Bukan tanpa alasan Belle meminta Zane untuk tidur seranjang dengannya. Setelah melihat perjuangan pria itu menjaga Belle agar tak ternodai, ia jadi yakin bila Zane tak akan berani menuntut haknya sebagai suami. Sedikit banyak, Belle mengagumi sikap Zane yang konsisten pada perjanjian mereka. Seperti biasa, saat Belle bangun di pagi hari, Zane sudah raib dari ranjang. Suara gemericik air di teras belakang, membuat Belle bangkit dan menemukan Zane tengah berenang di kolam. Meskipun Zane mengenakan rash guard hitam, Belle bisa melihat otot-otot atletis dibalik kaos itu. Terlebih setelah ia melihat Zane telanjang kemarin sore, pikiran mesum Belle mulai mengarahkan tatapannya pada bagian tengah yang terjepit diantara paha pria itu. "Selamat pagi, Belle!" Belle tersentak, lamunan nakalnya mendadak hilang. Zane tersenyum padanya di kolam sembari melambaikan tangan. "Tidak mau berenang?" sambung Zane sembari menunjuk ke arah lautan yang surut. "Nggak. Aku nggak bisa berenang!" Belle ba
Zane tak suka siapapun menyentuh kepalanya, itulah mengapa ia jarang potong rambut dan kerapkali membiarkan rambutnya panjang. Terkadang, Zane sendiri yang akan memotong rambutnya tanpa datang ke barbershop atau semacamnya. Ia risih dan tak nyaman bila kepalanya di pegang dan disentuh oleh orang lain. Namun, entah mengapa kini ia malah mengikuti anjuran Belle untuk memotong rambutnya yang memang mulai panjang lagi. Sebisa mungkin Zane menahan rasa tak nyaman ketika kapster mengeksekusi rambutnya. Belle sudah menghilang ke ruang spa setelah memberi contoh potongan rambut yang ia inginkan pada kapster. Ia sangat menyukai pria dengan model rambut under cut. Belle ingin nantinya Zane terlihat lebih keren dan up to date. Apalagi mereka berdua akan tinggal berdua dan bertemu selama 24 jam, melihat Zane dalam wujud yang ia inginkan tentu akan membuatnya lebih nyaman melihat penampilannya. Nanti saat sudah di Indonesia, Belle juga akan membelikan pakaian-pakaian yang modis untuk Zane agar t
Zane menyerahkan ponsel edisi lama miliknya pada Belle. Saat istrinya itu hanya diam terpaku mengawasi gawai kuno -sekuno pemiliknya, akhirnya Zane kembali berkata, "Buatkan media sosial untukku." "Serius?!" seru Belle tak percaya. Saat Zane mengangguk dengan seutas senyuman, buru-buru Belle merampas ponsel Zane sebelum pria itu berubah pikiran. Dia mengunduh beberapa media sosial yang belum pernah Zane miliki sambil sesekali menggerutu. Betapa Zane sangat primitif di era yang sudah serba modern ini. "Nah, kalo begini, kan, kamu bisa memamerkan semua hal yang kamu datangi, yang kamu lihat, bahkan yang kamu miliki." Belle mengembalikan ponsel Zane setelah ia berhasil mendaftarkan media sosial untuk suaminya itu."Memamerkan pada siapa?" ulang Zane bingung. Ia bukan orang terkenal yang setiap gerak-geriknya patut untuk dipamerkan pada semua orang. "Pada teman-temanmu, lah! Mereka harus melihat kehebatanmu, progres dalam hidupmu, kecuali memamerkan aku! Itu tidak boleh!" "Memangnya
Tubuh kecil itu meringkuk di balik pintu kamar yang tertutup dengan rapat. Beberapa jam yang lalu, ia masih terlelap dengan tenang, tapi sejak telinganya mendengar suara berisik yang acap kali mengganggu tidurnya, mau tak mau ia membuka mata, meraba sekelilingnya yang gelap gulita dan berhenti di balik pintu yang selalu terkunci dari luar tiap kali kedua orang tuanya sedang bertengkar. Zane, begitu ia di sapa oleh dua manusia yang tak pernah menyayanginya sebagai anak. Tubuhnya gemetar menahan hawa dingin dan takut. Suara teriakan wanita saling bersahutan dengan suara lelaki yang terdengar sangat murka. Sesekali terdengar suara barang pecah dan membentur dinding atau lantai. Zane tak mengerti, mengapa ia kerap kali terjebak di situasi ini. Teriakan-teriakan itu seolah menjadi kidung yang harus ia dengar hampir setiap hari. "Ibu," tangis Zane dengan suara tercekat. Kedua tangannya yang mungil memeluk erat kedua lututnya yang gemetaran dan kedinginan. Namun, sekeras apapun Zane mena
Berat rasanya bagi Zane untuk meninggalkan Maldives yang telah memberinya banyak kenangan indah. Kali pertama selama dirinya hidup, ia menghabiskan waktu bersama seseorang selain mendiang nenek Lila. "Kamu sudah siap?" tanya Belle ketika Zane masih melamun di teras belakang, menatap hamparan lautan yang sangat indah sebelum mereka cek out dari resort. "Iya," sahut Zane lirih sembari berbalik badan. "Mari kita pulang." Setumpuk aktivitas telah menanti keduanya di tanah air. Cuti yang diajukan akan berakhir dan keduanya akan kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Di kursi first class yang membawa pasutri itu terbang ke Indonesia, Belle menatap nanar pada layar ponselnya yang tak terkunci. Sudah ada puluhan panggilan dan pesan dari Bryan ketika ia mengaktifkan ponselnya kemarin. Tak ada satupun pesan yang Belle baca demi menghindari sakit hati. Ia memilih untuk membiarkan Bryan agar pria itu lelah sendiri. Sampai kapanpun Belle tak mau putus, baginya Bryan tetaplah kekasih dan
Setelah hampir sepekan meninggalkan tanah kelahirannya, Belle dan Zane akhirnya tiba jam 10 pagi dan langsung pulang ke apartemen. Keduanya dijemput oleh sopir suruhan Ronald. Mertuanya tak bisa ikut menjemput karena sedang sibuk di kantor. Hal yang pertama Zane lakukan setelah sampai di apartemen adalah mencari selimut kesayangannya. Ia memeluk dan menghirup dalam-dalam aroma hangat yang menguar dari selembar kain kumal itu hingga memenuhi rongga paru-parunya. Masih ada waktu hingga sore untuknya beristirahat, sebelum nanti ia dan Belle akan makan malam di kediaman Ronald. Karena masih agak pusing dan mengantuk, Zane akhirnya naik ke ranjang, tanpa lebih dulu membongkar kopernya. Selama di pesawat, ia tak bisa tidur dengan tenang. Selain karena belum terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan pesawat, Zane juga merasa sedih karena ia akan kembali sibuk dengan pekerjaan. Sementara itu di lantai atas, Belle yang sudah mendapat cukup tidur dan istirahat, memilih untuk mandi dan membon
"Zane, lihat ini!" Teriakan Belle yang terdengar panik dan kencang, mau tak mau membuat Zane membuka mata. Terlebih saat istrinya itu mendekat dengan terburu-buru."Lihat!" Belle menyerahkan ponselnya di mana sebuah laman berita online sedang terbuka. Sedikit ragu, Zane menerima ponsel itu dan mulai membaca judul berita. Tunggu, ini kan foto dirinya bersama Belle? Bagaimana bisa?"Ini pasti ulah papa!" geram Belle sembari bersedekap dan mendengus jengkel. "Papa sengaja mengirim Josh agar bisa mendapat foto-foto kita selama di Maldives kemarin!"Dengan jemari gemetar, Zane menggulir layar untuk membaca keseluruhan berita yang sedang membahas dirinya. Foto saat ijab bahkan juga terpampang jelas di sana. "Lalu kita harus bagaimana?" desah Zane bingung. Hilang sudah rasa kantuknya gegara berita heboh ini. Bahkan ia tak bisa membayangkan seandainya teman-teman sekantornya tahu jika Zane cuti untuk menikah, bukan istirahat seperti alasan yang ia ajukan. "Bersiaplah, kita ke rumah papa
"Belle! Oh, syukurlah akhirnya kamu mengangkat teleponku!" Suara berat itu membuat linangan cairan bening mengalir semakin deras dari dua netra Belle. Rasanya sangat menyedihkan ketika kita hanya bisa mendengar suara pria yang kita cintai tapi tak bisa memeluknya di saat yang bersamaan. "Bryan, aku--""Bisa kita bertemu, Belle? Ada banyak hal yang ingin aku katakan." Belle tercekat, ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya yang telah basah terkena air kolam. "Aku nggak mau ketemu kamu, Bryan. Aku--""Tolonglah, Belle. Aku rasa kamu sudah salah paham setelah mendengar percakapanku dengan Tom. Waktu itu kamu datang ke apartemenku, bukan? Sehari sebelum kamu terbang ke Maldives," tukas Bryan cepat. "Eh-em. Tapi aku--""Aku akan menjelaskan semuanya. Tolong, aku masih ingin memperbaiki hubungan kita." Dan, di sinilah Belle berada sekarang. Dengan alasan memperbaiki hubungan, Belle dan Bryan memilih untuk bertemu di cafe milik sahabat Bryan, Jeremi. Tatapan penuh kerinduan
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona