Berat rasanya bagi Zane untuk meninggalkan Maldives yang telah memberinya banyak kenangan indah. Kali pertama selama dirinya hidup, ia menghabiskan waktu bersama seseorang selain mendiang nenek Lila. "Kamu sudah siap?" tanya Belle ketika Zane masih melamun di teras belakang, menatap hamparan lautan yang sangat indah sebelum mereka cek out dari resort. "Iya," sahut Zane lirih sembari berbalik badan. "Mari kita pulang." Setumpuk aktivitas telah menanti keduanya di tanah air. Cuti yang diajukan akan berakhir dan keduanya akan kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Di kursi first class yang membawa pasutri itu terbang ke Indonesia, Belle menatap nanar pada layar ponselnya yang tak terkunci. Sudah ada puluhan panggilan dan pesan dari Bryan ketika ia mengaktifkan ponselnya kemarin. Tak ada satupun pesan yang Belle baca demi menghindari sakit hati. Ia memilih untuk membiarkan Bryan agar pria itu lelah sendiri. Sampai kapanpun Belle tak mau putus, baginya Bryan tetaplah kekasih dan
Setelah hampir sepekan meninggalkan tanah kelahirannya, Belle dan Zane akhirnya tiba jam 10 pagi dan langsung pulang ke apartemen. Keduanya dijemput oleh sopir suruhan Ronald. Mertuanya tak bisa ikut menjemput karena sedang sibuk di kantor. Hal yang pertama Zane lakukan setelah sampai di apartemen adalah mencari selimut kesayangannya. Ia memeluk dan menghirup dalam-dalam aroma hangat yang menguar dari selembar kain kumal itu hingga memenuhi rongga paru-parunya. Masih ada waktu hingga sore untuknya beristirahat, sebelum nanti ia dan Belle akan makan malam di kediaman Ronald. Karena masih agak pusing dan mengantuk, Zane akhirnya naik ke ranjang, tanpa lebih dulu membongkar kopernya. Selama di pesawat, ia tak bisa tidur dengan tenang. Selain karena belum terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan pesawat, Zane juga merasa sedih karena ia akan kembali sibuk dengan pekerjaan. Sementara itu di lantai atas, Belle yang sudah mendapat cukup tidur dan istirahat, memilih untuk mandi dan membon
"Zane, lihat ini!" Teriakan Belle yang terdengar panik dan kencang, mau tak mau membuat Zane membuka mata. Terlebih saat istrinya itu mendekat dengan terburu-buru."Lihat!" Belle menyerahkan ponselnya di mana sebuah laman berita online sedang terbuka. Sedikit ragu, Zane menerima ponsel itu dan mulai membaca judul berita. Tunggu, ini kan foto dirinya bersama Belle? Bagaimana bisa?"Ini pasti ulah papa!" geram Belle sembari bersedekap dan mendengus jengkel. "Papa sengaja mengirim Josh agar bisa mendapat foto-foto kita selama di Maldives kemarin!"Dengan jemari gemetar, Zane menggulir layar untuk membaca keseluruhan berita yang sedang membahas dirinya. Foto saat ijab bahkan juga terpampang jelas di sana. "Lalu kita harus bagaimana?" desah Zane bingung. Hilang sudah rasa kantuknya gegara berita heboh ini. Bahkan ia tak bisa membayangkan seandainya teman-teman sekantornya tahu jika Zane cuti untuk menikah, bukan istirahat seperti alasan yang ia ajukan. "Bersiaplah, kita ke rumah papa
"Belle! Oh, syukurlah akhirnya kamu mengangkat teleponku!" Suara berat itu membuat linangan cairan bening mengalir semakin deras dari dua netra Belle. Rasanya sangat menyedihkan ketika kita hanya bisa mendengar suara pria yang kita cintai tapi tak bisa memeluknya di saat yang bersamaan. "Bryan, aku--""Bisa kita bertemu, Belle? Ada banyak hal yang ingin aku katakan." Belle tercekat, ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya yang telah basah terkena air kolam. "Aku nggak mau ketemu kamu, Bryan. Aku--""Tolonglah, Belle. Aku rasa kamu sudah salah paham setelah mendengar percakapanku dengan Tom. Waktu itu kamu datang ke apartemenku, bukan? Sehari sebelum kamu terbang ke Maldives," tukas Bryan cepat. "Eh-em. Tapi aku--""Aku akan menjelaskan semuanya. Tolong, aku masih ingin memperbaiki hubungan kita." Dan, di sinilah Belle berada sekarang. Dengan alasan memperbaiki hubungan, Belle dan Bryan memilih untuk bertemu di cafe milik sahabat Bryan, Jeremi. Tatapan penuh kerinduan
Di tempat berbeda, Zane baru saja sampai di apartemen. Karena Belle tiba-tiba pergi dan tak menjawab telepon ataupun pesannya, terpaksa Zane berbohong pada Ronald dan mengatakan bila istrinya pasti sedang sibuk berbelanja. Padahal, Zane tak tahu ke mana Belle pergi. Menunggu hingga berjam-jam juga sangat tidak mungkin, Ronald pasti akan curiga. Baru saja menutup pintu, ponsel Zane berdenting di dalam saku celananya. Secepat kilat Zane merogoh gawai pipihnya itu dan membaca sebaris nama si pengirim pesan. Hesti Logistic Dept.Zane menghela napasnya berat saat nama itu terbaca olehnya. Bukan pesan dari Belle, melainkan dari salah satu kawan di tempatnya bekerja. Dengan malas, Zane membuka pesan itu. Ada tiga lampiran foto yang dikirim oleh Hesti. [Zane, ini beneran kamu?] Sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, Zane mulai membalas pesan itu. Ia membalas sesingkat dan sejelas mungkin karena Zane yakin jika teman-teman sekantornya pasti heboh mendengar berita tentangnya hari ini.
"Aku akan meredam berita tentang pernikahan Belle dan menyebarkan gosip terbaru tentangku," usul Bryan dengan jari telunjuk mengacungkan ke atas, seakan-akan dia telah menemukan ilham. Jeremi hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan sahabatnya, ia mengibaskan tangannya dengan cepat dan menganggap ide tersebut hanyalah bualan Bryan saja. "Gue serius, Jer! Gue akan meminta Tom untuk menyebarkan gosip tentang sosok perempuan yang selama ini mendukung dan mensuport gue di belakang layar, media pasti penasaran dan nama gue bisa jadi trending topik di mana-mana!" lanjut Bryan semakin bersemangat. "Itu bukan ide yang bagus, Bryan. Aku nggak mau papaku nanti malah mengetahui gosip itu dan hubungan kita semakin runyam!" tolak Belle cepat.Papanya bisa melakukan apapun tanpa mempedulikan perasaan Belle, ia tak ingin ide Bryan nantinya malah membuatnya semakin dijauhkan dari kekasihnya itu. Terlebih, Ronald pasti tak akan tinggal diam. "Aku nggak akan menyebut nama kamu, Belle. Aku hanya s
Jakarta, 14 Desember 2023.Yang bertandatangan di bawah ini,Nama : Belle Ivy Janata, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak pertama, danNama : Zanendra Prasetyo, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak kedua.Dengan ini membuat surat perjanjian yang ditandatangani secara sadar dan dalam kondisi sehat wal afiat. Membuat kesepakatan bermaterai cukup yang berisi di antaranya :1. Pernikahan akan berakhir tepat setahun dari tanggal surat perjanjian ini ditandatangani dan/atau surat warisan Janata Group jatuh ke tangan Pihak pertama.2. Pihak pertama dan pihak kedua dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing, dilarang saling menuntut kewajiban dan dilarang melakukan kontak fisik kecuali di depan umum untuk kepentingan bisnis.3. Tidak boleh ada pihak luar yang mengetahui surat perjanjian pernikahan ini atau sanksi hukum ganti rugi berupa pelanggaran kontrak senilai 20 M diberlakukan.4. Pihak pertama akan memberikan saham PT. Janata Group senilai 25% pada pihak kedua apabila PT. Ja
Di tempat yang berbeda, Zane baru saja membersihkan seisi rumah. Rasa lelah lantas membuatnya bersantai di balkon sambil menikmati segelas es teh di gelas super jumbo. Tadinya, Zane hendak membalas pesan salah satu rekan kerjanya saat sebuah notifikasi email berdenting. Seketika itu Zane ingat pada perkataan Belle semalam, ia buru-buru membuka aplikasi emailnya dan benar saja, Belle ternyata benar-benar mengirim draft kontrak mereka yang terbaru. Dengan jemari gemetar, Zane membaca satu demi satu pasal yang telah banyak berubah isinya. Bila sebelumnya mereka terikat kontrak selama jangka waktu tiga tahun, kini Belle merubahnya menjadi satu tahun saja. Pun kini ada pembahasan tentang pembagian saham dan pasal tambahan tentang perpisahan. Dada Zane berdebar hebat kala membaca kontrak itu sekali lagi, hanya untuk memastikan jika tak ada pasal yang terlewat. Dan, semakin ia membaca, semakin Zane merasa direndahkan. Apa Belle menganggap pernikahan mereka hanya main-main? Bagaimana mungki
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona