Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir.
"May, pulang, yuk, udah malam, nih!"
"Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya."
"Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya.
"Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.
Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja.
"Aku tunggu di sini sampai kamu selesai."
"Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih."
"Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."
Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya.
"Ya udah, pulang, yuk! Aku udah kelar." Aku yang merasa risi ditunggui olehnya segera bangkit dan merapikan laptop.
Dia sepertinya sedikit kaget. Hanya saja tidak menolak ajakanku. Kami akhirnya melangkah keluar gedung.
"Besok libur jalan-jalan, yuk! Aku mau ke pantai. Lihat sunset." Ah, dia romantis.
"Besok aku kerja. Lagian aku mana pernah pergi-pergi. Enak di rumah aja."
"Justru karena nggak pernah pergi-pergi, jadi coba, yuk, besok! Dijamin seru!" bujuk laki-laki yang aromanya sesegar jeruk itu.
"Lihat besok, deh, Al. Aku kayaknya malas." Sebenarnya aku sama sekali tidak malas pergi ke suatu tempat wisata. Akan tetapi, mengingat statusku dengan Lukman, tentu saja aku mencoba menghormatinya.
Aku melihat Aldi sedikit kurang suka.
"Kalau mau, telepon aku, ya! Kutunggu." Dia memamerkan gigi-gigi putihnya.
Astaga, kalau saja tidak ada Lukman, mungkin saja aku begitu mudah ditaklukannya.
Aku mengangguk kemudian menuju mobil.
"Aku duluan, ya!" Kulambaikan tangan kepadanya. Memasang senyum seperti biasa. Kemudian, menghidupkan mesin.
Aku melesat cepat bahkan sebelum dia beranjak dari tempatnya berdiri. Entah kenapa Aldi akhir-akhir ini terasa sangat perhatian kepadaku. Biasanya tidak seperhatian ini. Sampai membelikan makanan segala.
Aku memikirkan keanehan itu sepanjang jalan. Entah kenapa pula aku merasa sedikit risi. Terlebih saat tahu Sasti menyukainya.
Aku yang belum selesai dengan laporan harian, segera membelokkan mobil ke sebuah tempat yang menyediakan jaringan internet gratis.
"Pesan apa, Kak?" Seorang gadis berseragam serba cokelat muda menanyakan menu yang kupesan. Aku berpikir sejenak sambil melihat gambar makanan dan minuman yang dipasang di belakang si pelayan.
Aku melihat promo diskon setiap pembelian burger ukuran besar dan minuman.
Aku menunjuk menu itu, kemudian membayar sesuai yang tertera di layar.
"Terima kasih." Aku menerima nota pembelian dan lanjut mengantre di bagian pengambilan pesanan. Aku mengamati sekeliling.
Sesosok tubuh semampai yang kukenal terlihat tak jauh di depanku. Dia juga sedang mengantre di barisanku. Hanya berselang tiga orang di depanku. Akan tetapi, karena tidak melihat jelas wajahnya, aku takut salah. Untuk itu, aku memutuskan untuk tidak menyapanya.
"Hei, May?" Sebuah suara mengagetkanku. Dia benar-benar orang itu. Ci Lily, yang tempo hari ketemu di kondangan.
"Ci, hai, apa kabar? Tadi kukira bukan Cici." Kami cipika-cipiki. Tidak enak karena di antrean, kami memutuskan untuk mengobrol sambil makan.
"Di pojok sana, ya, May! Aku tunggu!" Wanita berambut kemerahan itu melambai.
"Oke, Ci, nanti aku nyusul ke sana, ya!"
"GPL!" teriaknya lagi masih sambil berjalan.
"Iya."
Giliranku tiba. Kuambil pesanan, kemudian segera menuju kursi di pojok. Di sana Ci Lily sudah menunggu dengan makanan dan minumannya.
Aku duduk di hadapannya. Kemudian mulai menyedot minuman kola milikku. Tas berisi laptop kuletakkan di bangku kosong samping kiriku.
"Tadinya mau kukenalin suamiku, eh tiba-tiba dia ingat harus telepon rekannya."
"Ah, dia pasti pebisnis yang sibuk, ya, Ci?"
"Sibuk banget, sampai-sampai nggak ada waktu buat keluarga." Dia bercerita sambil mengunyah. Suaranya terdengar lucu.
"Ya, tapi sebanding sama pendapatan, kan?"
"Ya, iya, sih. Tapi, aku kadang suka iri sama orang gitu. Lihat orang-orang pada jalan-jalan sama suaminya. Aku mana bisa."
"Ya, setiap orang punya masalahnya masing-masing."
Aku paham yang dirasakan Ci Lily.
Aku merasakan hal yang sama. Sama-sama ingin menikmati dunia luar bersama orang yang dicintai. Namun, apa daya itu hanya keinginan.
Sedang asyik mengunyah, aku mendengar sebuah lagu yang begitu akrab di telinga. Lagu yang juga begitu kusukai. Lagu romantis yang kadang ingin sekali kurealisasikan di alam nyata bersama Lukman.
I found a love for me
Darling, just dive right inAnd follow my leadWell, I found a girl, beautiful and sweetI never knew you were the someone waiting for me'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it wasI will not give you up this timeDarling, just kiss me slow, your heart is all I ownAnd in your eyes, you're holding mineBaby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite songWhen you said you looked a mess, I whispered underneath my breathBut you heard it, darling, you look perfect tonightWell, I found a woman, stronger than anyone I know
She shares my dreams, I hope that someday I'll share her homeI found a love, to carry more than just my secretsTo carry love, to carry children of our ownWe are still kids, but we're so in love
Fightin' against all odds I know we'll be alright this timeDarling, just hold my hand
Be my girl, I'll be your manI see my future in your eyesBaby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listenin' to our favorite songWhen I saw you in that dress, looking so beautifulI don't deserve this, darling, you look perfect tonightOh, no, no
Mmm
Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, we're listenin' to our favorite songI have faith in what I seeNow I know I have met an angel in personAnd she looks perfectNo, I don't deserve thisYou look perfect tonight"Kayaknya menikmati banget lagunya?"
Iya, aku menikmati lagu itu teramat sangat.
"Iya, Ci, romantis banget. Kayaknya semua cewek membayangkan hal yang sama kalau dengar lagu itu." Aku yakin sekali dia pun merasakan hal yang sama. Namun, aku melihatnya menggeleng.
Dia menyelesaikan kunyahannya, lalu menyedot minumannya dengan rakus.
Ci Lily mengelap mulut, kemudian, membuang tisu bekasnya di nampan yang tadi digunakan untuk membawa makanan. Kemudian, dia menatapku serius. Seperti orang yang akan menyidang. Aku jadi berdebar-debar.
"Laki-laki semuanya sama, May. Bullshit!" Dia kemudian meninggalkanku.
Aku terbengong mendengarnya. Apa maksud semua itu? Bukankah baru saja dia membicarakan ingin mengenalkan suaminya?
Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta
Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal
Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya
Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me
Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."
Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben
Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang
Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman
Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint
Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses
Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn