Mila adalah wanita yang amat cantik, kehidupannya begitu sempurna. Saking sempurnanya, dia tidak pernah berpikir, kalau orang yang selama ini dia cintai, tega mengkhianatinya dengan orang yang tidak asing baginya. Suatu malam, karena Chandra--suami Mila tak kunjung pulang, maka dia pun bergegas menelpon suaminya. Tetapi, ada sesuatu yang cukup janggal, di mana Mila sempat mendengar adanya suara wanita. Hingga pada saat Chandra pulang, secara tidak sengaja Mila melihat ada sebuah pesan yang berisi sebuah foto pernikahan antara Chandra dan wanita lain yang tidak lain adalah Dinda--adik dari mendiang sahabat Mila. Lalu, apa yang akan Mila lakukan demi membalas rasa sakit yang telah dia derita akibat pernikahan diam-diam yang di lakukan oleh suami dan adik mendiang sahabatnya itu?
Lihat lebih banyakHai! Jangan lupa subscribe cerita ini untuk dapat notifikasi bab selanjutnya. Jangan lupa juga buat follow akun author, like, love dan rating, ya!
Love you all❤️
***
"Mas, kapan pulang? Kok sudah selarut ini belum sampai rumah juga, sih," ucapku melalui sambungan telepon.
"Sebentar lagi Mas pulang kok sayang," jawab Mas Chandra dengan nada santai. "Sudah, ya, Mas mau pulang dulu."
Sesudah berkata demikian, Mas Chandra--suamiku langsung mematikan sambungan telepon. Tapi, tadi aku merasa ada yang janggal, saat tiba-tiba telingaku menangkap sebuah suara yang tidak asing, suara wanita.
Hampir tiga puluh menit, aku berjalan mondar-mandir di ruangan tamu, menunggu kedatangan Mas Chandra yang tidak kunjung pulang.
"Mila, kenapa belum tidur?" Aku berbalik, menatap seorang wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu.
"Menunggu Mas Chandra pulang, Bu."
Wanita yang tidak lain adalah ibuku itu, datang menghampiri. Beliau mengajakku untuk duduk di sebuah sofa, lalu kembali bangkit dan pergi ke arah dapur.
Tidak beberapa lama kemudian, ibuku kembali dengan menenteng segelas air putih.
"Di minum dulu, La." Ibu menyerahkan gelas tersebut padaku. "Memangnya apa yang kamu khawatirkan?"
Sesudah menenguk air tersebut hingga habis, aku langsung menyimpan gelas kosong di atas meja.
"Aku mendengar suara seorang wanita, ketika menelpon Mas Chandra. Aku takut, dia bermain di belakangku, Bu."
Ibuku meraih tanganku yang tertumpu di atas sofa. "Sudah, jangan berpikiran yang macam-macam. Kami sedang hamil, pantas saja curiga seperti itu."
"Tapi, Bu--"
Ucapanku tiba-tiba terpotong, saat mendengar suara deru kendaraan yang masuk ke halaman rumah.
"Tuh, Chandra udah pulang. Jangan sampai stres, ya, Nak. Pikirkan anakmu."
"Iya, Bu." Aku bangkit dan berpamitan pada ibu. "Ibu tidur lagi aja, aku mau menemui Mas Candra."
Ibu mengangguk, dia ikut bangkit dari sofa, lalu melangkah terlebih dahulu ke arah kamarnya.
Belum sempat aku melangkah, tiba-tiba pintu terbuka. Menampilkan seorang pria bertubuh tegap yang langsung menghampiriku.
"Sayang, kenapa belum tidur?" tanyanya sambil merangkul tubuhku.
Namun, seketika aku langsung menyipitkan mata, saat secara tidak sengaja tanganku menyentuh rambutnya.
"Mas, kok basah. Kamu habis keramas, ya?"
"Ah, iya, Sayang. Tadi, Mas keramas dulu, soalnya gerah," jawab Mas Chandra di selingi oleh sebuah tawa renyah. Sangat aneh memang.
Tidak mau berpikiran yang tidak-tidak, aku pun langsung mengajaknya untuk ke kamar tidur. Selain tubuhku yang sedikit lelah karena sedang mengandung, inipun sudah sangat larut malam.
"Sayang, Mas tidur dulu, ya." Tanpa melepaskan baju kerja yang masih melekat di tubuhnya, Mas Chandra langsung merebahkan tubuhnya. Hingga tidak beberapa lama kemudian, dengkuran halus terdengar.
Aku yang awalnya duduk di sisi ranjang, langsung ikut merebahkan tubuh. Namun, sayangnya mataku sulit sekali terpejam. Kupandangi Mas Chandra secara intens, aku merasa ada yang sedikit berbeda.
Hingga, pandanganku tertuju pada celana yang dia kenakan. Aku sedikit menyipit, lalu meraba kainnya, memastikan jika yang aku pikirkan ini salah.
"Warnanya sama, tapi jenis kainnya jelas berbeda," gumamku pelan, lalu melakukan hal yang sama dan ternyata benar saja, kainnya jelas sangat berbeda.
Belum selesai aku memikirkan tentang celana Mas Chandra, tiba-tiba ponselnya yang ada di atas nakas menyala, menandakan ada sebuah pemberitahuan masuk.
Pelan-pelan, aku bangkit, mengendap-endap ke arah sisi lain, lalu mengambil ponsel Mas Chandra.
Si*lnya, ponsel Mas Chandra terkunci. Aku memikirkan cara lain, hingga sebuah deretan angka di layar kunci mencuri perhatianku. Satu hal yang aku lupakan, jika Mas Chandra orangnya sangat pelupa.
Segera kutulis angka tersebut dan terbuka! Mas Chandra mungkin tidak pernah berpikir, jika aku akan sejeli itu. Padahal angka tersebut ditulis dengan cukup kecil.
Tiba-tiba mataku menyipit, saat melihat sebuah pesan dari seseorang yang bernama Bram.
Namun, pandanganku bukan tertuju pada pesan tersebut, melainkan pada kontak seseorang bernama D.
[Mas, foto yang aku kirimkan di atas sangat cantik, 'kan? Aku tidak sabar, jika foto pernikahan kita akan cepat-cepat terpajang di dinding rumahku.]
Bak di hantam ribuan batu, tiba-tiba dadaku begitu sesak ketika membaca pesan tersebut. Mas Chandra menikah lagi dan aku ... dikhianati olehnya.
Tega, kamu, Mas. Tega!
Seketika aku langsung terbelalak, tubuhku lemas dengan tangan yang bergetar hebat, saat melihat siapa wanita yang bersanding dengan Mas Chandra.
Wanita ini, jelas-jelas tidak asing bagiku. Dia cukup aku kenal, bahkan sangat mengenalnya dengan baik.
Tega sekali kalian, mengkhianatiku seperti ini. Berani-beraninya, kalian berdua menusukku dari belakang.
Kulirik Mas Chandra yang masih terlelap di sampingku. Lihat saja, Mas! Aku tidak akan tinggal diam. Teganya kamu, Mas, menikah lagi di saat aku sedang mengandung anakmu.
***
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"
"Mila, apa yang kamu lakukan padaku. Mila, cepat kembalikan semua milikku." Laki-laki yang tidak lain adalah Mas Chandra, langsung meraih tanganku menggenggamnya dengan cukup erat. "Milikmu apa? Coba jelaskan padaku." Aku menatapnya dengan cukup tajam, tidak peduli dengan Mas Chandra yang terus memelas sambil memohon-mohon padaku. "Ayah, kerja di sini? Kenapa Ayah gak pernah mau ketemu lagi sama Faris?" Aku yang awalnya sempat bersitegang dengan Mas Chandra, langsung menoleh ke arah Faris yang duduk di samping Ibu. Sebisa mungkin, Ibu nampaknya mengalihkan perhatian Faris dari Ayahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Nak, maafkan Ayah. Tapi, Ayah janji, Ayah akan pulang." Mas Chandra menghampiri Faris, memeluknya dengan cukup erat. Hampir saja aku luluh, apalagi ketika melihat Faris begitu merindukan Ayahnya, tapi ketika mengingat kembali perbuatan buruk yang telah
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen