Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain.
"Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.
Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.
Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.
Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.
Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.
Ada sesak yang diam-diam merayapi dada.
"Bang, ati-ati! Nanti malam aku pengen keluar, mau nemenin nggak?" tanyaku untuk mengulur waktu. Aku memang ingin sekali pergi berdua dengannya.
"Aku nggak bisa. Kamu tahu aku sibuk." Ya, dia sibuk. Mungkin di dunia ini, cuma dia yang sibuk. Yang lain santai semua.
"Oke. Mungkin aku pergi sama Aldi aja." Dia seketika mematikan kembali mesin itu. Tangannya mengepal. Ditekannya klakson kuat-kuat hingga beberapa orang yang melintas terkejut. Wajahnya berubah merah.
"Kamu boleh pergi sama laki-laki mana pun, asal jangan sama dia, May!"
What? Aku boleh pergi dengan laki-laki mana pun? Apa dia waras? Terus kenapa tidak boleh dengan Aldi? Dia baik, dia perhatian, dan yang penting tidak macam-macam. Apa jika jalan dengan laki-laki lain, sudah pasti tidak macam-macam? Kurasa Lukman sedang dalam kondisi memiliki dendam kesumat kepada Aldi.
Setelah sedikit reda, dia kembali menyalakan mesin mobil dan perlahan pergi meninggalkan tanda tanda di benakku. Ada apa sebenarnya antara dia dan Aldi? Haruskah kutanya langsung kepada Aldi?
Untuk nanti malam, sebenarnya aku hanya memancing Lukman. Aku tidak serius dengan rencana keluar itu. Lagi pula badan ini rasanya masih entah-berentah.
Aku akhirnya memutuskan untuk masuk dan kembali beristirahat. Oh, iya, tentang makan siangku tadi, akhirnya aku memakan nasi padang juga. Ya, mau bagaimana pun, aku ingin menyenangkan hati Lukman.
"Uhuy, sekarang aku mau makan bubur!"
***
"Hari ini rame banget, Bu. Anak-anak marketing sampai keteteran. Mana Bu Maya nggak ada, toko seberang juga Pak Aldi nggak masuk."
"Tapi gimana akhirnya? Sekarang masih rame nggak? Kalau masih rame saya ke situ, deh." Aku senang mendengar toko ramai.
Rasa lemasku hilang seketika.
Apa mungkin aku sakit begini gara-gara toko sepi? Ah, korelasi macam apa itu? Sama sekali tidak ada. Aku murni masuk angin.
Sasti tadinya mencegahku dan mengatakan untuk meneruskan istirahat minimal sehari ini. Akan tetapi, aku yang mendengar suasana toko ramai, rasanya tidak tega membiarkan mereka berjuang tanpa aku.
"Ya sudah, kalau Bu Maya mau datang."
Aku mematikan sambungan telepon itu.
"Mandi dululah biar segar. Dari pagi belum mandi," gumamku. Entah mengapa semangatku meledak-ledak.
"May, kamu mau ke toko nggak?"
"Astaga, itu, kok, kayak suara Aldi?"
"Kalau mau ke toko bareng aja sama aku!"
"Tunggu sebentar, Al, aku belum mandi!"
"Mandi dulu aja nggak apa-apa, aku tunggu."
"Oke, bentar, ya! Nggak lama, kok, Al." Aku bergegas menurut kamar mandi.
"Kalau lama nanti kuintip, ati-ati aja!"
Sialan.
"Berisik, ah, bentaran. Udah diem dulu!" teriakku. Aku dan Aldi sedari tadi melakukan percakapan jarak jauh. Memang indekosku ini sempit.
"Pokoknya GPL, May! Nggak usah berendam!" Astaga, dia bawelnya mirip emak-emak yang anaknya disuruh bangun pagi malas-malasan.
Aku mandi dengan kilat. Tidak sampai 5 menit aku sudah keluar dengan handuk melilit badan. Sempat terpikir untuk mengintip Aldi lewat gorden, tetapi urung. Kuyakin dia sabar menunggu.
Setelah mengenakan pakaian, aku segera menyisir rambut pendekku yang basah. Sengaja aku tidak memakai pengering rambut agar sensai segarnya terbawa hingga ke toko. Dengan begitu, aroma dan semangatnya akan menguar sempurna. Hal itu akan menebarkan energi positif. Kuharap semua karyawan bisa tertular semangat ini.
