Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Bagaimana rasanya ditinggal tanpa kepastian oleh pria yang telah bertahun-tahun menjalin kasih? Menemaninya dititik terendah, dan diacuhkan kala ia sudah berada di atas awan. Mungkin, hanya Belle yang paham bagaimana sakitnya rasa itu menyiksanya setiap malam. Tak ada yang tahu, betapa Bryan telah menghancurkan impiannya untuk menikah dan mewujudkan keinginan orang tuanya. "Papa belum tidur?" sapa Belle sembari menghempaskan pantatnya setelah pelayan menarik kursi untuknya. Belle baru saja pulang dari kantor di mana ia menjabat sebagai Wakil Direktur di perusahaan properti Janata Group milik orang tuanya. "Belum, Papa sengaja nunggu kamu dulu. Di mana Bryan?" Tatapan Ronald mulai mencari-cari sosok kekasih putrinya. "Dia nggak datang bersama kamu?" "Bryan masih belum selesai dengan konsernya, Pa. Tapi dia janji akan datang besok." "Tidak usah datang sekalian!" cetus Ronald menyela dengan wajah sinis. "Dia pikir hanya dia yang sibuk? Dia pikir kita ini pengangguran?" "Pa ...""D
"Nah, itu dia putriku!" Telunjuk Ronald mengarah pada seorang perempuan yang baru saja keluar dari ruangan yang berbatasan dengan taman. Pria yang saat ini tengah duduk bersamanya, sontak menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ronald. Saat tatapannya dan perempuan itu beradu, pria itu lantas menunduk dengan gelisah. Perlahan, ia mencubit tangannya, berharap ini semua hanya bermimpi dan setelah ini ia akan terbangun di ranjang sempitnya lagi. Namun, hingga cubitannya menyisakan bekas memerah, pria itu -yang masih mengenakan seragam kerjanya, masih tetap berada di kediaman Janata. "Hai, Belle. Selamat pagi! Apa tidurmu nyenyak?" sapa Ronald ketika putrinya sudah sangat dekat dengan tempat mereka. Pria tadi memberanikan diri mendongah ketika aroma parfum putri Ronald terendus oleh indra penciumannya. Kembali tatapan mereka bertemu, dengan sorot mata yang jauh berbeda. Yang satu menatap penuh kekaguman, sementara wanita itu menatap dengan risih. "Papa, siapa dia? Josh baru saja bilang k
Zanendra Prasetyo, nama pria yang digadang-gadang oleh Ronald untuk menjadi calon menantunya. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Zane, pria yang sabar dan tulus pada siapapun. "Zane, sekali lagi aku minta maaf padamu. Belle sebenarnya wanita yang baik, hanya saja tadi sepertinya dia sedang stress karena aku terlalu memaksanya untuk segera menikah!" ucap Ronald penuh sesal sembari menatap pria muda yang duduk di sisi kiri meja makan. Dengan kaku, Zane menarik sudut bibirnya. Tidak seharusnya stress dijadikan alasan untuk menghina keadaan orang lain, bukan? "Menikahlah dengan putriku, Zane. Aku mohon padamu," pinta Ronald penuh harap. "Anggap saja ini wasiat dari nenek Lila yang harus aku tunaikan. Menjagamu dengan menikahkan kamu dengan putriku.""Pak Ronald, saya tidak bisa.""Kenapa?" sela Ronald sembari menatap Zane dengan lekat. "Apa karena Belle tidak bisa menjaga tutur katanya? Atau karena dia kurang cantik?" Dengan cepat Zane menggelengkan kepalanya. Belle adalah wanita yang c
Menyetujui ide licik papanya untuk sementara waktu adalah pilihan yang harus Belle putuskan secepatnya. Ia tak mau kehilangan harta dan segala kemewahan yang telah ia nikmati sejak kecil, Belle tak rela jika semua warisan Ronald jatuh ke yayasan yatim piatu yang dikelola oleh perusahaan. Belle masih waras, ia bisa merencanakan sesuatu yang lebih licik demi memenuhi permintaan sang papa. "Apa syaratnya, Belle? Katakan dengan jelas di depan tamu kita yang akan menjadi saksi," desak Ronald ketika putrinya mendadak bisu dan pucat pasi. "Aku ..." Belle mengawasi Ronald, Fendi, Josh dan notaris itu dengan tatapan gugup. "Kalau aku harus menikah dengan pria itu, aku nggak mau ada pesta yang besar-besaran. Cukup akad yang dihadiri oleh kalian dan keluarganya saja.""Oke!" Dengan wajah puas, Ronald bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan pada Belle. Saat putrinya menyambut jabatan tangan itu, Ronald kembali bersuara, "Deal!" sambungnya mantap. "Selesaikan hubunganmu dengan Bryan. Papa
"Perjanjian?" ulang Zane dengan ragu.Baru saja Belle mengatakan bila sebelum resmi menikah, ia ingin membuat perjanjian tertulis antara mereka berdua. "Iya. Aku mau kita membuat perjanjian. Aku sudah membuat draft-nya." Belle merogoh map dari dalam tas kerjanya dan mengangsurkan lembaran pada Zane. "Kamu tinggal baca dan tanda tangan!" Tulisan cukup besar yang berjudul "Perjanjian Pernikahan Kontrak" membuat kening Zane berkerut. Ia meraih lembaran itu dan membacanya dengan seksama. Ada 6 pasal yang tertera di sana, semuanya menguntungkan pihak Belle. "Bagaimana? Ada yang mau kamu tambahkan?" tanya Belle ketika Zane nampak terpaku menatap lembaran itu. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Kita tinggal membuat perjanjian tanpa harus menandatangani --""No. No. No! Aku nggak suka sesuatu yang nggak pasti. Lagian kamu nggak berpikir untuk menikah denganku selamanya, kan? Oh, c'mon!" Belle terkekeh menyela perkataan Zane. "Tiga tahun, Zane. Setelah itu kita bercerai dan kamu akan kaya r
Senyuman di wajah Belle yang semula sangat lebar, mendadak lenyap ketika ia mengeluarkan sebuah sertifikat kepemilikan apartemen dan dua kartu kunci dari dalam amplop. "Itu hadiah dari Papa untuk kalian berdua!" ucap Ronald dengan senyuman merekah. "Kalian akan pindah mulai hari ini, kunci itu adalah kunci apartemen yang Papa berikan sebagai hadiah." Hembusan napas Belle terasa semakin berat. Ia menoleh pada Zane yang duduk di sebelahnya dengan syok."Papa mengusir kami?" protes Belle kecewa."Bukan mengusir, Belle. Papa hanya ingin kalian hidup mandiri dan saling mengenal satu sama lain. Tinggal di rumah ini pasti akan membuat Zane canggung dan tak nyaman, jadi Papa memilih apartemen yang dekat dengan kantor kalian berdua." "Tapi, Pa--""Coba tanya pada suamimu, dia sekarang adalah kepala keluarga, kamu harus menuruti apapun perintahnya!" Ronald lebih dulu menyela protes dari putrinya. Tatapan mata Belle dan Ronald sontak tertuju pada Zane yang sedari tadi hanya menyimak perdebata
Zane yang pagi ini kelaparan karena semalam tak sempat menyantap makan malam, mendadak kehilangan selera ketika melihat Belle menyusul ke meja makan dan mengomelinya. Sudah separuh porsi nasi goreng yang berhasil ia habiskan dengan lahap, sisanya ia telan dengan susah payah karena tatapan Belle tersorot risih padanya. Dan suasana tegang di meja makan, mendadak berubah ketika terdengar suara teriakan seseorang di luar. Zane dan Belle sama-sama menoleh ke lorong menuju ruang tamu. Karena Belle hanya meneguk susu, ia bisa dengan leluasa bangkit dan lebih dulu melangkah ke luar. Semakin Belle mendekat, suara teriakan yang berulang kali memanggil namanya itu semakin membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Bryan?? Itu Bryan, kan? Langkah Belle berganti lari, ia ingin segera memastikan bila pria di luar itu memang benar-benar kekasihnya. "Belle!" "Bryan?"Air mata Belle tak bisa lagi di bendung, di depan mata kepalanya sendiri ia melihat kekasihnya tengah dihadang dan dicegah masuk