Hari ini memang jadwalku libur.
"May, aku di depan, buka pintu donk!"
Suara itu tidak asing di telingaku.
Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.
Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.
Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk.
"Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya.
"Marah atau nggak bukannya nggak penting?"
"Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli.
"Udahlah nggak penting juga dibahas."
"Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia tampak gusar. Wajahnya memerah.
"Ya nggak pentinglah, kalau penting kan ada usahanya. Minta maaf, kek. Mana?"
"Aku nggak ngerti harus minta maaf gimana."
Kurasa, dia bukan tidak mengerti apa yang harus dilakukan, melainkan abai.
"Kamu mau kumaafin? Aku bisa aja maafin." Aku ingin melihat keseriusan ucapannya. Sejauh mana keinginannya untuk mendapatkan maafku.
"Kamu mau apa? Cokelat? Bunga?"
Dikira aku masih mempan disogok begituan?
Maaf saja, aku sudah menaikkan level.
"Aku mau ke pantai. Yuk, ke pantai! Sekarang."
Benar saja, wajah itu mendadak pasi.
Aku menyeringai. Menang. Dia mana mau.
"Aku sibuk banget, Sayang. Nggak bisa." Aku melihat wajah itu dipaksa untuk mengekspresikan penyesalan.
Sayangnya aku sudah muak. Terlalu sering dia seperti itu. Alasannya sibuk.
"Ya udah kalau gitu aku mau pergi sekarang."
"Ya ampun, May, aku nyempetin ke sini-"
"Bang, aku capek dan bosan-"
"Apa maksud kamu bilang begitu, May?"
"Aku mau pergi. Menikmati hidup. Sekali-kali."
Aku tiba-tiba saja teringat kalimat kata-kata Aldi. Dia benar dalam hal ini. Aku memang sudah saatnya menikmati hidup.
Aku menyambar tas yang tergantung di belakang pintu indekos. Mengambil ponsel yang kuletakkan di meja, kemudian memasukkannya ke tas. Lukman berkali-kali berusaha memanggilku. Akan tetapi, aku kali ini ingin memberinya pelajaran. Biar dia kapok.
"May!"
Aku keluar dengan segera. Dia membuntutiku sambil terus berbicara tentang apa saja yang sayangnya tidak ingin kudengar. Biar saja.
"Aku cuma mau senang-senang, Bang."
Aku memakai sepatu karet yang nyaman di kaki. Setelahnya, kuambil ponsel dari tas dan menelepon seseorang. Lukman terlihat begitu stres.
Matanya menatap penuh amarah.
"Halo, May. Aku di depan kosmu. Aku masuk."
"Nggak usah, aku udah siap, kok. See you!" Kututup telepon dengan cepat, kemudian melangkah meninggalkan Lukman yang mematung.
Benar saja, di depan sana, tepat di belakang mobil Lukman, motor besar terparkir dengan gagah. Di atasnya, tampak seorang laki-laki berjaket kulit. Siapa lagi kalau bukan Aldi?
"Hai, May! Kita langsung? Atau mau ngapain dulu?" tanyanya berondongan.
"May!" Lukman masih berusaha mencegahku. Aku jadi merasa bagai bidadari.
"Langsung cabut, Al. Aku udah nggak sabar main air. Yuk!" Sengaja aku mengatakannya.
"Siap!"
***
"Al, kenapa kamu ada di depan kosku?"
Tentu saja aku bertanya demikian karena memang tidak ada rencana sebelumnya.
Kami tidak janjian. Aku bahkan sama sekali tidak menghubunginya sebelum tadi itu. Buatku itu ajaib. Aldi seperti punya indera keenam.
Aku hanya melihatnya tersenyum.
"Makan dulu, yuk! Aku tahu kamu lapar." Tahu dari mana dia? Apa perutku sekeras itu berteriak minta diisi makanan?
Dia mengajakku bangkit dari pasir.
"Jawab dululah pertanyaanku, Al!"
"Ya, aku cuma merasa kalau kita jodoh."
Aku terbatuk. Jodoh katanya? Jodoh Mbahmu!
Kenapa dia seperti berusaha membuatku baper? Bahkan, tatapannya itu benar-benar membuatku merinding. Aku belum pernah mendapatkan tatapan seperti itu dari Lukman.
Mungkin karena melihatku enggan beranjak, dia menarik tanganku. Memaksa untuk mengikutinya. Cengkeramannya tidak begitu kuat.
"Aku beneran penasaran, Jangan-jangan kamu dukun, ya? Duh, ampun jangan santet aku, Al! Aku masih belum nikah."
Mendengar itu, Aldi hanya menoleh ke belakang sekilas. Tanpa ekspresi. Kemudian, tanganku dilepaskannya.
Langkahnya semakin kencang. Akan tetapi, kali ini aku justru yang mengejarnya. Berusaha menyamai.
"Kamu tahu, May, jodoh bisa siapa aja?"
Yaelah, pertanyaan macam apa itu?
"Tapi yang jelas, jodoh itu rahasia Tuhan."
Dan, Aldi bukan Tuhan. Jadi yang tadi keluar dari mulutnya itu hanyalah hoaks. Aku tentu saja tidak ingin itu terjadi. Bagaimana pun Lukman, aku tetap mencintainya. Jika pun harus meminta kepada Tuhan, maka nama Lukman lah yang kusebut. Bukan Aldi. Hatiku hanya milik Lukman.
Aku masih berada di belakang Aldi.
Dia menoleh, mungkin memastikan bahwa aku benar-benar mengikutinya.
"Mau makan apa? Mau di restoran atau warung? Kamu yang pilih aja, May."
Rasanya dunia ini benar-benar terbalik.
Sepertinya cinta ini sedang benar-benar diuji. Lukman tidak pernah sekali pun mengajakku keluar, meski sekadar beli jajan ke swalayan. Lukman juga belum pernah membiarkanku memilih menu makanan yang akan kumakan.
"Teeserah kamu aja, Al. Kamu yang mau traktir, kan?" ledekku. "Nanti kalau aku yang milih kamu nggak mampu bayar lagi."
"Pilih aja yang kamu suka. Aku yang bayar." Wajahnya benar-benar serius. Aku benar-benar merasa sedang bermimpi. Mimpi terindah.
"Aku mau makan nasi campur di warung."
"Ayuk!"
***
Ku rasa getaran cinta
Di setiap tatapan matanyaAndai ku coba tuk berpalingAkankah sanggup ku hadapi kenyataan iniOh Tuhan tolonglah aku
Janganlah kau biarkan dirikuJatuh cinta kepadanyaSebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terlukaTuhan tolong dirikuWalaupun terasa indah
Andaikan ku dapat juga dirinyaNamun ku harus tetap bertahanMenjaga cinta yang t'lah lebih dulu ku jalaniOh Tuhan tolonglah aku
Janganlah kau biarkan dirikuJatuh cinta kepadanyaSebab andai itu terjadiAkan ada hati yang terlukaTuhan tolong dirikuSebab andai itu terjadi
Akan ada hati yang terlukaTuhan tolong dirikuKenapa ada lagu itu di warung ini?
Apakah Tuhan benar-benar sedang mengujiku?
Aku terus melirik Aldi yang sedang melahap makanan di sampingku. Aroma jeruk di tubuhnya seolah-olah melekay di hidung. Menggoda otak untuk terus menghidunya dengan rakus, kemudian mendekap si pemilik aroma dengan erat. Aku merasa otak ini benar-benar sudah terkontaminasi.
"Kamu katanya mau lihat sunset, kok, jam segitu udah nongkrong di kosku tadi?"
Kali ini dia sedikit tertawa.
"Aku sebenarnya janjian sama Yudi."
Yudi?
"Terus?"
Dia tertawa lagi setelah mulutnya kosong.
Aku tahu Yudi. Dia teman dekat Aldi. Kamarnya di lantai dua. Hanya saja aku tidak akrab dengannya. Ah, jadi aku terkena PHP? Dasar Aldi resek!
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn