"Mila, lihat ini!" Ibu menunjukan lokasi di mana mobil yang kendarai Mas Chandra berhenti di sebuah titik. Aku dan ibu saling pandang. Kami tahu betul daerah itu.
"Bu, ayo susul Mas Chandra ke sana!" saat aku hendak menarik tangan Ibu, tiba-tiba dia langsung menghentikan pergerakanku.
"Tunggu, Mila! Chandra kembali pergi ke tempat lainnya. Seperti ini--"
"Ke mall," potongku cepat.
Segera kuraih tas yang tergelatak di atas sofa. Sebenarnya mesti usia kehamilanku masih kecil, tapi tetap saja ini sedikit menghambat pergerakanku.
Menyedihkan memang, di saat wanita hamil lainnya mendapatkan perhatian lebih dari laki-laki yang dicintainya, aku malah harus mendapatkan kenyataan yang begitu pahit. Di mana suamiku sendiri, ternyata sudah menikah dengan adik sahabatku sendiri.
"Ayo, pergi!" Ibu menuntunku keluar rumah, menunggu taksi pesanan kami yang akan segera tiba. Masalah Faris, dia sudah aman.
"Untung saja berjalan lancar," ucapku sambil mendaratkan bokong di teras.
"Kamu benar. Tidak usah khawatir tentang banyak hal." Ibu yang sedang berdiri langsung menoleh, menatapku sambil menyunggingkan senyuman. "Pikiran saja calon bayimu. Urusan suamimu dan wanita tidak tahu diri itu. Kita hanya tinggal menunggu hasil. Lagipula mereka sudah menjalankan tugasnya dengan baik."
"Ibu, terima kasih. Selalu ada di sampingku." Aku menghampiri ibu yang masih mematung di tempat sambil menenteng tas, memeluk tubuhnya yang sangat kuat.
"Sama-sama, Nak. Lagipula Ibu akan melakukan banyak hal untukmu. Andai saja, ayahmu masih ada. Mungkin dia sudah melakukan hal yang lebih keji dari ini."
***
Dengan tidak sabaran, Ibu terus menyuruh supir taksi untuk mempercepat laju kendaraan dan tentunya masih tetap berhati-hati, menginginkan aku sedang mengandung.
Mesti aku membenci ayahnya, tapi tidak ada alasan lain bagiku untuk membenci calon anakku. Dia tidak tahu apa-apa, dia hanya korban dari ayahnya yang tidak bisa merasa puas hanya dengan satu wanita.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan mall, tanpa menunggu waktu lagi, Ibu langsung membawaku menuju sebuah toko.
Tepat sekali, dari kejauhan kulihat seorang wanita dan pria tengah berdiri. Wajah wanita itu terlihat sumringah, beberapa kali dia menatap deretan perhiasan yang ada di hadapannya dengan mulut yang terbuka lebar. Mungkin, bisa saja air liurnya menetes saat itu juga
Ibu terlihat mengotak-atik gawainya, sebelum akhirnya menempelkan benda tersebut di telinga.
"Pokoknya, katakan pada wanita dan pria yang ada di hadapanmu. Jika, semua perhiasan yang ada di toko itu, tiba-tiba diborong oleh seseorang."
Pelayan wanita yang ada di hadapan Mas Chandra dan Dinda terlihat bingung. Dia sedikit celingak-celinguk ke kanan dan kiri.
"Saya Rina Santoso, kamu tahu saya, 'kan? Jika kamu tidak percaya. Silahkan tanyakan saja pada Angel, pemilik toko tersebut."
Wanita itu seketika langsung terbelalak saat mendengar nama panjang Ibu. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, tapi dia terlihat seperti ketakutan.
"Jangan matikan teleponnya! Biarkan saya mendengarkan percakapan mereka."
Wanita itu sepertinya menurut, terbukti dari telepon yang sengaja masih dia pegang.
"Mbak, pokoknya saya gak mau tahu, ya. Perhiasan itu harus kembali!" Dinda berteriak seperti orang yang sedang kesetanan. Ketika pelayan tersebut mengatakan kalimat yang ibu perintahkan. Padahal hanya perihal perhiasan saja, dia sampai selebay itu.
"Maaf, Mbak. Tidak bisa."
"Pokoknya, harus ada!" Dinda kemudian beralih menatap Mas Chandra yang wajahnya sedikit memerah. Akibat tingkah gundiknya mungkin. "Mas, gimana dong! Aku malu sama temen-temen aku."
"Ya, mau bagaimana lagi, perhiasannya udah gak ada. Beli yang lain aja, ya, sayang," bujuk Mas Chandra dengan penuh kemesraan. Jika, bukan karena rencana ibu, aku sudah melabraknya saat ini juga.
Dinda terdiam selama beberapa saat, kemudian langsung bergelayut manja di tangan Mas Chandra. "Ya sudah, beliin aku tas aja, ya, Sayang." Dengan centilnya, Dinda menyibak rambut ke belakang. "Aku gak mau, ya, terlihat miskin di depan teman-teman."
Hampir saja aku memuntahkan isi perut ketika mendengar ucapannya. Sedikit kaya hasil jadi pelakor saja bangga. Lihat saja Dinda! Perlahan riwayatmu tamat.
Saat, Mas Chandra dan Dinda berjalan ke arah kami, aku dan Ibu bergegas masuk ke salah satu toko, berpura-pura memilih pakaian.
"Ayo, Nak!" Ibu mengajakku keluar dari persembunyian, menghampiri keduanya yang masih sibuk memilih tas mahal.
Setelah sebelumnya kembali menyusun rencana, Ibu menyuruhku untuk masuk ke toko tersebut, bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa.
"Mas, bungkus tas merah itu satu sama--" potongku dengan nada pelan, lalu di saat yang sama menunjuk tas yang diambil Dinda. "Sama itu, ya, Mas."
"Apaan, si--" ucapan Dinda seperti hilang di telan bumi, saat dia hendak melayangkan protes padaku.
"Mas, kamu ngapain di sini?" Aku berpura-pura memicingkan mata. "Dinda, kamu juga lagi apa? Ke mana suamimu? Katanya sudah menikah."
"A-aku ...."
"Chandra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kali ini Ibu keluar, mengagetkan dua sejoli yang sedang dimabuk cinta."Ah, i--itu, Bu, aku akan membelikan Mila dan Ibu hadiah, tapi karena kalian datang kemari, jadinya gagal, deh," bohong Mas Chandra sambil bersikap seolah-olah merasa kecewa.Dih! Berani sekali dia berbohong seperti itu."Begitu, ya, jadi kami boleh dong, pilih-pilih tas di sini?" tanya ibu dengan mata berbinar. Sungguh, Ibu benar-benar sangat pintar.Sementara itu, Dinda yang berdiri di samping Mas Chandra terlihat mati kutu. Mampus kamu Dinda! Ini baru permulaan."Tentu saja, pilih-pilih saja. Terserah kalian mau beli yang bagaimana.""Bu, ini bagus. Kenapa tidak pilih itu saja?" ucap Dinda sambil menyerahkan tas yang ada di tangannya.Kulihat Ibu tidak menghiraukan Dinda, dia lebih memilih melihat tas tersebut sa
Aku benar-benar tidak menduga akan rencana Ibu. Bahkan, akupun lupa jika hari ini adalah anniversary pernikahan kami. Mungkin, karena aku terlalu kecewa dengan Mas Chandra, sehingga tidak memperdulikan hal itu lagi.Saat mobil kami tiba di depan rumah, seketika aku langsung tercengang ketika melihat dekorasi rumah yang cukup mewah. Aku tidak menyangka, hanya dalam hitungan jam saja, para orang-orang suruhan Ibu sudah melaksanakan tugasnya dengan cukup baik.Kulirik Mas Chandra sekilas, laki-laki itu pun memperlihatkan ekspresi yang sama. Mungkin dia tidak menyangka, aku akan mempersiapkan hal seperti ini.Ya, tentu saja aku bisa! Setelah mengetahui perselingkuhan Mas Chandra dengan Dinda, aku semakin tidak bisa menahan diri. Aku tidak ikhlas, jika uang hasil jerih payah suamiku, di pakai poya-poya oleh orang lain selain istri dan keluarganya."Mas, kamu suka kejutan dariku dan ibu, 'kan?" Kulirik Ibu
"Aku ikut, ya!" Sengaja aku menggandeng Mas Chandra dengan erat. Memperlihatkan kemesraanku pada Dinda."Iya, Sayang.""Bram, apa kabar?" sapa Mas Chandra pada seorang laki-laki yang diperkirakan seumuran dengannya."Baik, Dra." Laki-laki bernama Bram itu menatapku dari bawah hingga atas, membuatku sedikit risih. "Istrimu yang?" tanyanya dengan eskpresi sedikit terkejut.Ah, jadi dia yang bernama Bram. Aku ingat itu. Aku berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bram yang di ajukan pada Mas Chandra."Dia istriku satu-satunya," jawab Mas Chandra dengan cepat. Peringgainya tiba-tiba berubah, bahkan dia sampai terpejam dalam waktu yang cukup lama.Seperti baru menyadari situasi, Bram mengangguk cepat, dia menggaruk tengkuknya. "Ah, i-iya. Hai salam kenal, aku Bram."Ragu-ragu aku menjabat tangannya. "Mila.""Mas, kenapa di
Kuseret kakiku untuk segera menjauh dari tempat tersebut, sebelum hal yang lebih menyakitkan terlihat."Sayang, kamu dari mana?" Ibu segera menghampiriku yang tengah berjalan dari arah lain."Lihat, Bu." Aku menghidupkan gawai, lalu memperlihatkan video yang sempat aku rekam.Seketika, wajah Ibu langsung memerah, rahangnya mengeras. "Ini, tidak bisa dibiarkan, Mila."Ibu segera merongoh ponsel dari tas kecilnya dan menempelkan benda persegi itu di telinga."Halo, bagaimana urusan kantor, apa sudah selesai?"Aku tidak tahu Ibu menelpon siapa, namun yang pasti dia terlihat mengangguk selama beberapa saat."Bagus! Pastikan Chandra tidak mengetahui hal ini terlebih dahulu." Ibu menoleh ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyuman. "Ya, benar. Kamu memang bisa di percaya.""Bagaimana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang kembali memasukan ponsel berlogo apel ke tas mewahnya."Beres!" Ibu mengacungkan jempol. "Ayo! Acaranya inti akan segera di mulai. Tapi, sebelumnya kamu ingat 'kan, Nak, apa yang haru
Hampir semua ibu-ibu sosialita sudah berkumpul di rumahku. Dari pakaiannya saja, aku sudah bisa menebak, jika mereka bukan dari kalangan biasa saja. Perhiasan, hingga barang-barang bernilai jutaan rupiah melekat di tubuh mereka. Maka tidak heran, jika baru sampai saja, sudah saling memamerkan kekayaan masing-masing. "Eh, kalian tahu, gak? Katanya si Dinda mau ikut arisan, loh." Seketika aku langsung menoleh, saat secara tidak sengaja mendengar nama Dinda. Aku tidak menyangka, jika kulit wajahnya benar-benar tebal. "Beneran? Ih, jijik banget tau gak Jeng. Gak mau deket-deket aku sama dia, takut," tambah ibu-ibu yang lainnya. Ibu-ibu yang awalnya saling pamer harta, seketika langsung terdiam. Mereka langsung nimbrung, ketika membahas soal Dinda. Apa kataku kemarin, sepertinya Dinda tidak akan tahan hidup lama-lama di sini. Rasakan, Dinda! Julitan ibu-ibu lebih kejam dari apapun. "Eh, katanya lagi Bu Dea udah gugat cerai Pak Bram, loh." "Seriusan? Bagus, lah! Laki-laki kayak gitu
"Ada apa, Mila?" Aku menoleh ke arah Ibu yang nampak kaget. "Mas Chandra kecelakaan, Bu." "Sri ... Sri," teriak Ibu dengan cukup nyaring. Dari arah dapur, datang seorang wanita paruh baya memakai daster batik. " Bi Ani, Tolong bilang ke Sri, jaga Faris sampai saya dan Mila kembali. Jangan khawatirkan soal upah." "Baik, Nyonya." "Aku tunggu di depan," ucapku pada Ibu, setelah sebelumnya menyambar dompet yang tergeletak di meja. "Panggil Pak Asep!" perintaku pada seorang satpam yang sedang duduk di teras. Tidak beberapa lama kemudian, seorang pria datang dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Bu?" "Cepat, Panaskan mobil! Kita akan segera pergi ke rumah sakit." "Baik, Bu." Kutarik napas dalam selama beberapa kali, lalu menjatuhkan bokong di salah satu kursi kayu yang tertata dengan cukup rapih di teras. Keningku terasa berdenyut, jantung berdegup cukup kencang. Beberapa kali aku memijat pelipis sambil menunduk dalam. "Mila, cepat berangkat!" Aku mendongak, lalu segera bangkit, mengik
"Mas, ngapain Dinda ada sama kamu?" Mas Chandra yang sedang duduk di kursi penumpang, sepertinya sedikit tersentak dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba. "A-aku mau nganter Din--" "Nganter Dinda ke mana?" tanyaku sambil melotot saat mendengar Mas Chandra gugup. "Ke hotel atau vila?" "Mila! Ngapain kamu ngomong begitu? Suami kena musibah, bukannya dirawat baik-baik, malah diomelin," gerutu Mas Chandra sambil beralih menatap ke luar jendela mobil. "Karma," celetukku tiba-tiba. "Apa?! Memangnya aku sudah lakuin kejahatan apa sama kamu?" Sontak, aku langsung menatap Mas Chandra sambil mengangkat kedua alisku. Apa aku tidak salah dengar atau memang dia yang tidak sadar diri. Ah, tapi menurut perkataan orang-orang juga, mana ada maling mau ngaku. Bisa-bisa di gebukin tuh dan itu sama halnya dengan Mas Chandra. Mana mau dia ngaku, suka nikah lagi dengan Dinda. Bisa-bisa reputasinya hilang. Tapi, memang hal itu akan segera terjadi, tinggal menunggu waktu saja. "Sudah beres, Bu?"
"Apa kabar Bu Aeni dan Pak Joko." Sontak, dua orang pria dan wanita paruh baya yang sedang memunggungi kami langsung menoleh. Mata keduanya nampak terbelalak saat melihat kedatangan kami bertiga. Di kejauhan, kulihat Dinda sedang duduk di atas kursi roda, di bawah terik matahari. Dia yang awalnya terpejam, ikut menoleh saat menyadari kedatangan kami. "Ba-baik, Bu. Ibu Rina bagaimana?" Bu Aeni--ibu Dinda terlihat hendak menyalami ibuku. Tapi, ibu dengan cepat langsung menyilangkan tangannya di dada. "Seperti yang kalian lihat," jawab Ibu simpel. Bu Aeni nampak begitu canggung, sesekali dia terlihat menatap Mas Chandra yang menunduk tepat di sampingku. Baru beberapa saat kemudian, matanya melebar sempurna, mulutnya terbuka lebar ketika melihat perutku yang nampak besar. Ibu sengaja menyuruhku memakai daster yang tidak terlalu longgar. "Non Mila, hamil?" pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulutnya. Membuat Pak Joko yang berdiri di samping Bu Aeni menatap tidak percaya ke arahk
Tidak di rasa, percakapanku dengan kedua orang tua Rama berlanjut dengan sedikit intens, tidak ayal bahkan Om Seto menceritakan bagaimana awal mula dia mengenal Ayahku.Sejujurnya, aku bahkan tidak bisa menahan tangis, ketika Om Seto bercerita tentang kebaikan Ayahku, rasanya aku begitu bangga, meskipun Ayah sudah tiada, tetapi jasa dan perbuatan baiknya masih di ingat oleh orang-orang yang dulu mengenalnya."Semenjak Om dan Tante sibuk bekerja, kadang sampai pergi ke luar negeri selama beberapa tahun, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dan sekarang Om tidak menyangka, akan bertemu dengan putri dari teman baik, Om, dulu.""Saya juga tidak menyangka, akan bertemu dengan teman baik, Ayah."Om Seto tersenyum lebar, dia menyandarkan punggungnya pad kursi."Pertemuan ini benar-benar mengejutkan, seketika saja Om kembali teringat dengan janji semasa kuliah dulu."
Sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang Ibu rencanakan, masalahnya aku dan Mas Chandra belum resmi bercerai, jadi aku sedikit malu jika harus bertemu dengan keluarga Rama.Takutnya mereka berpikir, jika aku sengaja mendekati anaknya yang masih melajang, karena sebentar lagi statusku berubah."Mil, kenapa wajahnya di tekuk seperti itu. Ada masalah?"Kebetulan karena malam ini hujan, jadinya aku terlalu sibuk mendengarkan suara rintikannya."Tidak ada, aku baik-baik saja."Sengaja aku tidak berkata yang sebenarnya pada Rama, karena memang tidak mungkin aku jujur padanya, jika aku sedikit tidak enak jika bertemu kedua orangtuanya.Tidak terasa, mobil yang di kendarai Rama mulai memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Aku tidak tahu, jika Rama memiliki rumah semewah ini.Perlahan aku keluar dari mobil, mematung di s
"Mau apa kalian ke sini?"Aku yang sedang asyik memainkan ponsel, lantas menoleh. Hari ini di rumah, hanya ada aku dan Ibu, sementara Faris pergi menginap dari kemarin dan sampai hari ini belum ada tanda-tanda dia akan segera pulang."Pergi! Untuk apa kalian menginjakkan kaki di sini."Mendengar Ibu yang terus berteriak, aku langsung menyimpan ponsel di atas meja dan segera bergegas keluar rumah.Kondisi Ibu memang belum sepenuhnya pulih. Lusa, Rama datang ke sini dan memeriksa kesehatan Ibu. Katanya Ibu hanya banyak pikiran dan kecapean saja, jadinya penyakit darah tingginya ikut kumat.Seketika aku langsung merasa bersalah pada Ibu, karena gara-gara aku, kondisinya jadi memburuk seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku dari ambang pintu, saat melihat Ibu sedang berdiri di depan pagar.Aku sedikit menyipit, ketika meli
"Mil, barusan siapa? Kayaknya itu bukan mobil Rama." Ibu yang baru saja pulang dari supermarket lantas langsung bertanya."Bram."Seketika Ibu langsung terbelalak saat mendengar ucapanku. "Apa! Untuk apa dia datang kemari? Mila, kamu tidak apa-apa, 'kan. Maksud ibu, dia tidak melakukan tindak kejahatan seperti waktu itu.""Tidak, Bu. Bram datang untuk meminta maaf."Ibu yang sedang berdiri, segera menghempaskan tubuh ke atas sopa. Hembusan napas berat terdengar, dia beberapa melirikku yang masih mematung."Rasanya Ibu tidak ingin percaya padamu. Tapi ... ah, yasudahlah syukur jika dia tidak melakukan kejahatan padamu."Seketika aku langsung menyunggingkan senyuman sambil menghampiri Ibu yang wajahnya nampak masam.Tanpa basa-basi, aku langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkanku sampai bertaruh nyawa. Wanita paruh baya yang
"Bram! Apa yang membawamu datang kemari?" tanyaku pada sosok pria berkemeja biru dongker yang di padukan langsung dengan celana jeans hitam. "Tidak ada. Aku ... hanya ingin berkunjung saja." Aku mengangguk pelan, lalu segera mempersilahkan Bram masuk. Sebenarnya, aku sedikit takut dengannya, takut dia merencanakan hal buruk seperti beberapa saat yang lalu. Seperti menyadari ketakutanku, Bram langsung berkata, "Tidak usah takut atau canggung denganku. Aku kemari untuk meminta maaf padamu soal kejadian yang telah menimpamu." Aku sempat terdiam selama beberapa saat, sebenarnya aku masih marah dan kesal dengannya. Bagaimana bisa, Bram bertindak gila seperti itu, ditambah lagi posisiku saat itu sedang mengandung. Jika di pikirkan kembali, ingin sekali rasanya aku mencabik wajah dan mulutnya yang seenak jidatnya meminta maaf, padahal tindakannya sudah hampir mengancam n
"Rama, kapan kamu datang?" tanyaku pada sosok dokter muda yang tengah mengobrol dengan Ibu di ruang tengah. Penampilannya memang tidak jauh berbeda dari biasanya, tetap sama.Tampan dan menawan."Mungkin setengah jam yang lalu," jawab Rama sambil menoleh ke arahku, tidak lupa kedua sudut bibirnya ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.Aku menghampiri keduanya, lalu duduk tepat di hadapan Rama. "Ah, begitu. Maaf, aku baru sempat menemuimu sekarang. Tadi, aku harus mengurus Faris terlebih dahulu.""Tidak apa-apa, Mila. Aku paham keadaanmu. Tapi, Faris di mana? Kenapa dia tidak kelihatan." Rama nampak celingak-celinguk, memperhatikan seisi ruangan."Faris sedang bermain sepeda-sepedaan di taman belakang. Kamu mau menemuinya?""Tentu saja." Entah hanya penglihatanku saja atau bukan, tapi Rama nampak begitu berbinar. "Tan, saya permisi dulu, ya!"
"Mila, apa yang kamu lakukan padaku. Mila, cepat kembalikan semua milikku." Laki-laki yang tidak lain adalah Mas Chandra, langsung meraih tanganku menggenggamnya dengan cukup erat. "Milikmu apa? Coba jelaskan padaku." Aku menatapnya dengan cukup tajam, tidak peduli dengan Mas Chandra yang terus memelas sambil memohon-mohon padaku. "Ayah, kerja di sini? Kenapa Ayah gak pernah mau ketemu lagi sama Faris?" Aku yang awalnya sempat bersitegang dengan Mas Chandra, langsung menoleh ke arah Faris yang duduk di samping Ibu. Sebisa mungkin, Ibu nampaknya mengalihkan perhatian Faris dari Ayahnya, tapi sayangnya itu tidak berhasil. "Nak, maafkan Ayah. Tapi, Ayah janji, Ayah akan pulang." Mas Chandra menghampiri Faris, memeluknya dengan cukup erat. Hampir saja aku luluh, apalagi ketika melihat Faris begitu merindukan Ayahnya, tapi ketika mengingat kembali perbuatan buruk yang telah
Sudah satu bulan semejak kejadian tersebut, tidak banyak yang berubah dariku, hanya saja aku masih sedikit agak terpuruk.Namun, di sisi lain aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar, karena bagaimanapun itu aku masih memiliki Faris, anak laki-lakiku yang harus aku urus dengan begitu baik."Bu, kita jadi menemui Dinda di tahanan?" tanyaku pada Ibu yang terlihat sibuk membolak-balikkan halaman majalah.Seketika Ibu langsung menoleh, setelah sebelumnya menghentikan pergerakan tangannya, saat aku mendaratkan bokong tepat di sampingnya. "Kamu yakin ini menemui Dinda kali ini?"Aku mengangguk pelan. "Tentu saja! Aku sudah siap sekarang. Aku--" tanpa terasa, mataku sedikit memanas. "Ingin menemui pembunuh dari anakku."Ibu sempat terdiam saat mendengar penuturannya. Hingga hembusan napas berat terdengar."Baiklah, kamu siap-siap dulu. Ibu tunggu di
"Aku tidak mau pergi dari rumah ini! Lagipula, ini adalah rumah yang suamiku belikan untukku," pekik Dinda sambil berbalik, dia menatapku tajam, tangannya terkepal kuat."Maaf, sebelumnya ada kesalahan. Suamimu tidak membelikannya, tapi mencicilnya." Sontak saja, wajah Dinda dan kedua orangtuanya langsung memerah padam setelah mendengar sindiran Ibu.Dinda segera menghampaskan tangan pria yang mencengkramnya, dia kembali berlari masuk ke halaman rumah dan tanpa di duga-duga, dia langsung mendorong tubuhku hingga perutku jatuh mengenai sisi teras."Ah, tolong." Aku meringis sambil memegang perut yang terasa begitu sakit."Mila!" pekik Ibu yang berada tepat di sampingku.Aku berusaha bangkit, di bantu oleh Bang Chandra dan Beberapa warga lainnya. Seketika aku langsung mematung, mulutku terbuka lebar, saat melihat cairan kental berwarna merah meluncur membasahi betisku.