Di tempat berbeda, Zane baru saja sampai di apartemen. Karena Belle tiba-tiba pergi dan tak menjawab telepon ataupun pesannya, terpaksa Zane berbohong pada Ronald dan mengatakan bila istrinya pasti sedang sibuk berbelanja. Padahal, Zane tak tahu ke mana Belle pergi. Menunggu hingga berjam-jam juga sangat tidak mungkin, Ronald pasti akan curiga. Baru saja menutup pintu, ponsel Zane berdenting di dalam saku celananya. Secepat kilat Zane merogoh gawai pipihnya itu dan membaca sebaris nama si pengirim pesan. Hesti Logistic Dept.Zane menghela napasnya berat saat nama itu terbaca olehnya. Bukan pesan dari Belle, melainkan dari salah satu kawan di tempatnya bekerja. Dengan malas, Zane membuka pesan itu. Ada tiga lampiran foto yang dikirim oleh Hesti. [Zane, ini beneran kamu?] Sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, Zane mulai membalas pesan itu. Ia membalas sesingkat dan sejelas mungkin karena Zane yakin jika teman-teman sekantornya pasti heboh mendengar berita tentangnya hari ini.
"Aku akan meredam berita tentang pernikahan Belle dan menyebarkan gosip terbaru tentangku," usul Bryan dengan jari telunjuk mengacungkan ke atas, seakan-akan dia telah menemukan ilham. Jeremi hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan sahabatnya, ia mengibaskan tangannya dengan cepat dan menganggap ide tersebut hanyalah bualan Bryan saja. "Gue serius, Jer! Gue akan meminta Tom untuk menyebarkan gosip tentang sosok perempuan yang selama ini mendukung dan mensuport gue di belakang layar, media pasti penasaran dan nama gue bisa jadi trending topik di mana-mana!" lanjut Bryan semakin bersemangat. "Itu bukan ide yang bagus, Bryan. Aku nggak mau papaku nanti malah mengetahui gosip itu dan hubungan kita semakin runyam!" tolak Belle cepat.Papanya bisa melakukan apapun tanpa mempedulikan perasaan Belle, ia tak ingin ide Bryan nantinya malah membuatnya semakin dijauhkan dari kekasihnya itu. Terlebih, Ronald pasti tak akan tinggal diam. "Aku nggak akan menyebut nama kamu, Belle. Aku hanya s
Jakarta, 14 Desember 2023.Yang bertandatangan di bawah ini,Nama : Belle Ivy Janata, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak pertama, danNama : Zanendra Prasetyo, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak kedua.Dengan ini membuat surat perjanjian yang ditandatangani secara sadar dan dalam kondisi sehat wal afiat. Membuat kesepakatan bermaterai cukup yang berisi di antaranya :1. Pernikahan akan berakhir tepat setahun dari tanggal surat perjanjian ini ditandatangani dan/atau surat warisan Janata Group jatuh ke tangan Pihak pertama.2. Pihak pertama dan pihak kedua dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing, dilarang saling menuntut kewajiban dan dilarang melakukan kontak fisik kecuali di depan umum untuk kepentingan bisnis.3. Tidak boleh ada pihak luar yang mengetahui surat perjanjian pernikahan ini atau sanksi hukum ganti rugi berupa pelanggaran kontrak senilai 20 M diberlakukan.4. Pihak pertama akan memberikan saham PT. Janata Group senilai 25% pada pihak kedua apabila PT. Ja
Di tempat yang berbeda, Zane baru saja membersihkan seisi rumah. Rasa lelah lantas membuatnya bersantai di balkon sambil menikmati segelas es teh di gelas super jumbo. Tadinya, Zane hendak membalas pesan salah satu rekan kerjanya saat sebuah notifikasi email berdenting. Seketika itu Zane ingat pada perkataan Belle semalam, ia buru-buru membuka aplikasi emailnya dan benar saja, Belle ternyata benar-benar mengirim draft kontrak mereka yang terbaru. Dengan jemari gemetar, Zane membaca satu demi satu pasal yang telah banyak berubah isinya. Bila sebelumnya mereka terikat kontrak selama jangka waktu tiga tahun, kini Belle merubahnya menjadi satu tahun saja. Pun kini ada pembahasan tentang pembagian saham dan pasal tambahan tentang perpisahan. Dada Zane berdebar hebat kala membaca kontrak itu sekali lagi, hanya untuk memastikan jika tak ada pasal yang terlewat. Dan, semakin ia membaca, semakin Zane merasa direndahkan. Apa Belle menganggap pernikahan mereka hanya main-main? Bagaimana mungki
"Kamu takut bertemu denganku setelah kita berpisah?" Pertanyaan Zane sontak membuat Belle mendelik kesal. "Enak saja! Aku hanya nggak mau nantinya papa meminta kita rujuk. Jadi lebih baik kamu menjauhlah selama mungkin agar hidupku tenang bersama Bryan!"Mendengar nama pria itu disebut lagi, membuat Zane lantas mengangguk paham seberapa dalam cinta Belle pada Bryan. "Baiklah. Aku paham. Tapi aku tetap ingin waktu sebulan, aku berjanji tidak akan menemuimu, Belle. Aku hanya ingin tetap menjalin hubungan dengan pak Ronald." Belle memicingkan kedua matanya, mencoba mencari kejujuran dari mimik wajah Zane yang terlihat muram saat mengucapkan nama papanya. Namun, Belle tak menemukan apapun di sana selain ketulusan. Pada akhirnya, Belle mengangguk pasrah. Dia meraih lembaran surat kontrak itu dan mencoret kata yang harus direvisi kembali. "Kenapa kamu menolak kuberi saham, Zane? Kamu bisa jadi duda kaya seandainya menerima saham itu." "Karena aku tidak mengincar harta kalian." Belle m
"Mas Zane, kan?" Seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu dan menyapanya, membuat Zane mengernyit bingung. Ia mencoba mengingat-ingat, siapa perempuan muda ini. "Mas Zane, lupa sama aku?" ulang perempuan itu sembari mencebik sedih. Ekspresi ramah yang tiba-tiba berubah murung itu, tak pelak membuat Zane jadi merasa bersalah. "Maaf, sepertinya kita memang pernah bertemu, tapi saya lupa di mana," sesal Zane kikuk. Perempuan itu akhirnya menghampiri Zane dan mengulurkan tangannya dengan cepat."Sepertinya kita harus berkenalan sekali lagi. Aku Zara, putrinya Bu Bidan Hesti yang dulu sempat merawat nenek Lila." Seketika itu, kepingan-kepingan memori yang sempat teracak, kini mulai tertata dengan rapi. Ya, Zane ingat sekarang, wajah ini tak asing karena dulu sering ikut Bu Bidan Hesti ke rumah kontrakannya, untuk merawat nenek Lila yang sering kambuh. "Maaf, Zara, aku benar-benar lupa! Waktu itu kamu masih SD, kan?" "Iyalah! Dulu aku masih imut-imut. Sekarang udah amit-amit, ha
Gadis muda yang pantang menyerah. Bahkan sejak kecil, Zara selalu punya cara untuk membujuk orang lain melakukan apapun yang ia inginkan. "Maaf, Zara, kapan-kapan saja, ya?" tolak Zane halus, ia tak ingin mengecewakan Zara. "Tapi beneran, ya!? Aku boleh main-main." Zane hanya mengangguk ragu, karena ia sendiri tak paham, 'kapan-kapan' yang ia ucapkan itu entah kapan akan terlaksana. Zane merasa sungkan karena ia menganggap apartemen itu bukan miliknya, meskipun Ronald telah mengatasnamakan apartemen itu atas namanya. Menjelang sore, setelah selesai berdiskusi dengan beberapa reporter yang besok akan bertugas bersamanya, Zane akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia masih harus berbelanja kebutuhan rumah dan dapur di supermarket, tak mungkin menunggu Belle melakukan tugas itu karena ia tahu betul Belle bahkan tak bisa membedakan mana kecap dan saus. Saat sedang asyik memilah sayuran, percakapan diantara dua orang gadis belia -yang kebetulan berjalan melewatinya, membuat fokus Zane te
Belle baru saja menyelesaikan meetingnya dengan tim pemasaran ketika Josh menghampirinya dan memintanya untuk datang ke restoran langganan Ronald untuk makan malam nanti. "Aku nggak janji, Josh! Aku sudah ada acara," tolak Belle sembari terus berlalu menuju ruangannya. "Tapi, Tuan Zane juga akan datang, Nona."Langkah Belle terhenti. Pria konservatif itu akan datang juga? "Tuan Ronald pasti akan marah jika anda menolak untuk datang." "Baiklah, aku akan datang! Sampaikan saja sama Papa." Dan, setelah melewati kemacetan yang cukup parah, akhirnya Belle sampai di lokasi, di mana Ronald dan Zane sudah menunggunya. Tadinya, keduanya sedang asyik mengobrol hingga saat kedatangan Belle akhirnya membuat ekspresi wajah Zane berubah kaku, seperti biasanya. "Duduklah, Belle!" perintah Ronald sambil menunjuk kursi di sebelah menantunya. Seorang pelayanan kemudian mendekat, membantu menarik kursi dan mempersilahkan Belle untuk duduk di samping Zane. Setelah Belle menghempaskan dirinya di si