Di dalam mobil mahal milik Belle, tatapan Zane terpaku pada satu titik di mana Belle tadi menghilang di dalam bangunan tersebut. Apa yang kiranya dilakukan sepasang kekasih di dalam kamar berdua? Zane tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi akal sehatnya tak dapat diajak kompromi kali ini.
Zane bukan bocah labil yang tak paham apa itu nafsu. Meskipun usianya tahun depan sudah memasuki kepala tiga dan ia tak pernah sekalipun berpacaran, tetapi Zane bisa menebak apa yang dilakukan Belle di dalam sana bersama kekasihnya.Dengan suntuk, Zane memeriksa kembali arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 00.15. Bahkan sudah selarut ini dan Belle belum juga nampak. Entah sudah berapa kali napasnya berhembus dengan kasar dan tak sabar, ingin rasanya Zane meringsek masuk ke apartemen pria itu dan menyeret Belle pulang, tetapi ia tak ingin Belle mengamuk dan memperkeruh hubungan mereka."Mari kita tunggu setengah jam lagi," bisik Zane pada dirinya sendiri.Ia masih mencoba berpikir positif dan berharap Belle akan kembali. Namun, hingga batas waktu itu berlalu, wanita yang baru kemarin sah menjadi istrinya itu belum juga muncul. Sedikit tak sabar, Zane merogoh ponselnya dari dalam tas. Ini sudah tidak bisa ditolerir lagi, Zane harus bertindak tegas sebagai seorang suami.Nada sambung terdengar ketika Zane menempelkan gawainya di telinga. Sekali, dua kali, hingga tiga kali panggilan itu tak di angkat oleh Belle. Zane tak putus asa, ia terus mencoba hingga akhirnya terdengar suara ketus Belle menyapanya."Ada apa, sih!?""Ayo, pulang, Belle," bujuk Zane halus sembari menghembuskan napasnya lega. "Ayo pulang atau aku akan menelepon papa sekarang."Dan, di sinilah Belle berada sekarang. Duduk di samping Zane yang mengendarai mobil dengan senyuman penuh kemenangan. Akhirnya ia punya jurus jitu untuk membuat Belle bertekuk lutut dan mau menurut padanya.Brak.Pintu kamar yang ditutup secara kasar membuat Zane menghela napasnya untuk sesaat. Belle ngambek dan mendiamkan Zane sepanjang perjalanan pulang. Pun pintu tak bersalah itu jadi pelampiasan amarahnya. Namun, Zane tak peduli selama Belle sudah tak bersama pria itu lagi. Usai meneguk air dan mencuci gelasnya di pantri, Zane masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.Selimut milik mendiang nenek Lila sudah terlipat rapi di samping bantal milik Zane. Selimut usang nan kumal yang masih menyimpan wangi khas nenek kesayangannya. Aroma mint dan Eucalyptus masih bisa Zane hirup setiap kali ia rindu pada sosok sang nenek. Sambil berbaring, ingatan Zane mulai berkelana ke masa-masa indahnya sebelum ia kehilangan nenek Lila. Kenangan itu terus berputar hingga tanpa ia sadari Zane mulai terbuai dalam dunia mimpi."Zane! Zane! Bangun!"Sebuah tepukan kencang di pipi membuat tidur lelap Zane seketika terganggu. Samar-samar sosok perempuan tertangkap oleh netranya kala membuka mata."Belle?""Ada Papa di luar! Aku nggak berani buka pintu karena kita belum diskusi soal skenario yang harus kita atur!"Seketika itu Zane mengangkat tubuhnya dan duduk berhadapan dengan Belle yang sudah berada di atas ranjangnya. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, tapi mendengar Ronald datang mau tak mau membuat Zane mulai panik."Aku udah mengunci kamarku di atas, nanti kita pura-puranya tidur sekamar, ya? Biar Papa nggak curiga!" usul Belle dengan wajah serius.Zane hanya mengangguk menanggapi ide istrinya itu. Suara bel di pintu kembali terdengar dan sangat memaksa, membuat keduanya kembali gelisah."Aku buka pintu dulu, kamu cuci muka sana!"Belle melompat turun dari ranjang dan berlari ke luar, meninggalkan Zane yang masih menganggap jika ia sedang bermimpi.Di luar, wajah Ronald yang sudah tak sabar menanti pintu dibuka, lantas berubah ceria ketika melihat wajah Belle menyambut kedatangannya."Selamat pagi, Putriku!" sapa Ronald sembari meringsek masuk tanpa menunggu Belle mempersilakan.Pria paruh baya yang terlihat sumringah dan segar bugar itu mengedarkan pandangan ke sekeliling apartemen pemberiannya. Ia mendesain setiap dekorasi dan perabot di sana agar sesuai dengan selera Belle yang menyukai konsep minimalis elegan. Saat tak ia temukan sosok menantunya di ruang tengah, Ronald berbalik badan dan menatap putrinya."Di mana Zane? Apa dia belum bangun?" tanya Ronald heran.Tak biasanya Zane bangun siang, karena ia mengenal menantunya itu sangat rajin berolahraga."Iya, Pa. Dia baru tidur jam 2 tadi malam." Belle menyahut sembari berlalu ke dapur dan menyalakan mesin pembuat kopi.Senyuman di wajah Ronald merekah semakin lebar."Tidur jam 2? Wah, sepertinya Papa bakalan segera punya cucu, nih!" kelakarnya riang.Namun, Belle memilih untuk mengacuhkan candaan ayahnya itu dan fokus memasang kapsul kopi di slot mesin. Biarlah Ronald berbahagia dengan pikirannya sendiri, Belle tak tega menghancurkan harapan sang ayah meskipun hal itu sangat mustahil terjadi."Wah, lihat ini menantu Papa! Selamat pagi, Zane!"Roland menghampiri Zane yang baru keluar dari kamar dan menepuk pundak menantunya dengan hangat."Apa kalian melalui malam yang panas di tempat ini?" bisik Ronald sembari mengerlingkan mata.Dengan kikuk, Zane hanya tersenyum kaku. Ia tak tahu harus merespon apa karena tak terjadi apapun semalam. Tatapannya melirik pada Belle yang tengah menyiapkan tiga gelas kopi untuk mereka."Papa nggak ngantor?" tanya Belle dari arah dapur ketika ia sadar jika Zane mulai salah tingkah dengan pertanyaan-pertanyaan mesum sang ayah."Iya, sebentar lagi Papa ngantor! Kalian berdua nikmati saja dulu waktu berduaan, jangan memikirkan urusan kantor, biar Papa yang handle semuanya." Ronald menghampiri putrinya yang membawa gelas kopi ke meja makan.Zane dan Belle duduk berdampingan setelah istrinya itu menarik kursi untuknya. Aroma kopi yang khas menguar dan membuat suasana pagi semakin hangat."Papa ada satu hadiah lagi untuk kalian, hadiah kejutan!"Dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya, Ronald mengangsurkan selembar amplop pada Zane dan putrinya."Bukalah!" perintah Ronald ketika pasutri itu hanya diam terpaku menatap amplop putih itu.Dengan tangan gemetar, Zane menggeser amplop itu ke sisi Belle agar istrinya itu yang membukanya. Zane merasa tak berhak untuk melihat isi di dalam amplop tebal itu.Sambil menghembuskan napasnya panjang, Belle akhirnya meraih amplop itu dan membukanya dengan malas. Ia yakin isinya bukanlah surat wasiat, melainkan sesuatu yang tak penting. Saat mengeluarkan sesuatu dari dalam amplop itu, bola mata Belle membeliak ketika membaca isinya."Pa, apalagi ini?" Belle melemparkan dua lembar tiket pesawat dengan kesal. "Aku nggak mau berangkat!" "Itu hadiah bulan madu! Bukankah sebagai pasangan yang baru menikah, kalian wajib berbulan madu?" "Aku nggak mau! Aku nggak mau berangkat ke manapun!" sela Belle geram karena ia tak menyukai ide sang ayah. Tatapan Ronald mengarahkan pada Zane yang sejak tadi hanya diam membisu. "Bagaimana, Zane? Kamu mau berangkat?" Merasa terpojok, Zane lantas menoleh pada Belle yang juga tengah menatapnya dengan tajam. "S-saya tidak tahu, Pa." "Kalian hanya tinggal berangkat, apa susahnya sih! Lagian cuma ke Maldives, bukan ke luar angkasa!" gerutu Ronald gemas. "Kami bahkan baru pindah, Pa. Belum sempat beres-beres dan--""Jangan khawatirkan itu, Belle. Papa akan meminta anak buah Josh untuk membereskan semuanya! Biar dia yang menata pakaian kalian di lemari dan bersih- bersih!""Tidak usah, Pa. Tidak perlu sampai seperti itu. Kami bisa membereskan nanti!" sela Zane panik, meminta bantuan
"Baiklah, berangkatlah bersamanya. Jangan buat hadiah ini jadi sia-sia, pergilah bersama kekasihmu itu."Belle menghembuskan napasnya dengan kasar ketika mengingat umpatan Zane padanya tadi pagi. Bukannya bahagia setelah Zane mengijinkan dia untuk pergi ke Maldives bersama Bryan, Belle justru merasa terhina. Cara Zane melemparkan amplop itu, juga caranya menatap Belle kala mengucapkan kalimat terakhirnya seakan merendahkan harga diri Belle hingga lebih rendah dari pelacur sekalipun. Merasa kesal dan tak sanggup melihat Zane berkeliaran di dalam apartemen yang sama dengannya, akhirnya Belle memutuskan pergi ke apartemen Bryan untuk menenangkan diri. Ia tiba di apartemen kekasihnya dan langsung masuk seperti biasa. Belle melempar tasnya ke atas meja dan berbaring di sofa untuk memejamkan mata sejenak. Tadinya Belle pikir, Bryan sedang tidur di kamarnya, tapi rupanya pria itu tengah berbincang dengan seseorang di telepon. Telinga nakal Belle mulai menguping, ia bangkit dan mendekat ke
Tiba di pulau impian yang sangat ingin ia kunjungi bersama Bryan, Belle beberapa kali menghembuskan napasnya panjang. Kini mereka berdua tengah menuju resort yang berada di salah satu pulau kecil di Maldives. Dengan menaiki sea plane bersama beberapa penumpang lain, Zane dan Belle duduk tanpa berbincang-bincang satu sama lain. Zane menyibukkan diri dengan membaca buku fotografi atau sesekali membidik pemandangan indah dengan kameranya. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tak mengusik ketenangan Belle. Zane tahu bila Belle sangat membencinya, dan perjalanan ini akhirnya bisa terlaksana pasti karena telah terjadi sesuatu di antara Belle dan kekasihnya. Turun dari sea plane yang mendarat di tengah laut, mereka masih harus naik boat menuju resort. Sesekali terdengar suara tawa dari pasangan lain yang juga sedang berbulan madu dan berada di boat yang sama. Zane hanya melirik pasangan itu dengan sedikit rasa cemburu. "Mau roti?" Belle meletakkan sebungkus roti coklat di pangkuan Zane tanpa
Dari remaja hingga berusia hampir kepala tiga, hanya beberapa kali saja Zane pernah melakukan onan*. Itupun karena ia tak sengaja menonton adegan mesum di sebuah film. Zane paham bila melakukannya adalah sebuah dosa, tetapi sebagai pria normal, ia lebih memilih untuk melakukannya sendiri daripada menambah dosa dan penyakit dengan menyewa perempuan. Dan kini, untuk kesekian kali ia harus mengeluarkan lendir miliknya sendiri akibat efek obat perangsang yang ada didalam minuman sari buah itu. Melihat Belle kembali telanjang bulat di kamar mandi membuat Zane dengan sangat lancar menyelesaikan sesi pertamanya. Namun, ternyata gejolak itu belum juga reda hingga akhirnya Zane meneruskan hingga sesi ke dua dan ke tiga. Beruntungnya kamar mereka berjauhan dengan kamar-kamar yang lain, sehingga suara desahan dan erangan Zane tak terdengar siapapun kecuali Belle!! Wanita itu meringkuk dan bersembunyi di depan pintu kamar resort dengan tubuh gemetaran. Ia sangat syok saat tadi melihat tatapan
Bukan tanpa alasan Belle meminta Zane untuk tidur seranjang dengannya. Setelah melihat perjuangan pria itu menjaga Belle agar tak ternodai, ia jadi yakin bila Zane tak akan berani menuntut haknya sebagai suami. Sedikit banyak, Belle mengagumi sikap Zane yang konsisten pada perjanjian mereka. Seperti biasa, saat Belle bangun di pagi hari, Zane sudah raib dari ranjang. Suara gemericik air di teras belakang, membuat Belle bangkit dan menemukan Zane tengah berenang di kolam. Meskipun Zane mengenakan rash guard hitam, Belle bisa melihat otot-otot atletis dibalik kaos itu. Terlebih setelah ia melihat Zane telanjang kemarin sore, pikiran mesum Belle mulai mengarahkan tatapannya pada bagian tengah yang terjepit diantara paha pria itu. "Selamat pagi, Belle!" Belle tersentak, lamunan nakalnya mendadak hilang. Zane tersenyum padanya di kolam sembari melambaikan tangan. "Tidak mau berenang?" sambung Zane sembari menunjuk ke arah lautan yang surut. "Nggak. Aku nggak bisa berenang!" Belle ba
Zane tak suka siapapun menyentuh kepalanya, itulah mengapa ia jarang potong rambut dan kerapkali membiarkan rambutnya panjang. Terkadang, Zane sendiri yang akan memotong rambutnya tanpa datang ke barbershop atau semacamnya. Ia risih dan tak nyaman bila kepalanya di pegang dan disentuh oleh orang lain. Namun, entah mengapa kini ia malah mengikuti anjuran Belle untuk memotong rambutnya yang memang mulai panjang lagi. Sebisa mungkin Zane menahan rasa tak nyaman ketika kapster mengeksekusi rambutnya. Belle sudah menghilang ke ruang spa setelah memberi contoh potongan rambut yang ia inginkan pada kapster. Ia sangat menyukai pria dengan model rambut under cut. Belle ingin nantinya Zane terlihat lebih keren dan up to date. Apalagi mereka berdua akan tinggal berdua dan bertemu selama 24 jam, melihat Zane dalam wujud yang ia inginkan tentu akan membuatnya lebih nyaman melihat penampilannya. Nanti saat sudah di Indonesia, Belle juga akan membelikan pakaian-pakaian yang modis untuk Zane agar t
Zane menyerahkan ponsel edisi lama miliknya pada Belle. Saat istrinya itu hanya diam terpaku mengawasi gawai kuno -sekuno pemiliknya, akhirnya Zane kembali berkata, "Buatkan media sosial untukku." "Serius?!" seru Belle tak percaya. Saat Zane mengangguk dengan seutas senyuman, buru-buru Belle merampas ponsel Zane sebelum pria itu berubah pikiran. Dia mengunduh beberapa media sosial yang belum pernah Zane miliki sambil sesekali menggerutu. Betapa Zane sangat primitif di era yang sudah serba modern ini. "Nah, kalo begini, kan, kamu bisa memamerkan semua hal yang kamu datangi, yang kamu lihat, bahkan yang kamu miliki." Belle mengembalikan ponsel Zane setelah ia berhasil mendaftarkan media sosial untuk suaminya itu."Memamerkan pada siapa?" ulang Zane bingung. Ia bukan orang terkenal yang setiap gerak-geriknya patut untuk dipamerkan pada semua orang. "Pada teman-temanmu, lah! Mereka harus melihat kehebatanmu, progres dalam hidupmu, kecuali memamerkan aku! Itu tidak boleh!" "Memangnya
Tubuh kecil itu meringkuk di balik pintu kamar yang tertutup dengan rapat. Beberapa jam yang lalu, ia masih terlelap dengan tenang, tapi sejak telinganya mendengar suara berisik yang acap kali mengganggu tidurnya, mau tak mau ia membuka mata, meraba sekelilingnya yang gelap gulita dan berhenti di balik pintu yang selalu terkunci dari luar tiap kali kedua orang tuanya sedang bertengkar. Zane, begitu ia di sapa oleh dua manusia yang tak pernah menyayanginya sebagai anak. Tubuhnya gemetar menahan hawa dingin dan takut. Suara teriakan wanita saling bersahutan dengan suara lelaki yang terdengar sangat murka. Sesekali terdengar suara barang pecah dan membentur dinding atau lantai. Zane tak mengerti, mengapa ia kerap kali terjebak di situasi ini. Teriakan-teriakan itu seolah menjadi kidung yang harus ia dengar hampir setiap hari. "Ibu," tangis Zane dengan suara tercekat. Kedua tangannya yang mungil memeluk erat kedua lututnya yang gemetaran dan kedinginan. Namun, sekeras apapun Zane mena