"Ada apa, Mila?" Aku menoleh ke arah Ibu yang nampak kaget. "Mas Chandra kecelakaan, Bu." "Sri ... Sri," teriak Ibu dengan cukup nyaring. Dari arah dapur, datang seorang wanita paruh baya memakai daster batik. " Bi Ani, Tolong bilang ke Sri, jaga Faris sampai saya dan Mila kembali. Jangan khawatirkan soal upah." "Baik, Nyonya." "Aku tunggu di depan," ucapku pada Ibu, setelah sebelumnya menyambar dompet yang tergeletak di meja. "Panggil Pak Asep!" perintaku pada seorang satpam yang sedang duduk di teras. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pria datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Bu?" "Cepat, Panaskan mobil! Kita akan segera pergi ke rumah sakit." "Baik, Bu." Kutarik napas dalam selama beberapa kali, lalu menjatuhkan bokong di salah satu kursi kayu yang tertata dengan cukup rapih di teras. Keningku terasa berdenyut, jantung berdegup cukup kencang. Beberapa kali aku memijat pelipis sambil menunduk dalam. "Mila, cepat berangkat!" Aku mendongak, lalu segera bangkit, mengik
"Mas, ngapain Dinda ada sama kamu?" Mas Chandra yang sedang duduk di kursi penumpang, sepertinya sedikit tersentak dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba. "A-aku mau nganter Din--" "Nganter Dinda ke mana?" tanyaku sambil melotot saat mendengar Mas Chandra gugup. "Ke hotel atau vila?" "Mila! Ngapain kamu ngomong begitu? Suami kena musibah, bukannya dirawat baik-baik, malah diomelin," gerutu Mas Chandra sambil beralih menatap ke luar jendela mobil. "Karma," celetukku tiba-tiba. "Apa?! Memangnya aku sudah lakuin kejahatan apa sama kamu?" Sontak, aku langsung menatap Mas Chandra sambil mengangkat kedua alisku. Apa aku tidak salah dengar atau memang dia yang tidak sadar diri. Ah, tapi menurut perkataan orang-orang juga, mana ada maling mau ngaku. Bisa-bisa di gebukin tuh dan itu sama halnya dengan Mas Chandra. Mana mau dia ngaku, suka nikah lagi dengan Dinda. Bisa-bisa reputasinya hilang. Tapi, memang hal itu akan segera terjadi, tinggal menunggu waktu saja. "Sudah beres, Bu?"
"Apa kabar Bu Aeni dan Pak Joko." Sontak, dua orang pria dan wanita paruh baya yang sedang memunggungi kami langsung menoleh. Mata keduanya nampak terbelalak saat melihat kedatangan kami bertiga. Di kejauhan, kulihat Dinda sedang duduk di atas kursi roda, di bawah terik matahari. Dia yang awalnya terpejam, ikut menoleh saat menyadari kedatangan kami. "Ba-baik, Bu. Ibu Rina bagaimana?" Bu Aeni--ibu Dinda terlihat hendak menyalami ibuku. Tapi, ibu dengan cepat langsung menyilangkan tangannya di dada. "Seperti yang kalian lihat," jawab Ibu simpel. Bu Aeni nampak begitu canggung, sesekali dia terlihat menatap Mas Chandra yang menunduk tepat di sampingku. Baru beberapa saat kemudian, matanya melebar sempurna, mulutnya terbuka lebar ketika melihat perutku yang nampak besar. Ibu sengaja menyuruhku memakai daster yang tidak terlalu longgar. "Non Mila, hamil?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulutnya. Membuat Pak Joko yang berdiri di samping Bu Aeni menatap tidak percaya ke arahk
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
"Nanti malam, tolong ambil dompet, perhiasan dan kunci mobil milikku yang ada di laci dekat ranjang," ucapku dengan nada rendah kepada seseorang melalui sambungan telepon. "Baik, Bu," jawabku cepat. Aku mengangguk pelan, satu sudut bibirku terangkat. "Bagus! Kamu dan temanmu tidak usah khawatir akan tertangkap, karena kami sudah mengatur semuanya." Aku terdiam sejenak, mendengarkan derap langkah yang semakin mendekat. "Ingat! Ikuti rute yang aku arahkan." Segera kumatikan sambungan telepon. Lalu, mengarahkan jari ke salah satu aplikasi berjualan online, berpura-pura menggulir layar, memperhatikan satu-persatu barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku berpura-pura tetap diam, saat pintu kamar terbuka, menampilkan seorang yang memang ingin aku hindari. "Sayang, sedang apa?" Mas Chandra mendekat, merebahkan diri di sampingku. Dia nampak sedikit mengintip layar ponselku. "Mau belanja online, Mas," jawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari layar ponsel. "Tumben, meman
[Mas, aku minta uang!] Seperti dugaanku, Dinda pasti akan mengirimkan pesan tersebut pada suamiku. Untung saja, beberapa hari yang lalu, aku sempat menyadap ponsel Mas Chandra. [Uangku sudah habis, Dinda. Apa kamu tidak dengar, jika keluargaku baru saja kemalingan.] balas Mas Chandra beberapa detik kemudian. [Mas, aku gak mau tahu, ya! Pokoknya kamu kirimin aku uang seratus lima puluh juta rupiah.] Sontak, aku kedua alisku langsung terangkat saat membaca pesan yang dikirimkan Dinda. Kentara sekali, jika dia ingin menguras harta keluargaku. [Bukannya hutangmu hanya seratus juta, untuk apa sisanya lagi?] [Mas, aku ini istrimu. Pantas saja aku meminta uang. Lagipula beberapa hari yang lalu aku tidak sempat membeli tas] "Ada apa?" tanya seorang pria berpakaian kemeja putih yang kebetulan duduk tepat di sampingku. "Baca saja, Kak." Bang Willy--kakak laki-lakiku langsung menerima gawai yang aku lemparkan padanya. Keningnya nampak berkerut dengan mulut yang terus bergerak perlahan,
"Mau apa kalian kemari?" tanya Bu Aeni, raut wajahnya nampak masam, kedua tangannya terlipat di dada. Ibu yang berdiri di ambang pagar, langsung melenggang masuk. Diikuti olehku dan Bang Willy dari belakang. "Jangan pura-pura b*d*h! Lagipula, sepertinya kamu tahu, apa maksud kedatanganku kemari." Bu Aeni berdecak, sengaja dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, Dinda dan Pak Joko batang hidungnya pun tidak terlihat. "Aku ingin menagih hutangmu, Aeni!" tegas Ibu tanpa mempedulikan tatapan kurang mengenakan Bu Aeni. "Tenang saja! Kami pasti akan membayarnya. Tidak usah khawatir, uang seratus juta tidak ada apa-apanya bagi kami," jawab Bu Aeni dengan begitu entengnya. Sontak saja, aku langsung menyeringai ketika mendengar ucapan Bu Aeni. Begitu pun dengan Bang Willy, dia nampaknya tertunduk sambil memainkan kakinya. Sombong sekali dia. Uang hasil jadi istri siri aja bangga! "Bang, menurutmu rencana kita akan berhasil?" Aku mendekatkan mulut ke samping telinganya.
Bukannya menuruti perintah Dinda, para ibu-ibu justru sebaliknya. Mereka semakin menaikan intonasi, seakan-akan teriakan Dinda barusan hanyalah angin lalu. "Sesuai kesepakatan kita Aeni, rumah dan toko sembakomu yang ada di kampung akan kami sita," ucapan Ibu barusan mampu membuat para ibu-ibu terdiam. Serentak, mereka menatap Bu Aeni yang nampak begitu terkejut. Begitupun dengan Dinda yang berdiri tepat di sampingnya. "Apa?! Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu padaku, Rina." Bu Aeni terbelalak, pembuluh darah di lehernya nampak berdenyut. "Tentu saja, bisa!" Ibu menengadah satu tangannya pada Bang Willy. Tidak beberapa lama kemudian, Bang Willy mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. "Kamu lupa dengan perjanjian ini?" tambah Ibu sambil menggerakkan amplop tersebut di depan wajah Bu Aeni. "I-tu sudah tidak sah! Itu sudah lama." Bu Aeni nampak gelagapan. Sementara itu, Dinda yang ada di sampingnya nampak membeku. "Bu, itu apa?" Akhirnya Dinda membuka sua
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"
"Mila, apa yang kamu lakukan padaku. Mila, cepat kembalikan semua milikku." Laki-laki yang tidak lain adalah Mas Chandra, langsung meraih tanganku menggenggamnya dengan cukup erat. "Milikmu apa? Coba jelaskan padaku." Aku menatapnya dengan cukup tajam, tidak peduli dengan Mas Chandra yang terus memelas sambil memohon-mohon padaku. "Ayah, kerja di sini? Kenapa Ayah gak pernah mau ketemu lagi sama Faris?" Aku yang awalnya sempat bersitegang dengan Mas Chandra, langsung menoleh ke arah Faris yang duduk di samping Ibu. Sebisa mungkin, Ibu nampaknya mengalihkan perhatian Faris dari Ayahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Nak, maafkan Ayah. Tapi, Ayah janji, Ayah akan pulang." Mas Chandra menghampiri Faris, memeluknya dengan cukup erat. Hampir saja aku luluh, apalagi ketika melihat Faris begitu merindukan Ayahnya, tapi ketika mengingat kembali perbuatan buruk yang telah
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.