Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.
Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus.
"May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?"
"Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."
Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan.
"Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal kejadian uang setoran kurang. Namun, aku terkejut saat mendapati rekaman di dalamnya hilang. Mataku menatap layar LED dengan serius.
"Pak, rekamannya nggak ada," panikku.
Pak Agus pun tidak percaya. Ia mencecarku mengapa bisa tidak ada. Kira-kira siapa yang menghapus?
Aku memantung sejenak. Sambungan telepon kemudian kututup setelah Pak Agus bilang untukku menguruanya. Kini, aku menebak-nebak, siapa yang sudah melakukannya? Kuamati satu persatu karyawanku dari sini. Di ruangan kaca berukuran 3x4 meter yang dapat menjangkau ke segala arah. Wajah-wajah itu seperti tidak ada yang mencurigakan. Anak-anak marketing tampaknya hanya sedang memikirkan cara mendapatkan profit di sepinya pengunjung.
"Bu, saya izin makan siang dulu, ya!"
Sasti mengagetkanku. Ia tampak sudah berdiri tepat di depanku. Aku mengangguk gelagapan karena memang belum fokus.
"Silakan."
"Mau nitip apa nggak, Bu? Saya mau ke kantin atas." Dia memberitahuku tujuannya.
Biasanya aku juga sudah lapar, tetapi karena CCTV yang rekamannya tiba-tiba lenyap, membuat nafsu makan hilang.
"Saya nitip jus aja, ya. Jus jeruk tanpa gula." Kuulurkan uang sepuluh ribuan kepada Sasti, kemudian ia menerimanya
"Oke."
Sasti pergi dan saat aku ingin melanjutkan memeriksa laporan harianku, tiba-tiba ponsel pintar di mejaku mengalunkan merdunya suara John Legend. Napasku tertahan. Ada rasa enggan untuk mengangkatnya.
"Ya, Bang. Aku lagi sibuk sekarang." Akhirnya kuangkat panggilan itu karena terus berulang dan cukup mengganggu, jadi aku yang mengalah.
"Kamu masih marah? Kemarin kamu ke mana?" tanya Lukman di seberang dengan nada datar. Tumben dia tidak mengembuskan hawa perang.
"Aku bersenang-senang di pantai."
Hening.
Aku menunggu dia menyahut, tetapi sepi.
"Sekarang udah makan belum?"
Pura-pura tanya makan, nanti ujung-ujungnya mengajakku makan. Itu sudah pola lama yang terus berulang. Sampai-sampai kupingku rasanya ingin menolak saking sebalnya. Itu sama sekali tidak kreatif.
"Aku lagi sibuk jadi makan seadanya aja."
Hening. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku sedang tidak ingin menerka-nerka.
"Padahal aku kangen banget pengen ketemu."
Ada perasaan lain yang muncul saat dia mengucapkan itu. Ada desir halus yang mengusik relung kalbuku. Rindu.
"Aku terlalu sibuk untuk mengangeni seseorang."
Ah, apa daya, kadang hati dan mulut memang tidak sinkron. Begitu pun yang sedang terjadi kepadaku. Desir rindu ini mengusik, tetapi tidak ingin aku mengakuinya. Mungkin, gengsiku sedang di level puncak.
"May, kamu, kok, tega banget sama aku?"
"Udahlah, Bang! Aku lagi sibuk," ketusku, mencoba mengakhiri sambungan. Aku khawatir, jika lama-lama mendengarkan rayuannya, imanku akan runtuh. Gengsiku akan turun seketika.
"May—"
"Sudah dulu, ya, Bang. Bye!" Kumatikan sambungan dan segera melempar benda pipih itu ke dalam laci. Kutangkup wajah yang sepertinya memerah. Antara risi dan rindu berpacu di dadaku.
Di suasana yang sepi, dengan otak yang juga sedang penuh teka-teki membuatku ingin mendengarkan lagu. Lagu yang semoga saja bisa mengembalikan emosiku ke sisi baik. Emosi baik yang menguarkan aura positif sehingga dapat menarik konsumen. Dengan datangnya konsumen, maka rupiah akan mengalir ke rekening.
Lagu-lagu yang kuputar mengalun indah.
Kuresapi selurih lirik dan nadanya.
***
"Kamu tahu nggak Lukman itu suamiku?"
"Yang benar saja, Lukman calon suamiku."
"Oh, ya? Lihat ini! Masih nggak percaya?"
"Bisa aja itu palsu. Zaman sekarang ijazah aja gampang dipalsukan. Apalagi cuma buku kecil macam itu."
Ya Tuhan, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan itu, tetapi apa boleh buat?
Haruskah aku memercayai wanita itu?
"Bang, sekarang kamu pilih dia atau aku?"
"Eh, sok kecakepan, kalau laki-laki udah selingkuh itu artinya udah bosen!"
Nah, tadi aku menolak untuk mengakui dia sebagai istri Lukman, tetapi sekarang justru secara tidak langsung mengakui bahwa aku hanyalah selingkuhan. Itu sama saja aku mengakui bahwa wanita itu istri sahnya. Ya, Tuhan kenapa aku terjebak dalam lingkaran setan?
"Eh, pelakor nggak tau diri, ngaca donk!"
"Eh, gini-gini aku masih seger dibandingin kamu! Nyatanya dia suka sama aku," kataku penuh kebahagiaan. Bahagia karena merasa mampu dapat mengalahkan istri sah Lukman. Cewek zaman sekarang jangan mengaku cantik kalau belum bisa menakhlukan suami orang!
Ah, tetapi kenapa aku merasa sama sekali tidak nyaman dengan sebutan 'pelakor'?
Aku ingat sesuatu. Aku ingat Tante Rika. Dia sosok pelakor yang membuat mama sakit-sakitan. Dia yang mebuat aku terlantar.
Aku menangis. Tersedu-sedu. Rasanya sesak.
Lututku melemas. Badanku begetar. Hatiku gemuruh. Ya, Tuhan, benarkah aku seorang pelakor? Benarkah dia istri Lukman?
Aku melihat Lukman diseret perempuan itu menjauh. Menghilang dari pandanganku. Meninggalkan aku yang masih berdiri.
Kata-kata perempuan itu masih terngiang.
"Eh, pelakor nggak tau diri, ngaca, donk!"
"Bu, Bu Maya, ini jusnya. Bu, Bu Maya kenapa?" Aku mendengar lamat-lamat suara itu. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat sosok si pemilik suara.
Aku merasakan tubuhku digoyang-goyangkan.
"Hah, di mana saya? Ka-kamu? Saya di mana?" Aku terkejut setengah mati. Wajah polos Sasti terlihat kebingungan menatapku.
"Bu Maya ketiduran. Kayaknya kecapekan. Tapi, kenapa nangis, Bu?" tanya Sasti sambil mengambilkan tisu di mejanya dan kembali ke mejaku.
"Saya mimpi buruk yang aneh, Sas."
"Mimpi apa, Bu? Kalau Bu Maya mau bisa cerita ke saya. Saya pasti dengarkan."
"Ah, nggak lah, Sas. Saya mungkin kecapekan." Aku menyedot jus jeruk yang tadi dibelikan Sasti. Sensasi asam membuat otak dan mataku segar.
Sepertinya tadi aku tertidur di meja dengan posisi menelungkup. Terbukti pipi kiriku memerah. Mungkin itu karena tegencet meja.
"Banyak istirahat aja, Bu. Mungkin juga Bu Maya stres karena toko sepi." Dia memang paham keadaanku.
"Eh itu kamu bawa apaan? Emang belum jadi makan?" tanyaku saat melihat plastik bening yang baru saja diletakkannya di meja kerja gadis itu.
Aku kembali menyedot asamnya cairan di gelas plastik yang beberapa saat lalu dibawa Sasti. Rasa segar itu kembali mengisi seluruh kekosongan tubuhku. Membuatnya semangat lagi.
"Ini rujak buah, Bu. Tadinya mau makan nasi goreng, tapi antre, jadi malas. Lagian saya takut Bu Maya repot," jelas Sasti sambil membuka mika berisi aneka buah dan sambal itu. Aromanya menguar sampai ke hidungku.
Aku menghirupnya dalam-dalam.
Tiba-tiba saja liurku seolah-olah ingin menetes.
"Saya minta, ya? Nanti kalau kurang beli lagi. Atau kamu mau beli lagi sekarang?"
Sasti menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya. Mungkin dia bingung kenapa aku tiba-tiba saja menginginkan makanan itu. Padahal sebelumnya aku ogah. Namun, dia tidak banyak bicara dan menyodorkan makanan itu ke mejaku. Mepersilakanku untuk memakannya.
"Tumben, Bu? Abis mimpi aneh tadi jadi pengen makan rujak buah. Apa jangan-jangan di mimpi Bu Maya tadi lagi nyari rujak buah dan nggak ketemu terus nangis?" Astaga, analisis macam apa itu, Sas?
Aku hanya tertawa mennaggapi Sasti.
Yang jelas, aku sedang menikmati mangga muda dengan cita rasa asam melebihi jus jeruk tanpa gula tadi.
Aku terus mencocol potongan mangga muda ke pekatnya sambal gula yang pedasnya tidak terkira itu.
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn