Selama beberapa menit, Zane hanya memandangi raga yang tak berdaya itu dengan tatapan bengis. Terbayang olehnya momen kemarin sore ketika Belle menangis dan menyebut nama kekasih terkutuknya itu. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Belle!? Katakan!" desak Zane dengan suara berat dan dalam. Jangankan Belle, bahkan semut pun akan takut jika mendengar suara Zane yang semacam itu. Belle sudah mempermainkan dan mengusik kesabaran pria yang selalu mengalah dan rela melakukan apapun untuknya. "A-aku hanya ingin tahu cerita yang sebenarnya, Zane. Aku--""Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu? Bagian mana lagi yang belum jelas, huh!?" potong Zane tak sabar. "Kamu selalu menolak menceritakan Bryan padaku. Padahal ingatan terakhirku berhenti di dia. Aku nggak tahu harus bertanya sama siapa karena--""Bryan mencampakkanmu, Belle! Laki-laki yang pernah kamu bela mati-matian itu, lebih memilih serumah dengan Zara dibanding mempertahankan cinta kalian! Itukah yang mau kamu dengar? Atau
"Wah, ayam bumbu pedas? Tumben sekali Bibik masak ini untuk sarapan kita?" Zane beringsut duduk dengan tak sabar setelah menarik kursi. Belle duduk di depannya dengan senyum merekah, kejutannya pagi ini berhasil. Ia tak sabar untuk memberi kejutan lainnya di rumah Ronald nanti. Sementara dua majikannya sedang menikmati sarapan, Bik Asih berulang kali mengucap syukur dari dalam kamarnya. Ia sengaja bersembunyi di sana, selain karena masih takut pada Zane, ia juga ingin memberi ruang privasi pada sepasang suami istri itu. "Tolong ambilkan sarapan juga untukku, Zane," pinta Belle sembari menggeser botol susunya ke samping. Dengan bola mata membeliak, Zane menatap istrinya. "Kamu mau sarapan juga? T-tapi...""Cepatlah sebelum aku berubah pikiran! Aku penasaran seenak apa ayam pedas favoritmu itu!" dengus Belle cepat. Tanpa menunggu lama, Zane mengambil piring milik Belle di lemari kabinet dan menyuguhkan sedikit nasi serta lauk kesukaannya. Selama menikah, ini kali pertama Belle sar
Tawaran yang Zane berikan untuk mandi bersama tadi pagi, bukanlah bualan semata. Ia menggotong tubuh Belle ke kamar mandi ketika istrinya itu tak kunjung menjawab. Di bawah guyuran shower air dingin, keduanya saling melepas pakaian yang menempel di tubuh masing-masing. Zane tak berharap banyak, meskipun 'miliknya' sontak menegang ketika melihat tubuh molek itu tanpa sehelai benang pun. Berkali-kali Zane hanya menelan saliva tanpa berani berbuat hal yang lebih. "Segar?" tanya Zane ketika Belle mengusap sabun beraroma vanilla strawbery itu di tubuhnya. Sambil mengangguk, Belle terus mengoleskan sabun itu ke seluruh tubuhnya. Entah harus gugup atau bahagia, Belle hanya menikmati momen mandi berdua ini tanpa berharap lebih. Apalagi Zane sudah menegaskan jika ia tak akan melakukan apapun sebelum Belle bisa mengingatnya secara utuh. Jadi, Belle merasa aman berada di bawah shower berdua seperti ini, meskipun sesekali Zane menempelkan tubuhnya secara sengaja. Dan kini, saat Zane seakan ke
"Zane." "Hm?""Apa menurutmu aku harus operasi mata?" Zane terhenyak, ia mengurai pelukan mereka di atas ranjang dan mengawasi Belle yang belum juga terlelap. "Aku nggak bisa kasi kado apapun buat kami. Jadi, bisa melihat dan menatapmu lagi mungkin akan jadi kado terindah untukmu," ungkap Belle dengan serius.Bola mata Zane sontak memanas, hatinya merasakan lega yang sangat memuaskan batin. "Lakukan apapun yang kamu inginkan, Belle. Bisa melihatmu sehat seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Kalo pun kamu ingin operasi, aku akan segera mendaftarkan untukmu," tegas Zane bersungguh-sungguh. Sudut bibir mungil Belle memamerkan giginya yang rapi, ia kembali menenggelamkan tubuhnya di pelukan Zane yang hangat. "Aku ingin cepat operasi biar bisa lihat berapa tampannya suamiku. Semoga dengan begitu, ingatanku juga cepat kembali." Sambil terus mengusap-usap punggung istrinya, Zane mengangguk setuju. Di dalam kamar yang dulunya milik Belle, kini mereka bersiap untuk terlelap samb
"Papa memanggil kami?" Zane mendorong kursi roda istrinya masuk ke dalam ruangan perpustakaan, di mana Ronald tengah bersantai sambil minum teh. Pria tua itu menoleh pada dua manusia kesayangannya dan tersenyum lebar sembari menutup buku tebal di tangannya. Sambil melepas kacamata, ia lantas bangkit dan mempersilahkan Zane serta Belle untuk duduk di sofa panjang di tengah ruangan. "Ya, Papa menunggu kalian sejak tadi. Apa tidur kalian nyenyak semalam?" tanya Ronald kepo sembari mengerlingkan mata pada menantunya. Zane sontak tersipu, ia menundukkan kepala semakin dalam karena Ronald seakan bisa membaca pikirannya. "Tidur kami nyenyak, Pa. Apalagi Zane, dia sampai bangun kesiangan tadi!" sahut Belle ketika suaminya hanya diam bergeming. "Papa mau ngomongin apa sampai nyuruh kami ke sini?" "Hmmm, begini. Karena satu dan lain hal, Papa akan meminta Bik Asih untuk kembali ke rumah ini." Ronald berhenti sejenak, ia menelisik ekspresi anak dan menantunya sebelum kembali melanjutkan, "
Tubuh ringkih dan kurus itu tergeletak tak jauh dari tempat tidur ketika Zane meringsek masuk ke dalam kamar. Zane sontak berlari dan menggotong Bik Milah ke atas ranjang, membaringkannya tanpa bantal agar posisi tubuhnya sejajar. Tubuh wanita paruh baya itu panas. Wajahnya juga merah merona seperti menahan sakit. "Bik," panggil Zane panik sembari menepuk pipi pelayan barunya itu. Tak ada respon, Bik Milah tetap terpejam dengan napas yang berhembus lemah. "Bik Milah." Sekali lagi Zane menepuk pipi wanita itu sedikit keras, mungkin dengan begitu ia akan bangun. Saat masih juga belum menunjukkan respon apa-apa, Zane pun bergegas ke dapur untuk mengambil baskom dan kain. Setidaknya suhu tubuhnya harus di turunkan dahulu. Usai mengisi baskom itu dengan air dingin, Zane bergegas kembali ke kamar Bik Milah dan menempatkan kain basah itu di kening pelayannya. Sekali lagi, Zane mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pelan pipi wanita tua itu. Beberapa menit kemudian, saat Zane mul
"Berdasarkan target market yang sudah kami survey selama dua bulan ini. Maka seharusnya projects.... Bla bla bla...""Pak." Lamunan Zane seketika bubar. Ia menoleh ragu pada Rio yang baru saja memanggilnya dengan suara lirih tepat di telinga. Saat netra keduanya bertemu, Rio mengarahkan tatapannya pada seseorang yang sedang presentasi di depan mereka. Ya, seharian ini Zane kehilangan fokus. Rio sampai harus menepuk pundak bosnya berulang kali sebagai kode agar Zane kembali ke dunia nyata dan tak melanglang buana ke alam bawah sadarnya. Bukan tanpa alasan semua itu terjadi. Zane merasa ada yang janggal dengan sikap pelayannya tadi pagi, juga semalam. Sebenarnya Zane sudah sering memergoki Bik Milah mencuri-curi pandang padanya atau pada Belle. Juga wanita tua itu terlalu sering mengurung diri di kamar, alih-alih menghabiskan waktu istirahatnya dengan menonton tivi seperti Bik Asih dulu. Bisa jadi, ia sungkan karena masih belum lama tinggal bersama Zane, tetapi caranya memandang Bel
Sekilas, tak ada yang mencurigakan di kamar berukuran 3x4 meter itu. Letak perabotannya masih sama seperti saat ditempati oleh Bik Asih. Hanya saja, beberapa benda yang tercecer di meja nakas di dekat ranjang, lantas menyita perhatian Zane. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang berukuran single tersebut. Ada beberapa kertas nota, bolpoin, obat-obatan dan juga uang receh di atas meja kecil itu. Jam tangan yang sudah lusuh, juga sebuah cincin berukuran kecil lantas membuat Zane semakin penasaran. Tangannya perlahan membuka sebuah laci di bawah meja, dan bola matanya membeliak ketika selembar foto pernikahannya dan Belle berada di sana. Sepertinya Bik Milah memotongnya dari koran yang mempublish berita pernikahannya beberapa bulan yang lalu. Tapi, untuk apa Bik Milah menyimpan foto ini? Belum terjawab rasa penasaran Zane, tatapannya beralih pada selembar foto lain yang sudah buram dan lecek. Ia memperhatikan foto seorang bayi itu dengan seksama, bayi siapa ini?"Oh, Bik Milah sudah p