Share

Meniti Lautan Luka
Meniti Lautan Luka
Penulis: Noya Wijaya

Bab 1

Penulis: Noya Wijaya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-02 03:32:21

Rambut pendekku masih basah, handuk pun belum berganti piyama saat dering ponselku terus menerus mengalunkan lagu All of Me. Berulang. Tampang pria berkemeja putih dengan rambut cepak berwarna hitam pekat terpampang di layarnya.

"Udah sampai, Bang?" tanyaku sambil menyisir.

Suara lembutnya menyambutku ceria.

"Sudah, Sayang. Baru aja. Ini masih antre bagasi," jawabnya dengan semangat.

Laki-laki itu memang sangat pengertian.

"Kangen."

"Besok Abang ke sana, jam makan siang."

Kalau sudah mendengar janji itu, hatiku langsung berdebar-debar. Terbayang akan wajah tampannya yang selalu membuaiku dengan senyum. Kata-kata lembutnya yang menenangkan. Semua itu benar-benar membuat hatiku luluh. Tidak ada bagian di dalamnya yang aman dari virus cintanya. Semuanya terjangkit.

"Oke."

"Emuach!"

Selalu seperti itu. Kadang, telingaku terasa memanas, bahkan bulu roma di tubuh ini berdiri seketika. Merinding. Bukan, itu bukan horor.

Keromantisannya yang membuatku merinding.

Otak ini selalu menjadi penuh akan dirinya.

"Nakal!" teriakku sambil menggigit bibir.

Dadaku sungguh tidak kuat menahan laju jantung yang seolah-olah mendadak liar. Liar karena mendengar suaranya yang basah. Dia benar-benar seperti candu bagiku.

Di ranjang kamar ini, aku terduduk masih dengan handuk putih sebatas dada sampai paha. Memandang lurus ke arah cermin besar di ruangan itu. Memainkan imaji yang semakin liar.

"Tapi suka, 'kan?" ledek suara itu lagi.

"Nggak... salah lagi!" Tawa kami berderai. Bahkan, sudut mataku meleleh.

"I love you... I miss you... all day long, Honey."

"I miss you too, Abang. Aku sungguh-sungguh merindukanmu. Rindu... setengah mati." Hening. Ada kehampaan yang tiba-tiba menjeda.

Aku seperti ditampar dengan keras oleh kenyataan. Dengan sepenuh kesadaran, aku menyerahkan hati dan jiwaku kepadanya. Akan tetapi, ada saat-saat aku mulai ragu akan cintanya. Cinta yang bahkan hampir setiap hari diucapkannya. Setiap beberapa jam.

Kehampaan itu menyeruak bukan tanpa alasan. Kami berhubungan sudah cukup lama. Akan tetapi, tidak pernah sekali pun kami seperti pasangan lain. Kami hanya menikmati kebersamaan di area tempat tinggal. Kadang di tempatnya, lebih sering di indekosku.

Menjadi anak rantau, kami sama-sama menyewa tempat tinggal. Bedanya, aku menyewa satu kamar indekos dengan fasilitas lengkap, sedangkan dia menyewa apartemen milik rekan bisnisnya. Apartemen tipe studio yang lumayan untuk dirinya yang simpel.

Ah, ya, kami kenal dalam sebuah pameran. Bukan, maksudku bukan pameran seni. Kami bahkan sama-sama buta akan seni.

"Jangan berlebihan seperti itu," katanya.

Astaga, bahkan aku seperti terkejut mendengarnya.

Tidak berlebihan katanya? Mana bisa aku tidak begitu berlebihan kalau dia sendiri membuat hal itu terjadi? Sungguh aneh.

"Abang memang pantas diberi lebih, kok."

Ada tawa di seberang sana. Tawa singkat yang disusul suara lain. Seperti suara benda beradu dengan lantai. Sekali, dua kali.

Mungkin dia sudah menemukan bagasinya.

"Udah dulu, ya, Sayang. Aku mau ke taksi." Sepertinya percakapan ini baru saja dimulai, tetapi ternyata harus terhenti.

Ya sudah, berhubung dia juga sepertinya repot, akhirnya aku mengiakan.

"Aku pergi sama teman-teman, ya, Sayang."

Aku pamit pergi ke kondangan bawahan.

Dia mengiakan. Dia cukup kenal dengan teman-teman dekatku dan juga beberapa bawahan. Di memang hangat ke semua orang.

***

"May, kamu Maya? Mayasari? Inget aku?"

"Hai, ini...." Sumpah aku kurang paham dia siapa. Ada bayangan wajah itu di masa lalu, tetapi samar.

Dia bergaun hitam dengan bahu putihnya yang terekspos sempurna membuat mata wanita lain melirik iri. Tak terkecuali denganku. Aku sangat ingin memiliki kulit seindah itu. Mulus, putih, dan bercahaya.

"Aku Lily. Masa lupa? Yang dulu pernah satu tim pas masih di Origlame."

Astaga!

"Ya, ampun, Bu! Mohon maaf, otak saya lemot. Maklum memori hampir penuh."

Ada tawa terdengar. Tawa seorang wanita yang meski terlihat anggun, tetapi tidak sungkan melebarkan mulut. Tawa dua orang yang akrab.

Kami berpelukan. Cium pipi kanan dan kiri. Saling memuji penampilan. Khas perempuan. Setelah itu, dia mengajakku ke sudut, tempat photo booth berada. Kami berfoto dengan dua pose berbeda.

"Btw, kita nggak beda jauh umumnya. Jangan panggil aku 'Bu'. Tua banget, astagaaa!"

"Ha ha ha, iya, maaf. Terus panggil apa?" tanyaku sungkan. Tidak enak jika salah lagi. Jadi, aku lebih baik bertanya langsung.

"Panggil Lily boleh, Jeng, boleh. Apa aja." Dia kali ini menyeretku ke kerumunan orang yang berbaris di tepi karpet merah.

"Panggil Cici, boleh?" tanyaku ragu.

Aku takut dia menganggapku rasis.

"Boleh," jawabnya sambil tersenyum.

"Oke, aku panggil Cici aja mulai sekarang."

Kami mengobrol lagi. Banyak. Dari tempat tinggal, perkejaan, sampai pasangan.

Aku bercerita tentang Lukman tentu saja.

Tidak, tidak semuanya kuceritakan.

Aku bukan tipe yang suka bercerita ke sembarang orang. Apalagi orang itu termasuk bukan teman dekat. Kepada teman dekat pun, aku menyaring.

Lampu ruangan itu mendadak mati.

Bukan, bukan pemadaman listrik dari pusat, melainkan acara malam itu akan segera dilakukan. Musik di sisi lain ruangan itu mulai diputar. Menggema.

"Eh, teman-teman kamu di mana tadi, May?"

Astaga, aku juga lupa tadi ke sini sama mereka. Mungkin sekarang mereka juga sudah lupa bahwa aku datang bersama mereka. Ini semua gara-gara wanita sipit di sampingku.

Dalam gelap, aku menoleh kanan-kiri.

"Mungkin di sebelah sana, Ci. Biar aja. Nanti juga ketemu lagi, kok, pasti." Aku masih berusaha menebar pandangan dalam gelap.

"Eh, sorry aku ke arah dekat pintu masuk dulu, ya. Suamiku terlambat. Dia barusan WA. Semoga nanti kita ketemu lagi."

"Iya, Ci. Nggak apa-apa. Silakan." Aku menyunggingkan senyum. Berharap perempuan itu melihatnya. Walau aku tidak yakin.

"Bye!"

***

"Bu, ngeliatin apa, sih? Kayak orang lihat setan, deh. Bu!" Atikah, salah satu bawahan yang cukup dekat denganku, mengoceh.

"Ah, eh, nggak, kok. Cuma lagi sedikit pusing." Siapa itu, kok, perawakannya mirip?

"Ya udah pulang duluan aja, yuk!" Dia mengajakku untuk meninggalkan acara. Padahal kepalaku sama sekali tidak pusing.

"Nggak usah. Nanti aja tunggu acara kelar." Aku hanya penasaran dengan sosok laki-laki yang baru saja pergi menuju toilet.

"Serius?"

"Ya."

Aku kembali menunggu sosok itu terlihat.

Akan tetapi, teman-temanku yang lain datang dengan beraneka makanan.

Piring mereka diisi penuh. Nasi, sayur, ayam, daging, semuanya. Aku geleng-geleng.

"Makan dulu, May! Keburu kehabisan." Sesama rekan kepala toko di Techno Grup, berisik menyuruhku mengambil makanan.

Mau tidak mau aku pergi juga.

Saat tanganku hampir menyentuh piring, sebuah suara menghentikannya.

"Ah, baik, Pak. Nanti saya cek ulang barangnya." Aku menoleh ke sumber suara.

Seorang laki-laki berkemeja putih tampak berada di belakang punggungku.

"May, ketemu lagi kita. Mau makan apa?" Ci Lily tersenyum semringah. Dia benar-benar cantik sempurna.

Aku yang tadi sedang mengawasi pria misterius, langsung mengalihkan perhatian.

Bab terkait

  • Meniti Lautan Luka    Bab 2

    Hari sudah siang. Matahari bahkan mulai tergelincir ke barat. Suasana toko komputer tempatku bekerja sedang penuh pelanggan."Bu, nggak jadi keluar makan siang?""Aduh, saya mau sebenarnya, tapi kalian bisa nggak? Repot nggak? Banyak pelanggan. Anak-anak marketing takut ketereran.""Udah, nggak apa-apa. Teman-teman bisa. Ibu pergi aja nggak apa-apa, beneran."Atikah lagi-lagi menjadi penolong kali ini."Saya titip toko, ya, Tik. Tengkyu banget." Kutepuk pelan pundaknya yang berseragam hitam itu. Kemudian, aku menuju ruang admin untuk berpamitan. Di sana, kubilang kepada gadis berkerudung yang sedang mengetik di laptop itu bahwa aku ingin pergi untuk makan siang."Ya, Bu. Silakan. Saya jamin uang aman."Ada senyum yang tercipta di bibir itu."Oke."Kuambil kunci mobil dinas yang diberikan perusahaan sebagai fasilit

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • Meniti Lautan Luka    Bab 3

    Aku masih berkutat dengan laporan dari seluruh admin toko yang kupegang."Bu, saya duluan, ya. Udah malam." Sasti, admin toko Computer Shop—toko terbesar di Techno Group—pamit.Aku mengangguk dan melambaikan tangan."Hati-hati!""Ya, Bu. Ibu juga hati-hati, udah sepi." Sasti berkata sambil terkikik. Dia memang senang menakutiku dengan cara seperti itu."Kamu aja kalau pacaran nyari yang sepi."Dia tertawa lagi. Kemudian, ia melambaikan tangan dan keluar ruangan. Sekarang, aku sudah benar-benar sendiri.Hening.Detak jarum jam di dinding terdengar jelas.Kupingku bahkan mulai mendengar langkah."May, belum pulang? Udah sepi. Pulang!""Astaga, Aldi, kirain siapa, bikin kaget aja."Aku melempar gumpalan kertas sisa fotokopi identitas pelanggan yang memakai kartu kredit. Tepat kena jidatn

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • Meniti Lautan Luka    Bab 4

    Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini."May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"Pak Agus mulai menginterogasiku.Jujur saja aku bingung menjawabnya."Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi."Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setor

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • Meniti Lautan Luka    Bab 5

    What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • Meniti Lautan Luka    Bab 6

    Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 7

    Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 8

    Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 9

    Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03

Bab terbaru

  • Meniti Lautan Luka    Bab 18

    Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya

  • Meniti Lautan Luka    Bab 17

    Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me

  • Meniti Lautan Luka    Bab 16

    Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."

  • Meniti Lautan Luka    Bab 15

    Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben

  • Meniti Lautan Luka    Bab 14

    Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang

  • Meniti Lautan Luka    Bab 13

    Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman

  • Meniti Lautan Luka    Bab 12

    Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint

  • Meniti Lautan Luka    Bab 11

    Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses

  • Meniti Lautan Luka    Bab 10

    Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn

DMCA.com Protection Status