelanggan terus berdatangan!
Aku terus mengafirmasi otak.
Terbukti, setelah aku mulai mengafirmasi diri, otakku bekerja lebih cemerlang. Timbul ide-ide baru untuk mendorong penjualan. Salah satunya memberikan cash back untuk pembelian stok lama.
Tentu kita tidak memberitahu pelanggan bahwa itu stok lama. Justru sebisa mungkin, kita menampilkan hal sebaliknya ke mata calon pembeli. Kita buat kemasan semenarik mungkin. Menghias barang dengan melilitkan hiasan warna-warni seperti yang biasa ada pada acara natal adalah salah satu cara andalan toko ini.
Anak-anak marketing semangat melayani para calon pembeli, sedangkan, aku mulai sibuk menanyakan stok lama kepada Erik.
"Stok lama kita apa aja, Rik? Tolong kasih saya catatan tipe dan harga modal!" Iya, aku hanya perlu tipe dan harga modal.
"Siap!"
Anak lelaki usia 20-an itu bergegas mencari buku stok. Membacanya, kemudian mencatat di lembaran kertas. Aku mengawasinya.
Di luar, aku bisa melihat pembeli makin banyak. Ruangan ini memang transparan di bagian atas. Sedangkan, bawahnya terbuat dari kayu berpelitur.
"Bu, Asus core i5 RAM 8 GB-nya masih?"
Aku menyuruhnya menunggu dengan isyarat.
"Rik, Asus core i5 RAM 8GB masih ada?"
"Ada, Bu. Tinggal satu, tapi lagi dipinjam." Astaga. Produk laris itu dipinjam.
"Siapa?"
Erik memberi isyarat dengan dagu ke arah toko seberang. Toko One Computer. Ah, si Aldi. Berhubung butuh, aku harus mengambilnya.
Aku meninggalkan toko setelah bicara dengan anak marketing itu supaya menunggu.
Sayangnya, begitu aku di One Computer, barang itu sudah terjual. Aldi sedang bersiap ke tokoku untuk mengambil kardusnya. Aku belum beruntung.
"Bukain nota sama minta kardusnya, May!"
Mata laki-laki itu menatapku penuh kemenangan.
"Oke."
Terpaksa aku kembali ke toko untuk mengalihkan objek si pembeli. Aku berharap si pembeli termasuk yang gampang dirayu, sayangnya, itu tidak terjadi. Si pembeli bersikeras mencari tipe itu.
Jadilah kutanya Erik kembali kira-kira toko mana yang masih punya barangnya.
Setelah beberapa menit mengecek, akhirnya dia memberitahuku bahwa ada sisa satu di toko cabang luar kota.
"Suruh kasih DP aja, Bu. Besok saya yang ambil, deh, sebelum orangnya datang." Anak marketing ini memang termasuk baru, tetapi semangatnya luar biasa. Dia juga sudah paham alur. Alur yang biasa digunakan para seniornya untuk tetap mendapatkan pembeli. Yaitu dengan berusaha membelokkan keinginan pembeli atau terpaksa mencari barang di mana pun keberadaanya. Tentu opsi kedua harus bisa membuat si calin pembeli melakukan DP. Aku mengiakan dan justru membantunya berbicara.
Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini."May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"Pak Agus mulai menginterogasiku.Jujur saja aku bingung menjawabnya."Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi."Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setor
What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every
Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk
Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn