Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.
Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh.
"Aku tau dari semalam kamu belum makan."
Dia benar-benar mirip cenayang, ya.
"Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau.
"Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi."
"Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.
Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi.
"Kamu masuk masuk angin kayaknya."
"Kayaknya begitu," sahutku saat sudah kembali dari kamar mandi. Wajahku basah karena air yang sekalian kubasuhkan saat menyeka mulut. "Malam nggak makan dan kena angin laut, lengkap sudah."
"Lagian kamu malam-malam minta ke sana. Bukan aku yang ngajak, tapi kamu yang mau sendiri." Aldi rupanya tidak ingin disalahkan dengan keadaanku saat ini. Ya, memang aku yang salah.
Aldi menatapku. Ah, rupanya wajahku begitu mengenaskan di matanya, terlihat dari sorot yang menyiratkan perasaan iba itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja? Entahlah.
"Aku makan dulu, ya, laper banget perutku."
Kutenteng mangkuk untuk memindahkan bubur dari plastik. Sepertinya aku sudah tidak sabar menyantap nasi hancur yang gurih itu. Apalagi aromanya begitu menggelitik hidung.
Aldi masih di sana, menyaksikanku menuang bubur ke mangkuk. Melihatku menghirup uap bubur yang mengepul tepat di hidung membuat senyumnya terbit. Ah, betapa aku selalu mengagumi ciptaan-Mu.
"Aku mau istirahat dulu hari ini, Al."
Dia mengangguk, kemudian pamit untuk pergi ke rumah sakit setelah memberiku pesan untuk menghubunginya jika aku butuh sesuatu.
"Kalau misalnya siang belum bisa beli makan, telepon aja, ya, nanti kuaterin makanan."
Mata itu terlihat sangat tulus. Senyumnya simpul, tetapi terlihat manis. Sepertinya memang Tuhan menciptakan laki-laki itu dengan kesempurnaan hampir mutlak. Aku mengakui itu secara sadar.
Dia melambaikan tangan, meninggalkanku yang sedang menghadapi mangkuk berisi bubur.
"Terima kasih, Tuhan sudah mengirimiku malaikat sebaik dia," gumamku.
Bubur sudah memanggil tangan ini untuk menyentuhnya. Kuaduk sedikit bagian pinggir yang akan kusuap. Aroma bertambah kuat.
Benar saja, gurihnya santan berpadu dengan wanginya beras yang digunakan.
Rasanya seperti belum pernah aku merasakan makanan ini. Padahal, bisa dibilang aku termasuk yang sering membeli bubur untuk sarapan. Akan tetapi, entah mengapa rasanya sangat berbeda.
Ah, apa karena gratis kali, ya, makanya terasa begitu enak? Pokoknya sepanjang aku menikmati makanan itu, kepalaku tidak henti-hentinya mengangguk-angguk. Saking enaknya. Menggeleng-geleng, saking tidak percaya dengan kelezatannya yang luar biasa.
Aku jadi ingin makan ini lagi nanti siang.
Apa iya aku harus meminta Aldi membawakannya lagi untukku nanti siang?
***
Siang harinya saat aku terlelap, dering ponselku mengagetkan. Padahal sedang asyik bermimpi. Ternyata Aldi yang menelepon.
"Udah enakan belum, May? Aku lagi makan siang, kamu mau dibawain makan?" tanyanya penuh perhatian. Suara lembutnya sungguh membuatku bergetar. Sikapnya kepadaku melebihi seorang kekasih.
Aku ingin memintanya membawakna bubur yang tadi pagi. Akan tetapi, aku takut merepotkan. Apalagi dia sedang menunggu Yudi di rumah sakit.
"Nggak usah, Al. Nanti aku cari makan sendiri, deh. Di mana kamu beli bubur yang tadi pagi?" Ya, aku merasa kuat untuk pergi membeli bubur itu sendiri. Ya karena aku hanya masuk angin.
Mendengar jawabanku, akhirnya Aldi menutup telepon. Baru saja aku ingin turun dari ranjang, ponsel kembali bersering. Akan tetapi, kali ini aku mengenali nada deringnya. All of Me.
"Sayang, aku ke situ, ya. Kangen banget." Aku menarik napas berat. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan keadaanku. Dia hanya memikirkan perasaan sendiri. Kangen, kangen, dan kangen.
Hanya kata itu yang selalu diucapkannya.
"Datanglah kalau nggak sibuk, Bang."
"Oke, aku ke sana sekarang. See you there!" Suaranya terdengar sangat riang.
Aku sedang memikirkan apa yang akan dilakukannya saat melihatku seperti ini. Lemas. Pucat. Itu yang terlihat dari cermin besar di sisi tempat tidurku. Namun, tetap saja aku merasa tidak tega membiarkan Lukman disuguhi wajah wajah mengenaskan ini.
Akhirnya aku memutuskan untuk turun.
Mencuci muka. Menyisir rambut. Memoles wajah yang kuyu. Tidak lupa mengoles pelembab bibir.
Wanita sejatinya tidak pernah ingin mengecewakan pasangan dalam kondisi seperti apa pun. Termasuk aku. Selemas apa pun, aku ingin tetap terlihat menyenangkan di matanya.
***
"Loh, Aldi? Bukannya aku udah bilang nggak usah bawain makanan?" tanyaku terkejut saat melihat Aldi tiba-tiba muncul di depan pintu kamar indekosku yang terbuka dengan membawa plastik berisi sesuatu. Aku yakin itu bubur. Lalu, sosok itu muncul.
"Sayang, aku bawain makan siang, nih!"
Lukman langsung masuk indekosku.
"Makasih, Bang." Aku yakin Aldi membawakan bubur, sedangkan Lukman membawa nasi padang. Aku ingin sekali mengambil bubur di tangan Aldi dan memakannya dengan lahap. Akan tetapi, apa sopan?
"Al, maaf, ya, makanannya buat kamu aja."
Aku melihat raut kecewa jelas di wajah Aldi. Matanya menyipit. Mulutnya mengerucut. Akan tetapi, tidak menjawab.
"Ayo makan dulu, Sayang! Nih, udah aku bukain." Suara di belakangku menginterupsi.
Aku menoleh dan mendapati Lukman sudah menghidangkan makanan yang dibawanya.
Benar saja, seperangkat nasi padang tampak di sana. Lambaian sambal hijau yang biasanya menggoda, kini seperti tidak ada apa-apanya di mataku. Begitu juga dengan rendang yang bahkan aromanya tercium hingga ke tempatku berdiri. Mereka sama sekali tidak menarik perhatianku.
Saat aku menoleh lagi ke arah Aldi, dia terlihat sedang mengintip ke dalam.
"Dia lagi sakit begini masih aja dibawain nasi padang, Bung! Terlalu sekali." Aku mendengar dan merasakan kalimat itu semacam sarkasme.
"Al!"
Aku menatapnya tajam. Menurutku dia keterlaluan. Lukman memang terlalu, tetapi dia tidak tahu jika aku sakit. Jadi tidak bisa mutlak disalahkan.
"Kamu sakit apa, Sayang?" Lukman bergegas menjangkau kepalaku. Didekapnya aku dalam dadanya.
Dari ekor mata, kulihat Aldi melengos.
"Bang, nggak begini caranya!" kataku pelan.
"May, makan bubur ini! Tadi kamu bilang mau makan bubur juga siang ini." Aldi menaruh plastik itu di hendel pintu.
"Eh, situ benar-benar kurang ajar, ya!"
Lukman yang biasanya tidak mudah menaggapi provokasi dari orang lain, tiba-tiba terlihat begitu marah. Aku juga tidak paham, ada apa sebenarnya dengan mereka. Apa mereka saling kenal?
Lukman terlihat mengekor Aldi yang menjauh.
Aku jadi takut akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Untuk itu kususul mereka. Berlari kecil aku mengikuti ke mana mereka pergi.
Dari jarak sekitar 5 meter, aku dapat menjangkau mereka lewat mata. Terlihat mereka seperti beradu tatap. Lalu, tangan Lukman mengepal.
Tidak menunggu lama, aku berlari kencang.
Tidak ada yang perlu terluka hanya demi aku. Untuk apa? Bahkan aku hanya wanita biasa yang begitu mudah merajuk.
"Satu tonjokan, duniamu runtuh seketika."
Aku mendengar Aldi mengatakan itu.
"Stop!"
Aku benar-benar tidak ingin terjadi keributan.
"May, aku tunggu kabar kalian putus!"
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn