"Mau apa kalian kemari?" tanya Bu Aeni, raut wajahnya nampak masam, kedua tangannya terlipat di dada. Ibu yang berdiri di ambang pagar, langsung melenggang masuk. Diikuti olehku dan Bang Willy dari belakang. "Jangan pura-pura b*d*h! Lagipula, sepertinya kamu tahu, apa maksud kedatanganku kemari." Bu Aeni berdecak, sengaja dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sementara itu, Dinda dan Pak Joko batang hidungnya pun tidak terlihat. "Aku ingin menagih hutangmu, Aeni!" tegas Ibu tanpa mempedulikan tatapan kurang mengenakan Bu Aeni. "Tenang saja! Kami pasti akan membayarnya. Tidak usah khawatir, uang seratus juta tidak ada apa-apanya bagi kami," jawab Bu Aeni dengan begitu entengnya. Sontak saja, aku langsung menyeringai ketika mendengar ucapan Bu Aeni. Begitu pun dengan Bang Willy, dia nampaknya tertunduk sambil memainkan kakinya. Sombong sekali dia. Uang hasil jadi istri siri aja bangga! "Bang, menurutmu rencana kita akan berhasil?" Aku mendekatkan mulut ke samping telinganya.
Bukannya menuruti perintah Dinda, para ibu-ibu justru sebaliknya. Mereka semakin menaikan intonasi, seakan-akan teriakan Dinda barusan hanyalah angin lalu. "Sesuai kesepakatan kita Aeni, rumah dan toko sembakomu yang ada di kampung akan kami sita," ucapan Ibu barusan mampu membuat para ibu-ibu terdiam. Serentak, mereka menatap Bu Aeni yang nampak begitu terkejut. Begitupun dengan Dinda yang berdiri tepat di sampingnya. "Apa?! Kamu tidak akan bisa melakukan hal itu padaku, Rina." Bu Aeni terbelalak, pembuluh darah di lehernya nampak berdenyut. "Tentu saja, bisa!" Ibu menengadah satu tangannya pada Bang Willy. Tidak beberapa lama kemudian, Bang Willy mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. "Kamu lupa dengan perjanjian ini?" tambah Ibu sambil menggerakkan amplop tersebut di depan wajah Bu Aeni. "I-tu sudah tidak sah! Itu sudah lama." Bu Aeni nampak gelagapan. Sementara itu, Dinda yang ada di sampingnya nampak membeku. "Bu, itu apa?" Akhirnya Dinda membuka sua
"Mila dari mana saja kamu? Kenapa pulang sampai selarut ini?" tanya Ibu, raut wajahnya nampak begitu khawatir. Tangannya mengusap rambutku dengan begitu lembut. "Bram? Ngapain kamu sama dia?" Ibu melotot, ketika menyadari sosok pria bertubuh tegap yang berdiri di belakangku. "Ah, itu. Tadi aku jalan-jalan dan tidak sengaja bertemu Bram." Aku terpaksa berbohong pada Ibu untuk saat ini, baru ketika Bram sudah pergi aku akan mengatakan yang sebenarnya. "Benar, Bu. Tadi kami bertemu di jalan," jawab Bram dengan santainya. "Kalau begitu saya permisi dulu." Tidak beberapa lama kemudian, terdengar suara deru mesin kendaraan. Setelah memastikan Bram benar-benar pergi, aku langsung mengajak Ibu masuk ke rumah. "Bu, tadi Bram menyekapku. Dia ingin menuntut balas, karena Dhea telah menceraikannya." Seketika raut wajah Ibu berubah. Matanya melebar sempurna, satu tangannya menutup mulut yang terbuka. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang!" pekik Ibu dan tanpa di duga-duga, dia langsung
"Apa yang kamu lakukan di kamar bersama orang asing?" Mas Chandra mendekat, tatapan tajamnya tidak lepas dari Rama yang masih duduk dengan begitu santai. "Bukannya sudah jelas, jika dia seorang dokter. Jadi, tanpa aku bilang pun kamu tahu apa yang dia lakukan di sini." Namun, bukan Mas Chandra namanya bila langsung percaya begitu saja. Terbukti, dia masih saja menatap Rama yang sepertinya tidak peduli dengan hal itu. "Untuk apa kamu tetap di sini? Cepat pergi!" Jari telunjuk Mas Chandra mengarah ke pintu kamar yang terbuka lebar. "Baik, saya akan pergi secepatnya." Rama bangkit, kemudian meraih tas miliknya yang tergeletak di atas meja. "Semoga keadaanmu cepat pulih Mila. Jangan terlalu banyak pikiran dan jaga istrimu dengan baik, jika kamu mencintainya." Tepat di akhir kalimat, Rama balik menatap Mas Chandra, satu sudut bibirnya nampak terangkat. "Apa maksudmu berbicara seperti itu?" Tanpa di duga-duga, Mas Chandra langsung mencengkram kerah baju Rama, manik matanya melebar semp
"Bagaimana rumah dan toko keluarga Dinda di kampung, apa sudah beres?" tanyaku pada Bang Willy yang sedang menyesap kopi sambil menikmati tayangan televisi."Tenang saja, semuanya sudah beres," balasnya, sebelum akhirnya menyimpan gelas yang sudah kosong di atas meja.Aku mengangguk pelan, lalu meraih ponsel yang ada di saku daster, kembali memantau ke mana Mas Chandra pergi.Sesudah pertengkaran yang terjadi dengan Bang Willy beberapa saat yang lalu. Mas Chandra langsung pergi begitu saja. Dia pikir, aku mungkin tidak tahu, tempat apa saja yang dia datangi.Namun, sayangnya aku mengetahui semuanya, termasuk di mana sekarang dia berada."Bang, kita harus cepat beraksi. Bawa sertifikat rumah dan surat-surat lainnya yang mungkin akan kita butuhkan. Aku sudah benar-benar sangat muak." Aku segera bangkit dari sofa, berniat mencari Ibu yang ada di dapur bersama Faris.
"Aku minta harta benda atas nama Mas Chandra. Karena sebentar lagi, kami mungkin akan melangsungkan acara pernikahan, lalu melahirkan anaknya."Seketika senyum sinis langsung terbit di bibirku. Enteng sekali Dinda berkata seperti itu, dia kira aku ini apaan. "Tidak ada sepeserpun harta atas nama Chandra. Bahkan, rumah ini pun sudah menjadi milik kami."Aku menoleh ke arah Ibu yang sedang berbicara tepat di hadapan Bu Aeni dan Pak Joko. Sementara itu, kerumunan warga semakin bertambah. Awalnya hanya beberapa orang saja, tapi tiba-tiba membeludak sampai sebanyak ini."Tidak bisa! Lagipula Chandra yang bekerja. Jadi, dia pantas mendapatkan haknya," tambah Pak Joko, matanya nampak melotot sempurna, urat lehernya ikut bergetar."Dasar keluarga gila harta," celetukku tepat di hadapan Dinda.Ibu kembali menyerahkan berkas tersebut pada Bang Willy. Bu Aeni dan Pak Joko nampak menatap tajam ke arah keduanya. Mereka sepertinya ingin berontak, tapi sayangnya dua orang warga masih mencengkram ta
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"
"Mila, apa yang kamu lakukan padaku. Mila, cepat kembalikan semua milikku." Laki-laki yang tidak lain adalah Mas Chandra, langsung meraih tanganku menggenggamnya dengan cukup erat. "Milikmu apa? Coba jelaskan padaku." Aku menatapnya dengan cukup tajam, tidak peduli dengan Mas Chandra yang terus memelas sambil memohon-mohon padaku. "Ayah, kerja di sini? Kenapa Ayah gak pernah mau ketemu lagi sama Faris?" Aku yang awalnya sempat bersitegang dengan Mas Chandra, langsung menoleh ke arah Faris yang duduk di samping Ibu. Sebisa mungkin, Ibu nampaknya mengalihkan perhatian Faris dari Ayahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Nak, maafkan Ayah. Tapi, Ayah janji, Ayah akan pulang." Mas Chandra menghampiri Faris, memeluknya dengan cukup erat. Hampir saja aku luluh, apalagi ketika melihat Faris begitu merindukan Ayahnya, tapi ketika mengingat kembali perbuatan buruk yang telah
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.