Zane yang pagi ini kelaparan karena semalam tak sempat menyantap makan malam, mendadak kehilangan selera ketika melihat Belle menyusul ke meja makan dan mengomelinya. Sudah separuh porsi nasi goreng yang berhasil ia habiskan dengan lahap, sisanya ia telan dengan susah payah karena tatapan Belle tersorot risih padanya.
Dan suasana tegang di meja makan, mendadak berubah ketika terdengar suara teriakan seseorang di luar. Zane dan Belle sama-sama menoleh ke lorong menuju ruang tamu. Karena Belle hanya meneguk susu, ia bisa dengan leluasa bangkit dan lebih dulu melangkah ke luar.Semakin Belle mendekat, suara teriakan yang berulang kali memanggil namanya itu semakin membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Bryan?? Itu Bryan, kan?Langkah Belle berganti lari, ia ingin segera memastikan bila pria di luar itu memang benar-benar kekasihnya."Belle!""Bryan?"Air mata Belle tak bisa lagi di bendung, di depan mata kepalanya sendiri ia melihat kekasihnya tengah dihadang dan dicegah masuk oleh satpam yang berjaga. Ronald berdiri tak jauh dari Bryan yang terus memberontak agar dilepaskan."Belle, katakan pada Papamu agar melepaskan aku. Aku datang dengan baik-baik, ijinkan aku menjelaskan kenapa aku menghilang beberapa hari ini, please!" teriak Bryan keras, kedua tangannya dicekal sedemikian erat oleh dua satpam yang bertubuh kekar.Tak tega melihat kekasih yang sangat ia cintai terluka, Belle menghampiri Ronald dan meluruhkan tubuhnya hadapan sang ayah."Pa, Belle mohon lepaskan Bryan. Ijinkan kami bicara empat mata," pinta Belle dengan kedua tangan menyatu di dada.Bersamaan dengan itu, Zane tiba-tiba muncul dan terkejut melihat kericuhan yang tengah terjadi. Ia memperhatikan pria yang tengah dikunci lengannya oleh penjaga, lantas menatap Belle yang bersujud di bawah kaki mertuanya."Apa kamu lupa jika kamu sudah menikah dan sudah menjadi milik dia?" Ronald mengarahkan tatapannya pada Zane yang mendadak terpaku.Bryan yang mendengar hal itu sontak menghentakkan kedua lengannya dengan kasar, apa daya tenaganya tak sebanding dengan dua penjaga yang bertubuh lebih kekar dan telah terlatih."Lepaskan!" gerutu Bryan kesal, wajahnya memerah karena diperlakukan seperti tawanan. "Belle, katakan kalau Papamu berbohong! Katakan kalau kamu hanya mencintaiku dan sudah berjanji kita akan menikah tahun depan setelah kontrakku selesai. Katakan, Belle!"Deraian air mata Belle semakin deras mengalir, ia kembali memohon pada Ronald."Sekali ini saja, Pa. Aku mohon, ini yang terakhir.""Ijinlah pada suamimu, jika dia memberimu ijin maka Papa akan membiarkan kalian bicara." Ronald menyempalkan kedua tangannya di saku celana, masih dengan tatapan mata yang tersorot dingin nan angkuh.Sambil berderai air mata, Belle beralih pada pria yang masih mematung di pintu masuk, ia lantas memohon, "Zane, tolong ijinkan aku--""Siapa dia?" Hanya kata-kata itu yang sanggup keluar dari bibir Zane."Aku kekasihnya! Aku kekasih Belle yang sudah tiga tahun menjalani hubungan dengannya! Kau pria brengsek, bisa-bisanya kau menikahi perempuan yang nggak mencintaimu!“ rutuk Bryan murka."Jaga bicaramu, Bryan! Sekarang Zane lebih berhak atas Belle daripada kamu!" bentak Ronald marah, ia tak suka menantunya di pojokkan di hadapannya. "Bawa dia keluar, jangan pernah ijinkan dia menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Selamanya!""Pa!" teriak Belle histeris, ia menahan kaki Ronald yang hendak pergi dengan gesit. "Pa, aku mohon! Papa kenapa jahat sekali sama aku!""Zane, bawa Belle masuk!" perintah Ronald tanpa sekalipun mendengarkan permohonan putrinya. "Kalian segera seret dia pergi!" Tatapan Ronald menjurus tajam pada Bryan yang terus memberontak untuk dilepaskan."Pa!! Papa!" Belle terus mengikuti langkah Ronald yang berlalu masuk ke dalam rumah. Namun, ketika ingat jika Bryan masih berada di luar, buru-buru Belle berbalik dan menghampiri kekasihnya."Bryan, maafkan aku," tangis Belle sedih sembari menangkup wajah kekasihnya yang basah oleh keringat. "Aku akan menemuimu setelah urusanku beres. Aku janji.""No! Belle, jangan tinggalin aku. Kamu tahu aku sangat mencintai kamu," ucap Bryan kelu. "Aku nggak mau kita putus, tolonglah.""Aku nggak bisa berbuat banyak, Bryan. Maafkan aku.""Belle, kamu ingat janji kita, kan? Kita akan menikah dan bulan madu ke Maldives? Kita akan melakukan itu tahun depan, Beb. Tolonglah," cecar Bryan tak mau menyerah. "Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Belle."Kali ini, Bryan mengucapkan kalimat itu dengan air mata yang menetes.Zane yang masih tak berkutik di tempat semula, menyaksikan dengan jelas bagaimana sepasang manusia di hadapannya itu saling mengucapkan cinta. Sosok lain Belle yang belum pernah ia lihat, kini terpampang jelas di depan matanya. Jadi Belle bisa menangis? Dibalik sifat angkuh dan sombong itu, ada kelemahan yang Belle tunjukkan.Karena Ronald masih mendengar suara Bryan di luar, ia kembali ke teras dan menatap kedua penjaga itu dengan geram. Seolah paham bila sang majikan mulai marah, dua satpam itu lantas menyeret Bryan pergi. Teriakan dan tangisan Belle seakan tak terdengar di telinga Ronald. Ia lebih peduli pada masa depan Belle, Ronald lebih percaya pada Zane daripada pria seperti Bryan.Suasana pagi yang harusnya tenang, kini berubah mencekam dan menegangkan. Di ruang kerja Ronald, Zane dan Belle kini duduk berdampingan. Mata Belle masih sembap, wajahnya masih menyiratkan sakit hati yang mendalam atas perlakuan papanya pada Bryan."Jika Bryan mencintaimu, dia harusnya datang ke mari secara gentle untuk meminangmu minggu lalu. Tapi kenyataannya apa? Dia malah menghilang dan tiba-tiba muncul seperti pengecut!" kecam Ronald berapi-api, ditatapnya wajah putrinya yang masih murung.Zane tak berkutik, ia tidak seharusnya ikut di sidang di sini dan mendengarkan amarah Ronald pada Belle."Bryan pasti punya alasan, Pa. Dia pasti--""Apapun alasannya, dia sebagai public figure harusnya paham pada pentingnya menepati janji!" sela Ronald tak mau kalah. "Papa nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi. Kamu sudah menikah, Belle. Zane lebih berhak atas dirimu! Camkan itu baik-baik!"Nasihat Ronald membuat Zane menelan salivanya dengan gugup. Berhak atas Belle katanya? Bahkan menyentuh ujung rambut istrinya saja bagi Zane haram hukumnya setelah ada perjanjian itu."Siapkan pakaian kalian, masukkan semua ke dalam koper. Nanti sore sopir akan mengantarkan kalian berdua ke apartemen," perintah Ronald mulai melunak. Ia beralih menagwasi menantunya sembari menghembuskan napas panjang. "Dan kamu, Zane, ingatlah baik-baik wajah pria tadi. Jangan pernah biarkan dia mendekati Belle, apapun alasannya!"Dengan ragu, Zane menganggukkan kepalanya."Baik, Pak.""Panggil aku Papa! Bukankah kamu sudah menjadi anakku sekarang?"Sekali lagi, Zane mengangguk dengan keki. "Iya, Pa."Tawa Ronald terbingkai dengan lebar setelah mendengar panggilan baru Zane padanya. Nenek Lila pasti bangga melihat Ronald telah menunaikan amanah terakhirnya.Dalam diam, Belle mengepalkan tangannya dengan amarah yang ia tahan. Ia melirik Zane yang mengulas senyuman dengan penuh dendam. Ia akan membayar sakit hati Bryan! Dia akan membalaskan semuanya pada Zane mulai hari ini. Tidak akan ada lagi senyuman setelah mereka berdua pergi dari rumah ini nanti sore, Belle pastikan itu!Apartemen yang berada persis di tengah kota dengan segala fasilitasnya yang mewah dan canggih, membuat nyali Zane semakin ciut dihadapan Belle. Egonya sebagai pria dan seorang suami semakin meronta, tak seharusnya Zane menikmati segala kemewahan ini."Aku akan menempati kamar di atas, jangan sekali-kali kamu naik atau..." Belle memberi isyarat dengan menembak kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Paham?" Tanpa menjawab, Zane berpaling dan menyeret kopernya menuju kamar yang dimaksud oleh Belle. Apa itu harga diri? Sepertinya Zane harus terbiasa direndahkan seperti ini. Ranjang kingsize dengan sprei putih seakan melambai pada Zane yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tatapannya memindai ke seluruh sudut kamar yang akan menjadi tempatnya tidur mulai malam ini. Sementara itu di lantai atas, Belle mulai memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari di walk in closet. Masih ada tiga koper lagi yang belum ia bawa, juga beberapa sepatu dan tas mahal miliknya. Kegiatan Belle terhenti
"Bryan?" Belle masuk semakin dalam mencari pria yang sangat ia cintai. Langkahnya kecilnya kemudian terhenti di pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, dengan ragu, Belle mengintip melalui celahnya yang terbuka. Tubuh seseorang pria yang tengah menggigil di atas ranjang membuat Belle sontak berlari masuk. "Bryan!" pekiknya cemas. "Belle ..." lirih Bryan lemah sembari membuka mata, ia mengulas senyuman ketika sosok wanita cantik telah duduk di sisi ranjangnya. "Belle, maafkan aku." "Bryan, ayo, kita ke rumah sakit. Kamu demam!" "Aku nggak apapa, Belle. Aku cuma masuk angin." "Nggak apapa gimana! Ini badanmu panas, kamu juga menggigil. Ayo, aku antar ke rumah sakit!" Belle hendak bangkit untuk menyibak selimut Bryan, tetapi pria itu lebih dulu menahan tangannya hingga membuat Belle kembali duduk di tempat semula. "Aku cuma butuh kamu, Belle. Aku sudah minum obat tadi. Dan sekarang aku cuma butuh pelukan kamu biar cepet pulih," pinta Bryan memohon. Meskipun masih dirundung kek
Di dalam mobil mahal milik Belle, tatapan Zane terpaku pada satu titik di mana Belle tadi menghilang di dalam bangunan tersebut. Apa yang kiranya dilakukan sepasang kekasih di dalam kamar berdua? Zane tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi akal sehatnya tak dapat diajak kompromi kali ini. Zane bukan bocah labil yang tak paham apa itu nafsu. Meskipun usianya tahun depan sudah memasuki kepala tiga dan ia tak pernah sekalipun berpacaran, tetapi Zane bisa menebak apa yang dilakukan Belle di dalam sana bersama kekasihnya. Dengan suntuk, Zane memeriksa kembali arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 00.15. Bahkan sudah selarut ini dan Belle belum juga nampak. Entah sudah berapa kali napasnya berhembus dengan kasar dan tak sabar, ingin rasanya Zane meringsek masuk ke apartemen pria itu dan menyeret Belle pulang, tetapi ia tak ingin Belle mengamuk dan memperkeruh hubungan mereka. "Mari kita tunggu setengah jam lagi," bisik Zane pada dirinya sendiri. Ia masih mencoba berpik
"Pa, apalagi ini?" Belle melemparkan dua lembar tiket pesawat dengan kesal. "Aku nggak mau berangkat!" "Itu hadiah bulan madu! Bukankah sebagai pasangan yang baru menikah, kalian wajib berbulan madu?" "Aku nggak mau! Aku nggak mau berangkat ke manapun!" sela Belle geram karena ia tak menyukai ide sang ayah. Tatapan Ronald mengarahkan pada Zane yang sejak tadi hanya diam membisu. "Bagaimana, Zane? Kamu mau berangkat?" Merasa terpojok, Zane lantas menoleh pada Belle yang juga tengah menatapnya dengan tajam. "S-saya tidak tahu, Pa." "Kalian hanya tinggal berangkat, apa susahnya sih! Lagian cuma ke Maldives, bukan ke luar angkasa!" gerutu Ronald gemas. "Kami bahkan baru pindah, Pa. Belum sempat beres-beres dan--""Jangan khawatirkan itu, Belle. Papa akan meminta anak buah Josh untuk membereskan semuanya! Biar dia yang menata pakaian kalian di lemari dan bersih- bersih!""Tidak usah, Pa. Tidak perlu sampai seperti itu. Kami bisa membereskan nanti!" sela Zane panik, meminta bantuan
"Baiklah, berangkatlah bersamanya. Jangan buat hadiah ini jadi sia-sia, pergilah bersama kekasihmu itu."Belle menghembuskan napasnya dengan kasar ketika mengingat umpatan Zane padanya tadi pagi. Bukannya bahagia setelah Zane mengijinkan dia untuk pergi ke Maldives bersama Bryan, Belle justru merasa terhina. Cara Zane melemparkan amplop itu, juga caranya menatap Belle kala mengucapkan kalimat terakhirnya seakan merendahkan harga diri Belle hingga lebih rendah dari pelacur sekalipun. Merasa kesal dan tak sanggup melihat Zane berkeliaran di dalam apartemen yang sama dengannya, akhirnya Belle memutuskan pergi ke apartemen Bryan untuk menenangkan diri. Ia tiba di apartemen kekasihnya dan langsung masuk seperti biasa. Belle melempar tasnya ke atas meja dan berbaring di sofa untuk memejamkan mata sejenak. Tadinya Belle pikir, Bryan sedang tidur di kamarnya, tapi rupanya pria itu tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Telinga nakal Belle mulai menguping, ia bangkit dan mendekat ke
Tiba di pulau impian yang sangat ingin ia kunjungi bersama Bryan, Belle beberapa kali menghembuskan napasnya panjang. Kini mereka berdua tengah menuju resort yang berada di salah satu pulau kecil di Maldives. Dengan menaiki sea plane bersama beberapa penumpang lain, Zane dan Belle duduk tanpa berbincang-bincang satu sama lain. Zane menyibukkan diri dengan membaca buku fotografi atau sesekali membidik pemandangan indah dengan kameranya. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tak mengusik ketenangan Belle. Zane tahu bila Belle sangat membencinya, dan perjalanan ini akhirnya bisa terlaksana pasti karena telah terjadi sesuatu di antara Belle dan kekasihnya. Turun dari sea plane yang mendarat di tengah laut, mereka masih harus naik boat menuju resort. Sesekali terdengar suara tawa dari pasangan lain yang juga sedang berbulan madu dan berada di boat yang sama. Zane hanya melirik pasangan itu dengan sedikit rasa cemburu. "Mau roti?" Belle meletakkan sebungkus roti coklat di pangkuan Zane tanpa
Dari remaja hingga berusia hampir kepala tiga, hanya beberapa kali saja Zane pernah melakukan onan*. Itupun karena ia tak sengaja menonton adegan mesum di sebuah film. Zane paham bila melakukannya adalah sebuah dosa, tetapi sebagai pria normal, ia lebih memilih untuk melakukannya sendiri daripada menambah dosa dan penyakit dengan menyewa perempuan. Dan kini, untuk kesekian kali ia harus mengeluarkan lendir miliknya sendiri akibat efek obat perangsang yang ada didalam minuman sari buah itu. Melihat Belle kembali telanjang bulat di kamar mandi membuat Zane dengan sangat lancar menyelesaikan sesi pertamanya. Namun, ternyata gejolak itu belum juga reda hingga akhirnya Zane meneruskan hingga sesi ke dua dan ke tiga. Beruntungnya kamar mereka berjauhan dengan kamar-kamar yang lain, sehingga suara desahan dan erangan Zane tak terdengar siapapun kecuali Belle!! Wanita itu meringkuk dan bersembunyi di depan pintu kamar resort dengan tubuh gemetaran. Ia sangat syok saat tadi melihat tatapan
Bukan tanpa alasan Belle meminta Zane untuk tidur seranjang dengannya. Setelah melihat perjuangan pria itu menjaga Belle agar tak ternodai, ia jadi yakin bila Zane tak akan berani menuntut haknya sebagai suami. Sedikit banyak, Belle mengagumi sikap Zane yang konsisten pada perjanjian mereka. Seperti biasa, saat Belle bangun di pagi hari, Zane sudah raib dari ranjang. Suara gemericik air di teras belakang, membuat Belle bangkit dan menemukan Zane tengah berenang di kolam. Meskipun Zane mengenakan rash guard hitam, Belle bisa melihat otot-otot atletis dibalik kaos itu. Terlebih setelah ia melihat Zane telanjang kemarin sore, pikiran mesum Belle mulai mengarahkan tatapannya pada bagian tengah yang terjepit diantara paha pria itu. "Selamat pagi, Belle!" Belle tersentak, lamunan nakalnya mendadak hilang. Zane tersenyum padanya di kolam sembari melambaikan tangan. "Tidak mau berenang?" sambung Zane sembari menunjuk ke arah lautan yang surut. "Nggak. Aku nggak bisa berenang!" Belle ba