Share

Bab 4

Penulis: Noya Wijaya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-02 03:40:19

Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.

Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini.

"May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"

Pak Agus mulai menginterogasiku.

Jujur saja aku bingung menjawabnya.

"Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."

Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi.

"Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."

Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setoran.

Pak Eko adalah karyawan baru. Aku bahkan tidak mengenalnya sebelum ini. Sudah barang tentu, aku tidak bisa begitu saja percaya kepadanya.

Berbeda dengan Sasti, Adminku itu sudah bertahun-tahun menjadi andalan Computer Shop. Mana mungkin dia melakukan hal ceroboh? Tidak mungkin juga dia mencuri.

Sasti gadis jujur. Dia juga lembut. Rajin ibadah. Mana mungkin jadi pencuri.

Lalu, selain Sasti, apa ada tersangka cadangan?

"Pak Agus nggak curiga sama Pak Eko?"

Pak Agus terkejut. Matanya menyipit. Bibirnya berkomat-kamit, dahinya berkerut.

Suasana ruang kerja Pak Agus mendadak sangat lengang. Hanya detak jam di dinding yang memenuhi ruangan. Juga mesin pendingin ruangan yang menderu. Menyelimuti kebisuan yang tercipta.

Pikiranku terus mengayuh dalam prasangka.

Pak Agus tampak sedang manggut-manggut.

"Aku nggak berani nyimpulin begitu, May."

"Sama. Aku pun menjaga untuk nggak menyimpulkan. Untuk itu, aku yang ganti."

"Ya, okelah. Semoga ke depan nggak ada begini-begini lagi. Bakal nggak sehat."

Benar. Akan terjadi hubungan tidak sehat apabila di kemudian hari terjadi hal serupa. Akan ada saling sangka.

"Ya, semoga, Pak. Techno bisa hancur digerogoti." Jangan mengira aku berlebihan!

Kujelaskan, apabila ada karyawan yang diam-diam sengaja jadi pencuri, maka sesama teman akan jadi curiga.

"Harus ada sanksi, May. Nggak bisa dibiarkan." Benar, harus ada sanksi. Lalu, bagaimana cara mengungkap pelaku? Menggunakan rekaman CCTV?

"Besok biar kucek rekaman CCTV, Pak."

"Kutunggu hasilnya, May. Tetap bersikap biasa! Jangan sampai mencurigakan!"

Aku mengangguk. Lagi pula, apa tidak salah aku yang dikasih pesan seperti itu? Dasar Pak Agus aneh. Yang mencurigakan itu pelaku, kenapa jadi aku?

Aku meninggalkan kantor pusat, kemudian menuju Computer Shop. Mengendarai mobil dinas kantor, membelah teriknya lautan kendaraan. Deru klakson kendaraan lain memekakkan telinga.

Aku iseng memutar lagu di mobil demi meredam lelah. Sebuah lagu A Thousand Years menamani setiap putaran roda yang membawaku semakin dekat dengan tujuan. Membuaiku sesaat.

Heart beats fast

Colors and promises

How to be brave

How can I love when I'm afraid to fall

But watching you stand alone

All of my doubt, suddenly goes away somehow

One step closer

I have died everyday, waiting for you

Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

Time stands still

Beauty in all she is

I will be brave

I will not let anything, take away

What's standing in front of me

Every breath, every hour has come to this

One step closer

I have died everyday, waiting for you

Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed, I would find you

Time has brought your heart to me, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more....

Pikiranku melayang. Membayangkan wajah tampan Lukman. Senyum manisnya yang selalu berhasil membuatku meleleh.

"Aku lama-lama bisa gila kalau begini terus."

Ya, siapa yang tidak gila saat tergila-gila dengan lawan jenis, tetapi tidak lekas berujung? Mungkin, di mata orang-orang yang mengetahui hubunganku dengannya akan berpikir lain. Pasti akan iri.

Mereka melihat dari luar. Bahwa aku yang memiliki pekerjaan bagus, gaji besar, memiliki calon suami—walau belum bertunangan—yang mapan. Toko fesyennya ada di beberapa kota.

"Kita pasti menikah. Segera. Aku janji."

***

"May, dari mana? Dari tadi nggak kelihatan?" tanya Aldi saat aku melintas di depan toko tempatnya bekerja. Aku hanya tersenyum seperti biasa.

Bukan, sekali lagi aku tidak bermaksud sombong. Kali ini aku hanya tidak ingin menarik perhatian siapa pun dengan cara mengobrol dengan kepala toko kompetitorku. Tentu saja, hal itu bisa ditanyakan nanti setelah jam kerja berakhir. Aku yakin Aldi paham.

Dia bukan baru beberapa hari mengenalku.

Dia juga paham sifatku yang tidak suka perhatian dari khalayak. Sangat kontras dengannya yang begitu terlihat bahagia saat mendapatkan perhatian banyak orang. Ya, aku memang sekontras itu dengannya.

Sesampainya di ruanganku, tidak ada seorang pun di sana. Biasanya Sasti tidak pernah meninggalkan ruangan saat sepi. Ya, suasana toko benar-benar sepi. Bahkan, anak-anak marketing sibuk bercengkerama.

"Eh, Bu Maya udah datang ternyata."

"Kamu dari mana, Sas? Pergi-pergi laci dikunci nggak? Jangan sampai kayak kemarin lagi!" Aku memperingatkannya dengan keras.

Dia bilang baru saja ke toilet, kemudian meyakinkanku bahwa laci terkunci.

"Aman, 'kan, Bu? Tenang. Nggak akan lagi."

"Oke."

Aku bergegas menuju kursi di sudut ruangan.

"Bu, tadi Pak Aldi nanyain Bu Maya."

Sasti memberiku informasi, seperti biasa.

"Ya, biarin aja. Dia emang kerajinan." Aku tidak habis pikir, untuk apa dia menanyakanku.

"Pak Aldi itu ganteng banget, ya, Bu?"

Sasti memuji rekan baikku itu.

"Kamu naksir? Nanti saya sampaiin. Gimana?"

Bisa-bisa Aldi kerjanya pacaran. Dia mungkin sekali tidak terlalu mengurusi profit toko. Itu sebuah keuntungan buatku.

Mempunyai pikiran picik macam itu membuatku terkikik sendiri. Sepertinya bagus apabila hal itu benar-benar terjadi. Pelanggannya bisa-bisa lari ke Computer Shop.

Di seberang kursiku, Sasti sedang senyum.

"Naksir, tapi... mana mau Pak Aldinya?"

"Dicoba aja belum. Coba dulu, ya?" rayuku. Biar saja aku jadi comblang mereka.

Rasanya menyenangkan apabila melihat orang yang sedang malu-malu kucing seperti Sasti saat ini.

Benar saja, anak itu masih menatap keluar kaca. Ruanganku itu memang tembus pandang. Bisa memandang ke segala arah, termasuk ke toko seberang.

"Jangan, ah, Bu! Malu. Nanti kalau ditolak—"

"Kalau nggak dicoba mubazir, Sas!"

Anggap saja Aldi itu semacam piza dengan mozarella yang menggoda. Maka, cicipilah! Sadis, ya analogiku?

"Memangnya Pak Aldi makanan, Bu?"

Aku tertawa. Sasti pun ikut terkikik. Lalu, saat mataku mengarah toko seberang, Aldi sedang menatapku.

"Dia memang makanan, semacam piza."

Aku melanjutkan pembicaraan dengan Sasti, meski mata itu menatap tajam.

Aku sengaja balik menatap sambil berbicara.

Akan tetapi, tatapanku terganggu saat lagu All of Me terdengar nyaring di telinga.

Bab terkait

  • Meniti Lautan Luka    Bab 5

    What would I do without your smart mouthDrawing me in, and you kicking me outGot my head spinning, no kidding, I can't pin you downWhat's going on in that beautiful mindI'm on your magical mystery rideAnd I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alrightMy head's underwaterBut I'm breathing fineYou're crazy and I'm out of my mindCause all of meLoves all of youLove your curves and all your edgesAll your perfect imperfectionsGive your all to meI'll give my all to youYou're my end and my beginningEven when I lose I'm winningHow many times do I have to tell youEven when you're crying you're beautiful tooThe world is beating you down, I'm around through every

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • Meniti Lautan Luka    Bab 6

    Jam pulang kerja memang aku selalu terakhir."May, pulang, yuk, udah malam, nih!""Duluan aja, Al, aku masih lama kayaknya.""Kamu kenapa, sih, selalu forsir tenaga begitu? Sayang badan kenapa?" Aldi memulai ceramahnya."Julid banget, sih, Al. Aku udah biasa." Aku butuh uang, jadi wajar saja memforsir tenaga untuk mendapatkannya. Ya, selama aku mampu.Aldi yang sedari tadi duduk di salah satu kursi tamu, di ruang depan terlihat mengeluarkan ponsel. Dia sepertinya mulai asyik dengan benda itu. Bahkan, kakinya diselonjorkan di atas meja."Aku tunggu di sini sampai kamu selesai.""Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian kamu kayak nggak punya kerjaan aja, sih.""Jam kerjaku udah selesai setengah jam lalu, May! Hidup itu dinikmati. Sekali-kali."Aku memajukan bibir menanggapi pembicaraannya."Ya udah, pulang, yuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 7

    Hari ini memang jadwalku libur."May, aku di depan, buka pintu donk!"Suara itu tidak asing di telingaku.Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk."Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya."Marah atau nggak bukannya nggak penting?""Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli."Udahlah nggak penting juga dibahas.""Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 8

    Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus."May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?""Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan."Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 9

    Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV."May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku."Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin! Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan."Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?""Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 10

    Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 11

    Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Meniti Lautan Luka    Bab 12

    Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03

Bab terbaru

  • Meniti Lautan Luka    Bab 18

    Aku menemui Pak Agus lagi di kantor pusat. "Gini, May. Beberapa hari lalu, Pak Bos bilang kalau profit luar itu kacau. Beliau ingin gimana caranya profit rata." Aku tertegun mendengar kalimat itu. Bagaimana bisa profit luar ingin disamakan dengan toko induk? "Pak, kalau aku boleh jawab, secara letak toko pun udah beda. Nggak mungkin hasilnya sama. Lagian apa kurang profit utama dari Computer Shop?" "Aku cuma menyampaikan keinginan Bos." Keinginanan macam apa itu? Setelah sekian tahun, baru kali ini ada keinginan yang menurutku kurang masuk akal. Sangat jauh dari logika. Toko luar, sewa tempatnya pun beda harga dengan Computer Shop. Dari semua sisi, toko-toko luar dengan toko induk, atau minimal cabang yang di dalam pusat elektronik ini sudah beda segmentasi pasar. "Lalu apa yang harus kulakukan, Pak Agus?" Mau tidak mau, kutanyakan hal itu. Si Maya

  • Meniti Lautan Luka    Bab 17

    Seharian aku hanya menimbang-nimbang perasaan yang tidak jelas muaranya. "Bu, masih sakit, ya? Kenapa nggak istirahat?" tanya Sasti takut-takut. Aku ingin sekali mendampratnya. "Nggak usah sok manis di depan saya, Sas!" "Maksud Bu Maya apa? Saya nggak paham." Ada kilatan aneh di matanya. Sepertinya dia tahu sandiwara mereka terbongkar. "Sas, nggak usah pura-pura polos begitu!" Kali ini aku mendekatinya. Menatap tajam tepat ke mata sayu miliknya. Ada keresahan yang nyata kutangkap. Kubeberkan semua yang sudah kuketahui. Dia terbelalak. Sepertinya bingung mau menanggapi ceritaku yang tanpa koma. Entah, aku hanya ingin puas meluapkan kekesalan ini. "Bu, saya nggak bermaksud jahat sama Bu Maya. Tapi, saya nggak bisa juga mencegah apa yang diinginkan Aldi." Dia mulai menjelaskan. Dikatakannya, Aldi begitu geram saat me

  • Meniti Lautan Luka    Bab 16

    Aku dan Aldi, masing-masing sudah berpakaian. "Kamu masih butuh sesuatu nggak, May?" "Aku nggak butuh apa-apa lagi, Al." "Kalau begitu aku pulang sekarang." "Aku tau ini sedikit gila, tapi mau nggak kamu nginep sini?" tanyaku ragu. Aku melihat Aldi menatapku tidak percaya. Mungkin, dia bingung kenapa aku tiba-tiba memintanya menginap. Padahal, sedari tadi aku canggung berduaan dengannya di rumah indekos yang sempit ini. Entah, tetapi aku merasa tenang berada di dekatnya. Setelah sekian lama menatapku, dia menunduk. "Kamu nggak takut aku bakal kurang ajar?" "Memangnya kamu nggak jijik sama aku?" "Astaga, May! Tolong jangan ngomong begitu!" lirih Aldi yang sukses membuat hati ini serasa diremas. Ada sedikit asa, meski tetap didominasi luka. "Aku yakin kamu bukan cowok brengsek."

  • Meniti Lautan Luka    Bab 15

    Jika boleh aku mengeluh, maka sekaranglah saatnya. Aku betul-betul berada pada suasana tidak menyenangkan. Dalam pekerjaan, hubungan percintaan, bahkan kesehatan. Semua terganggu."May, buka pintunya! Aku di depan. May!""Tunggu!""Cepat buka pintunya, May!" Suara itu terdengar seperti milik Lukman. Mimpi apa dia hampir tengah malam begini datang?Dengan malas, aku bangkit dari ranjang."Iya, sabar. Ini lagi jalan. Lagian tumben...."Mataku terbelalak begitu pintu terbuka."Selamat malam, May. Ketemu lagi kita." Ci Lily tersenyum manis. Manis, tetapi menakutkan di mataku. Aku yakin,wajahku kini sepucat mayat.Dia mengulurkan tangan kepadaku.Aku dengan ragu menyambut tangan itu.Secepat kilat dia menarikku kuat-kuat.Tubuhku yang tidak ada persiapan, ikut tertarik dan menubruk Ci Lily. Ben

  • Meniti Lautan Luka    Bab 14

    Aku benar-benar terkejut mendapati rekaman CCTV hari kemarin juga terhapus."Sas, saya mau bicara serius sekarang.""Ada apa, Bu? Sebentar saya ke meja Ibu." Gadis itu langsung meninggalkan laptop yang menyala.Dia dengan tampang polosnya itu segera mendekatiku. Dengan isyarat, kusuruh dia duduk tepat di seberangku. Posisi kami hanya terhalang meja kecil tempatku bekerja. Hening.Kebetulan pengunjung sedang tidak ramai."Sudah dua kali uang setoran kurang.""Kurang?"Dia mengetuk-ngetuk mejaku dengan jari.Wajahnya menatapku dengan tatapan bertanya.Ada perasaan bersalah saat mulutku hendak mengeluarkan pertanyaan. Hatiku menolak untuk melakukannya. Rasanya tidak mungkin seorang Sasti melakukan hal itu. Sasti di mataku adalah gadis paling naif. Jadi tidak mungkin dia berani melakukan hal-hal buruk."Memang

  • Meniti Lautan Luka    Bab 13

    Aku masih mendengarkan cerita Aldi."Jadi kamu tau semuanya dan diem aja?"Aku sangat terguncang mendengar semuanya."Aku bukan siapa-siapa kamu, May.""Jadi itu sebuah pembenaran untuk nggak bikin aku tau semuanya, begitu?"Gila!"Kalau aku cerita ke kamu yang sebenarnya, apa kamu percaya? Sedangkan, aku bukan siapa-siapa kamu. Yang ada bakal dikira aku ada niat buruk ke kalian." Aldi sama sekali tidak menunjukkan emosinya."Astaga, Al!" Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saat degupan jantung lumayan tertata, aku membukanya dan menatap Aldi.Dia masih dalam mode datar, bahkan, matanya seperti orang yang tidak peduli.Dia seperti bukan Aldi yang kukenal.Kini, aku dan Aldi sedang berada di taman.Tadi dia menyeretku menjauh saat hampir saja langkah ini menghambur ke arah Lukman

  • Meniti Lautan Luka    Bab 12

    Ada tatapan aneh dari orang-orang di sekitar saat melihatku datang berdua dengan Aldi ke toko. Ada yang saling berbisik. Ada yang melirik dengan entah. Ada pula yang berdeham.Aku bersikap seperti biasa, menyapa mereka."Tumben, Bu, berduaan sama Pak Aldi.""Waduh, bau-bau kapal baru segera berlayar!"Itu beberapa celetukan yang kudengar."Cieee Bu Maya dan Pak Aldi jadian, uhuy!""Wah bakal ada piza kayaknya malam ini."Itu komentar beberapa karyawan Computer Shop yang juga menyaksikan kedatanganku bersama Aldi. Seperti biasa, aku hanya tersenyum. Aldi pun tidak menjawab.Masuklah aku ke ruangan kaca kecil itu.Sasti terlihat tidak baik-baik saja.Wajahnya seperti sedang sebal dengan sesuatu. Padahal, tadi pas telepon nadanya sangat ceria. Ada apa kira-kira?Aku mendekatinya untuk mengint

  • Meniti Lautan Luka    Bab 11

    Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain."Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.Ada ses

  • Meniti Lautan Luka    Bab 10

    Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh."Aku tau dari semalam kamu belum makan."Dia benar-benar mirip cenayang, ya."Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau."Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi.""Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi."Kamu masuk masuk angin kayakn

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status