"Non! Non Belle!" Suara teriakan Bik Asih yang membahana, membuat Belle sontak menoleh ke arah pintu di mana ia baru saja masuk. Dengan tatapannya yang kosong karena tak bisa melihat apapun, Belle menunggu Bik Asih menyusul masuk ke dalam kamarnya."Non ..." Bik Asih mengatur napasnya yang kembang kempis karena berlari, ia lantas menunjukkan ponsel nona mudanya, seakan lupa jika Belle buta. "Tuan Bryan sudah balas pesannya Non Belle!" "Benarkah!?" Belle membeliakkan mata tak percaya. "Dia bilang apa, Bik?" Spontan Bik Asih membaca kembali pesan balasan itu dengan lantang."Kabarku baik, Belle. Aku juga merindukan kamu." Belle menunggu Bik Asih melanjutkan penjelasannya, tetapi hingga beberapa detik berlalu Bik Asih tak lagi bersuara. "Itu doang?" sungut Belle kecewa. "Iya, itu doang, Non." Bik Asih menurunkan ponsel milik majikannya dengan ragu. "Memangnya Non Belle maunya tuan Bryan membalas apa?" "Bilang sama dia, saya mau ketemu besok siang. Terserah di mana, yang penting ki
Mengendarai mobil dengan kalap adalah satu-satunya cara agar Zane bisa secepatnya sampai di cafe terkutuk itu. Rio duduk di sebelahnya dengan wajah pias karena Zane menyetir dengan sangat ngawur. Mereka baru bisa berangkat setengah jam kemudian setelah membereskan prosedur pembatalan meeting yang cukup berbelit-belit. Itulah mengapa pada akhirnya Zane semakin senewen dan gelap mata. "Pak, biar saya yang menyetir.""Diamlah. Kamu hanya perlu duduk menemaniku dan jangan katakan apapun!""T-tapi saya masih ingin hidup, Pak. Saya masih belum bertobat dan masih banyak dosa yang belum saya--""Diam, Rio. Aku juga belum ingin mati sebelum membunuh pria itu!" Bola mata Rio membeliak semakin lebar. Bosnya yang terkenal sabar, elegan dan irit bicara, rupanya memiliki sisi lain yang mengejutkan. Jangan-jangan, selama ini ia tertipu oleh sikap kalem bosnya yang ternyata adalah seorang psikopat?? Setelah hampir setengah jam terombang-ambing diantara dua dunia, akhirnya Zane memarkir mobilnya d
Karena situasi semakin tak terkontrol dan kondusif, pada akhirnya suara tembakan pun menggema. Zane menahan pukulan yang hampir ia layangkan di pelipis Bryan ketika suara letusan itu membahana. Dengan posisi tubuh berada di atas artis kenamaan itu, tangan Zane menggantung di udara. "Pak, cukup! Hentikan!" Rio menurunkan pistol di tangannya dan meletakkan kembali benda itu di holster miliknya. Dengan dibantu dua orang pengunjung cafe, Zane ditarik mundur. Sementara beberapa orang lain membantu Bryan untuk bangkit. Darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Zane, sama sekali tak membuatnya sakit. Justru ia lebih sakit melihat Belle menangis di sudut ruangan lain sambil menyebut nama Bryan. Karena telah membuat kegaduhan di tempat umum, menimbulkan kerusakan dan melakukan tindakan kekerasan, Zane harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di kantor polisi. Di sana, ia bertemu Jeremi yang ternyata adalah pemilik cafe dan juga sahabat Bryan. Sekali lagi, Zane merasa ditipu oleh fakta
Seandainya bisa memutar kembali waktu, mungkin Belle akan mengurungkan niatnya untuk bertemu Bryan jika akhirnya akan jadi serunyam ini. Sungguh, kedatangan Zane benar-benar diluar dugaan dan mengacaukan segalanya. Terlebih setelah suaminya itu memukul Bryan, Belle menjadi tak lagi simpatik padanya. Bik Asih bilang, perkelahian mereka membuat cafe rusak parah. Pun demikian, Bryan jadi babak belur karena ulah Zane yang menghajarnya habis-habisan. Karena harus bertanggungjawab atas permasalahan yang ia ciptakan, Zane akhirnya dibawa ke kantor polisi sore itu juga. Sementara Belle dan Bik Asih, memutuskan pulang setelah polisi meminta keterangan pada keduanya sebagai saksi. "Zane belum pulang, Bik?" tanya Belle ketika ia tengah menyantap makan malamnya sendirian di meja makan. "Belum, Non. Sepertinya juga nggak akan pulang." Kening Belle berkerut bingung. "Maksudnya? Dia ditahan?" "Sepertinya begitu. Apalagi melihat Tuan Bryan babak belur, kayanya Tuan Zane akan mendapat hukuman be
Selama beberapa menit, Zane hanya memandangi raga yang tak berdaya itu dengan tatapan bengis. Terbayang olehnya momen kemarin sore ketika Belle menangis dan menyebut nama kekasih terkutuknya itu. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Belle!? Katakan!" desak Zane dengan suara berat dan dalam. Jangankan Belle, bahkan semut pun akan takut jika mendengar suara Zane yang semacam itu. Belle sudah mempermainkan dan mengusik kesabaran pria yang selalu mengalah dan rela melakukan apapun untuknya. "A-aku hanya ingin tahu cerita yang sebenarnya, Zane. Aku--""Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu? Bagian mana lagi yang belum jelas, huh!?" potong Zane tak sabar. "Kamu selalu menolak menceritakan Bryan padaku. Padahal ingatan terakhirku berhenti di dia. Aku nggak tahu harus bertanya sama siapa karena--""Bryan mencampakkanmu, Belle! Laki-laki yang pernah kamu bela mati-matian itu, lebih memilih serumah dengan Zara dibanding mempertahankan cinta kalian! Itukah yang mau kamu dengar? Atau
"Wah, ayam bumbu pedas? Tumben sekali Bibik masak ini untuk sarapan kita?" Zane beringsut duduk dengan tak sabar setelah menarik kursi. Belle duduk di depannya dengan senyum merekah, kejutannya pagi ini berhasil. Ia tak sabar untuk memberi kejutan lainnya di rumah Ronald nanti. Sementara dua majikannya sedang menikmati sarapan, Bik Asih berulang kali mengucap syukur dari dalam kamarnya. Ia sengaja bersembunyi di sana, selain karena masih takut pada Zane, ia juga ingin memberi ruang privasi pada sepasang suami istri itu. "Tolong ambilkan sarapan juga untukku, Zane," pinta Belle sembari menggeser botol susunya ke samping. Dengan bola mata membeliak, Zane menatap istrinya. "Kamu mau sarapan juga? T-tapi...""Cepatlah sebelum aku berubah pikiran! Aku penasaran seenak apa ayam pedas favoritmu itu!" dengus Belle cepat. Tanpa menunggu lama, Zane mengambil piring milik Belle di lemari kabinet dan menyuguhkan sedikit nasi serta lauk kesukaannya. Selama menikah, ini kali pertama Belle sar
Tawaran yang Zane berikan untuk mandi bersama tadi pagi, bukanlah bualan semata. Ia menggotong tubuh Belle ke kamar mandi ketika istrinya itu tak kunjung menjawab. Di bawah guyuran shower air dingin, keduanya saling melepas pakaian yang menempel di tubuh masing-masing. Zane tak berharap banyak, meskipun 'miliknya' sontak menegang ketika melihat tubuh molek itu tanpa sehelai benang pun. Berkali-kali Zane hanya menelan saliva tanpa berani berbuat hal yang lebih. "Segar?" tanya Zane ketika Belle mengusap sabun beraroma vanilla strawbery itu di tubuhnya. Sambil mengangguk, Belle terus mengoleskan sabun itu ke seluruh tubuhnya. Entah harus gugup atau bahagia, Belle hanya menikmati momen mandi berdua ini tanpa berharap lebih. Apalagi Zane sudah menegaskan jika ia tak akan melakukan apapun sebelum Belle bisa mengingatnya secara utuh. Jadi, Belle merasa aman berada di bawah shower berdua seperti ini, meskipun sesekali Zane menempelkan tubuhnya secara sengaja. Dan kini, saat Zane seakan ke
"Zane." "Hm?""Apa menurutmu aku harus operasi mata?" Zane terhenyak, ia mengurai pelukan mereka di atas ranjang dan mengawasi Belle yang belum juga terlelap. "Aku nggak bisa kasi kado apapun buat kami. Jadi, bisa melihat dan menatapmu lagi mungkin akan jadi kado terindah untukmu," ungkap Belle dengan serius.Bola mata Zane sontak memanas, hatinya merasakan lega yang sangat memuaskan batin. "Lakukan apapun yang kamu inginkan, Belle. Bisa melihatmu sehat seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Kalo pun kamu ingin operasi, aku akan segera mendaftarkan untukmu," tegas Zane bersungguh-sungguh. Sudut bibir mungil Belle memamerkan giginya yang rapi, ia kembali menenggelamkan tubuhnya di pelukan Zane yang hangat. "Aku ingin cepat operasi biar bisa lihat berapa tampannya suamiku. Semoga dengan begitu, ingatanku juga cepat kembali." Sambil terus mengusap-usap punggung istrinya, Zane mengangguk setuju. Di dalam kamar yang dulunya milik Belle, kini mereka bersiap untuk terlelap samb