Apartemen yang berada persis di tengah kota dengan segala fasilitasnya yang mewah dan canggih, membuat nyali Zane semakin ciut dihadapan Belle. Egonya sebagai pria dan seorang suami semakin meronta, tak seharusnya Zane menikmati segala kemewahan ini.
"Aku akan menempati kamar di atas, jangan sekali-kali kamu naik atau..." Belle memberi isyarat dengan menembak kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Paham?"Tanpa menjawab, Zane berpaling dan menyeret kopernya menuju kamar yang dimaksud oleh Belle. Apa itu harga diri? Sepertinya Zane harus terbiasa direndahkan seperti ini.Ranjang kingsize dengan sprei putih seakan melambai pada Zane yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tatapannya memindai ke seluruh sudut kamar yang akan menjadi tempatnya tidur mulai malam ini.Sementara itu di lantai atas, Belle mulai memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari di walk in closet. Masih ada tiga koper lagi yang belum ia bawa, juga beberapa sepatu dan tas mahal miliknya.Kegiatan Belle terhenti ketika sayup-sayup ia mendengar suara ponselnya berdering. Sambil berlari, ia merogoh gawai pipih itu dan tersenyum senang ketika melihat sebaris nama yang muncul di layar."Halo, Bryan!" sapa Belle riang."Beb, aku sakit. Bisakah kamu datang ke apartemenku sekarang?"Suara yang terdengar parau itu membuat Belle buru-buru mencari kunci mobilnya."Aku akan sampai lima belas menit lagi! Jangan banyak bergerak, Bryan!"Dengan kecepatan kilat, Belle menuruni tangga bak roket melesat ke angkasa. Namun, langkah lebar wanita berambut ikal itu terhenti ketika secara bersamaan Zane tiba-tiba keluar dari kamar."Mau ke mana?" tanya Zane bingung ketika melihat kunci mobil di tangan Belle. "Sudah malam, Belle. Tidak baik perempuan keluar sendirian malam-malam begini."Sebuah ide terbesit di otak cerdas Belle, ia melempar kunci ditangannya pada Zane dan tersenyum penuh misteri."Baiklah, kalo begitu antarkan aku!""Tapi--"Belum sempat Zane menyela, Belle lekas menggeret lengan pria itu agar mengikutinya turun ke parkir basemen."Kamu bisa menyetir, kan?" tanya Belle memastikan ketika keduanya sudah berada di lift.Dengan keki, Zane mengangguk. Ia memperhatikan remote kunci mobil di telapak tangannya. Logo kuda jingkrak pada remote berwarna hitam itu membuatnya menghela napas."Antarkan aku ke apartemen Heaven sekarang."Perintah yang keluar dari bibir tipis dan seksi itu membuat Zane kembali mengangguk. Ia melajukan mobil mahal itu dengan sangat hati-hati. Tak ada pertanyaan yang terucap meskipun Zane sangat penasaran, siapa yang hendak Belle kunjungi malam-malam begini?Tiba di tempat tujuan, Belle menahan tangan Zane yang hendak mematikan mesin mobil hingga membuat pria itu menoleh."Kamu tunggu di sini, Zane. Jangan ke mana-mana," titah Belle untuk kesekian kali. "Atau kalo kamu keberatan menunggu, kamu bisa pulang dulu naik taksi.""Kamu mau menemui siapa, Belle?" tukas Zane mulai curiga. "Apa menemui pria itu?""Bukan urusanmu! Cepatlah keluar, kamu pulanglah naik taksi!" Belle buru-buru keluar dan memutari badan mobil untuk menghampiri kursi Zane di balik kemudi. "Cepatlah!" gerutu Belle mulai kesal ketika Zane bergerak sangat lambat.Saat Zane sudah berhasil keluar, Belle menadahkan tangannya dengan cuek."Kemari kuncinya! Masih banyak taksi di jam segini. Dan ingat, jangan sekali-kali kamu menceritakan kejadian ini sama papa!" ancam Belle dengan serius.Zane hendak menyerahkan kunci itu, tetapi perkataan Ronald kembali menyadarkannya. Bukankah segala perilaku Belle saat ini adalah tanggung jawabnya?"Aku ikut ke dalam. Hanya untuk memastikan kalian tidak akan berzina.""What!?" Belle mendelik dengan syok. Tangannya dengan gesit berusaha merampas kunci di tangan Zane. "Zane, apa-apaan! Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing?""Tapi tidak untuk hal ini, Belle. Setiap perbuatan burukmu akan menjadi dosa yang aku tanggung. Aku--""Stop it! Aku capek, Zane. Tolong, berhentilah menguras emosiku. Seharian ini aku sudah menjalani hari yang sangat berat. Nggak bisakah kamu mengalah kali ini saja?" pinta Belle memohon, suaranya mulai melunak."Baik. Aku tidak akan ikut masuk. Tapi aku akan menunggumu di sini," putus Zane disertai hembusan napas panjang. "Masuklah!"Tak ingin lagi berdebat, Belle lantas berbalik badan dan mengayunkan langkah menuju lobi apartemen Bryan. Ia tak bisa menjamin tak akan melakukan apapun bersama Bryan, tetapi membawa Zane sepertinya akan menjadi bumerang untuknya dikemudian hari. Jadi, begini lebih baik. Ia akan biarkan Zane menunggunya hingga subuh besok.Tiba di kamar dengan nomor kembar, Belle menekan kombinasi angka yang merupakan kode masuk di handle pintu. Saat perlahan pintu berbunyi dan bergerak terbuka, Belle lantas masuk sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari sosok kekasihnya."Bryan?""Bryan?" Belle masuk semakin dalam mencari pria yang sangat ia cintai. Langkahnya kecilnya kemudian terhenti di pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, dengan ragu, Belle mengintip melalui celahnya yang terbuka. Tubuh seseorang pria yang tengah menggigil di atas ranjang membuat Belle sontak berlari masuk. "Bryan!" pekiknya cemas. "Belle ..." lirih Bryan lemah sembari membuka mata, ia mengulas senyuman ketika sosok wanita cantik telah duduk di sisi ranjangnya. "Belle, maafkan aku." "Bryan, ayo, kita ke rumah sakit. Kamu demam!" "Aku nggak apapa, Belle. Aku cuma masuk angin." "Nggak apapa gimana! Ini badanmu panas, kamu juga menggigil. Ayo, aku antar ke rumah sakit!" Belle hendak bangkit untuk menyibak selimut Bryan, tetapi pria itu lebih dulu menahan tangannya hingga membuat Belle kembali duduk di tempat semula. "Aku cuma butuh kamu, Belle. Aku sudah minum obat tadi. Dan sekarang aku cuma butuh pelukan kamu biar cepet pulih," pinta Bryan memohon. Meskipun masih dirundung kek
Di dalam mobil mahal milik Belle, tatapan Zane terpaku pada satu titik di mana Belle tadi menghilang di dalam bangunan tersebut. Apa yang kiranya dilakukan sepasang kekasih di dalam kamar berdua? Zane tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi akal sehatnya tak dapat diajak kompromi kali ini. Zane bukan bocah labil yang tak paham apa itu nafsu. Meskipun usianya tahun depan sudah memasuki kepala tiga dan ia tak pernah sekalipun berpacaran, tetapi Zane bisa menebak apa yang dilakukan Belle di dalam sana bersama kekasihnya. Dengan suntuk, Zane memeriksa kembali arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 00.15. Bahkan sudah selarut ini dan Belle belum juga nampak. Entah sudah berapa kali napasnya berhembus dengan kasar dan tak sabar, ingin rasanya Zane meringsek masuk ke apartemen pria itu dan menyeret Belle pulang, tetapi ia tak ingin Belle mengamuk dan memperkeruh hubungan mereka. "Mari kita tunggu setengah jam lagi," bisik Zane pada dirinya sendiri. Ia masih mencoba berpik
"Pa, apalagi ini?" Belle melemparkan dua lembar tiket pesawat dengan kesal. "Aku nggak mau berangkat!" "Itu hadiah bulan madu! Bukankah sebagai pasangan yang baru menikah, kalian wajib berbulan madu?" "Aku nggak mau! Aku nggak mau berangkat ke manapun!" sela Belle geram karena ia tak menyukai ide sang ayah. Tatapan Ronald mengarahkan pada Zane yang sejak tadi hanya diam membisu. "Bagaimana, Zane? Kamu mau berangkat?" Merasa terpojok, Zane lantas menoleh pada Belle yang juga tengah menatapnya dengan tajam. "S-saya tidak tahu, Pa." "Kalian hanya tinggal berangkat, apa susahnya sih! Lagian cuma ke Maldives, bukan ke luar angkasa!" gerutu Ronald gemas. "Kami bahkan baru pindah, Pa. Belum sempat beres-beres dan--""Jangan khawatirkan itu, Belle. Papa akan meminta anak buah Josh untuk membereskan semuanya! Biar dia yang menata pakaian kalian di lemari dan bersih- bersih!""Tidak usah, Pa. Tidak perlu sampai seperti itu. Kami bisa membereskan nanti!" sela Zane panik, meminta bantuan
"Baiklah, berangkatlah bersamanya. Jangan buat hadiah ini jadi sia-sia, pergilah bersama kekasihmu itu."Belle menghembuskan napasnya dengan kasar ketika mengingat umpatan Zane padanya tadi pagi. Bukannya bahagia setelah Zane mengijinkan dia untuk pergi ke Maldives bersama Bryan, Belle justru merasa terhina. Cara Zane melemparkan amplop itu, juga caranya menatap Belle kala mengucapkan kalimat terakhirnya seakan merendahkan harga diri Belle hingga lebih rendah dari pelacur sekalipun. Merasa kesal dan tak sanggup melihat Zane berkeliaran di dalam apartemen yang sama dengannya, akhirnya Belle memutuskan pergi ke apartemen Bryan untuk menenangkan diri. Ia tiba di apartemen kekasihnya dan langsung masuk seperti biasa. Belle melempar tasnya ke atas meja dan berbaring di sofa untuk memejamkan mata sejenak. Tadinya Belle pikir, Bryan sedang tidur di kamarnya, tapi rupanya pria itu tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Telinga nakal Belle mulai menguping, ia bangkit dan mendekat ke
Tiba di pulau impian yang sangat ingin ia kunjungi bersama Bryan, Belle beberapa kali menghembuskan napasnya panjang. Kini mereka berdua tengah menuju resort yang berada di salah satu pulau kecil di Maldives. Dengan menaiki sea plane bersama beberapa penumpang lain, Zane dan Belle duduk tanpa berbincang-bincang satu sama lain. Zane menyibukkan diri dengan membaca buku fotografi atau sesekali membidik pemandangan indah dengan kameranya. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tak mengusik ketenangan Belle. Zane tahu bila Belle sangat membencinya, dan perjalanan ini akhirnya bisa terlaksana pasti karena telah terjadi sesuatu di antara Belle dan kekasihnya. Turun dari sea plane yang mendarat di tengah laut, mereka masih harus naik boat menuju resort. Sesekali terdengar suara tawa dari pasangan lain yang juga sedang berbulan madu dan berada di boat yang sama. Zane hanya melirik pasangan itu dengan sedikit rasa cemburu. "Mau roti?" Belle meletakkan sebungkus roti coklat di pangkuan Zane tanpa
Dari remaja hingga berusia hampir kepala tiga, hanya beberapa kali saja Zane pernah melakukan onan*. Itupun karena ia tak sengaja menonton adegan mesum di sebuah film. Zane paham bila melakukannya adalah sebuah dosa, tetapi sebagai pria normal, ia lebih memilih untuk melakukannya sendiri daripada menambah dosa dan penyakit dengan menyewa perempuan. Dan kini, untuk kesekian kali ia harus mengeluarkan lendir miliknya sendiri akibat efek obat perangsang yang ada didalam minuman sari buah itu. Melihat Belle kembali telanjang bulat di kamar mandi membuat Zane dengan sangat lancar menyelesaikan sesi pertamanya. Namun, ternyata gejolak itu belum juga reda hingga akhirnya Zane meneruskan hingga sesi ke dua dan ke tiga. Beruntungnya kamar mereka berjauhan dengan kamar-kamar yang lain, sehingga suara desahan dan erangan Zane tak terdengar siapapun kecuali Belle!! Wanita itu meringkuk dan bersembunyi di depan pintu kamar resort dengan tubuh gemetaran. Ia sangat syok saat tadi melihat tatapan
Bukan tanpa alasan Belle meminta Zane untuk tidur seranjang dengannya. Setelah melihat perjuangan pria itu menjaga Belle agar tak ternodai, ia jadi yakin bila Zane tak akan berani menuntut haknya sebagai suami. Sedikit banyak, Belle mengagumi sikap Zane yang konsisten pada perjanjian mereka. Seperti biasa, saat Belle bangun di pagi hari, Zane sudah raib dari ranjang. Suara gemericik air di teras belakang, membuat Belle bangkit dan menemukan Zane tengah berenang di kolam. Meskipun Zane mengenakan rash guard hitam, Belle bisa melihat otot-otot atletis dibalik kaos itu. Terlebih setelah ia melihat Zane telanjang kemarin sore, pikiran mesum Belle mulai mengarahkan tatapannya pada bagian tengah yang terjepit diantara paha pria itu. "Selamat pagi, Belle!" Belle tersentak, lamunan nakalnya mendadak hilang. Zane tersenyum padanya di kolam sembari melambaikan tangan. "Tidak mau berenang?" sambung Zane sembari menunjuk ke arah lautan yang surut. "Nggak. Aku nggak bisa berenang!" Belle ba
Zane tak suka siapapun menyentuh kepalanya, itulah mengapa ia jarang potong rambut dan kerapkali membiarkan rambutnya panjang. Terkadang, Zane sendiri yang akan memotong rambutnya tanpa datang ke barbershop atau semacamnya. Ia risih dan tak nyaman bila kepalanya di pegang dan disentuh oleh orang lain. Namun, entah mengapa kini ia malah mengikuti anjuran Belle untuk memotong rambutnya yang memang mulai panjang lagi. Sebisa mungkin Zane menahan rasa tak nyaman ketika kapster mengeksekusi rambutnya. Belle sudah menghilang ke ruang spa setelah memberi contoh potongan rambut yang ia inginkan pada kapster. Ia sangat menyukai pria dengan model rambut under cut. Belle ingin nantinya Zane terlihat lebih keren dan up to date. Apalagi mereka berdua akan tinggal berdua dan bertemu selama 24 jam, melihat Zane dalam wujud yang ia inginkan tentu akan membuatnya lebih nyaman melihat penampilannya. Nanti saat sudah di Indonesia, Belle juga akan membelikan pakaian-pakaian yang modis untuk Zane agar t