Setelah beres masalah rambut, aku mengoles pelembab wajah dan bibir. Sengaja sore ini aku absen memakai bedak. Yang penting bibir tidak terlalu terlihat pucat. Wajahku yang bersih cukup bersinar, meski tanpa bedak.
Kusemprotkan parfum beraroma lavendel ke beberapa titik tubuh ini. Berharap aromanya dapat membuat siapa saja yang menghirup dapat menjadi rileks. Dengan begitu, otak dapat dengan mudah diajak kerja sama.
Setelah siap semuanya, aku bergegas menyambar tas berisi laptop yang ada di meja kerja pojok kamar. Menyandangnya di luar jaket yang kukenakan. Ya, aku akan naik motor dengan Aldi, jadi mau tak mau harus mengenakan jaket, jika tidak ingin masuk angin ini semakin menjadi.
Aku keluar dari kamar dan menuju ruang depan. Sejenak mengintip, memastikan keberadaan Aldi. Ternyata dia memang masih di sana.
"Sorry, lama, Al. Yuk, berangkat!" ajakku. Akan tetapi, Aldi malah melongo.
"Eh, ayo, sorry kirain ada bidadari nyasar."
Aku menyemburkan tawa. Dia apa-apaan berkata seperti itu. Aku takut jika tiba-tiba tubuh ini melayang ke luar angkas, bisa repot.
"Gombalnya tolong disiapin buat keset!"
"Eh, ini serius. Maya itu cantik bagai bidadari." Aku tidak tahan untuk diam.
Kutoyor bahu Aldi dengan sekuat tenaga.
Dia hanya terus tertawa. Bahkan, wajah asamnya tadi siang sama sekali tidak terlihat. Ah, dia memang baik.
"Udah, yuk, berangkat! Lama-lama di sini sama bidadari nanti malah lupa kerjaan." Dia bangun dari duduknya di teras, kemudian langsung mendahuluiku keluar area indekos ini. Langkahnya menuju motor besarnya yang bertengger di tempat biasa. Aku mengekorinya tanpa kata.
"Ngomong-ngomong kenapa kamu tau aku mau ke toko? Lama-lama aku curiga kamu ink cenayang, Al." Aku terkekeh sambil mengenakan helm.
Dia hanya tertawa sambil menyalakan mesin motornya yang menimbulkan deru lumayan kencang.
Dia memberiku isyarat supaya lekas naik.
"Pegangan biar nggak jatuh, May!"
"Ih, modus banget, sih, kamu, Al!"
"Eh, ini serius. Mau ngebut ini," katanya lagi. Tanpa pikir panjang, kucubit pinggang kanannya dengan kencang. Dia mengaduh dan meminta ampun.
Enak saja mau membawaku ngebut.
"Coba ngebut kalau mau pinggangmu luka!"
"Ampun, May, ampun! Jangan cubit, peluk aja!" katanya. Astaga demi apa dia bilang seperti itu? Ah, apa kata-katanya tadi siang itu serius?
Mungkinkah Aldi sebenarnya suka kepadaku?
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Rambut pendekku masih basah, handuk pun belum berganti piyama saat dering ponselku terus menerus mengalunkan lagu All of Me. Berulang. Tampang pria berkemeja putih dengan rambut cepak berwarna hitam pekat terpampang di layarnya."Udah sampai, Bang?" tanyaku sambil menyisir.Suara lembutnya menyambutku ceria."Sudah, Sayang. Baru aja. Ini masih antre bagasi," jawabnya dengan semangat.Laki-laki itu memang sangat pengertian."Kangen.""Besok Abang ke sana, jam makan siang."Kalau sudah mendengar janji itu, hatiku langsung berdebar-debar. Terbayang akan wajah tampannya yang selalu membuaiku dengan senyum. Kata-kata lembutnya yang menenangkan. Semua itu benar-benar membuat hatiku luluh. Tidak ada bagian di dalamnya yang aman dari virus cintanya. Semuanya terjangkit."Oke.""Emuach!"Selalu seperti itu. Kadang,
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn