Jakarta, 14 Desember 2023.Yang bertandatangan di bawah ini,Nama : Belle Ivy Janata, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak pertama, danNama : Zanendra Prasetyo, yangSelanjutnya disebut sebagai pihak kedua.Dengan ini membuat surat perjanjian yang ditandatangani secara sadar dan dalam kondisi sehat wal afiat. Membuat kesepakatan bermaterai cukup yang berisi di antaranya :1. Pernikahan akan berakhir tepat setahun dari tanggal surat perjanjian ini ditandatangani dan/atau surat warisan Janata Group jatuh ke tangan Pihak pertama.2. Pihak pertama dan pihak kedua dilarang mencampuri urusan pribadi masing-masing, dilarang saling menuntut kewajiban dan dilarang melakukan kontak fisik kecuali di depan umum untuk kepentingan bisnis.3. Tidak boleh ada pihak luar yang mengetahui surat perjanjian pernikahan ini atau sanksi hukum ganti rugi berupa pelanggaran kontrak senilai 20 M diberlakukan.4. Pihak pertama akan memberikan saham PT. Janata Group senilai 25% pada pihak kedua apabila PT. Ja
Di tempat yang berbeda, Zane baru saja membersihkan seisi rumah. Rasa lelah lantas membuatnya bersantai di balkon sambil menikmati segelas es teh di gelas super jumbo. Tadinya, Zane hendak membalas pesan salah satu rekan kerjanya saat sebuah notifikasi email berdenting. Seketika itu Zane ingat pada perkataan Belle semalam, ia buru-buru membuka aplikasi emailnya dan benar saja, Belle ternyata benar-benar mengirim draft kontrak mereka yang terbaru. Dengan jemari gemetar, Zane membaca satu demi satu pasal yang telah banyak berubah isinya. Bila sebelumnya mereka terikat kontrak selama jangka waktu tiga tahun, kini Belle merubahnya menjadi satu tahun saja. Pun kini ada pembahasan tentang pembagian saham dan pasal tambahan tentang perpisahan. Dada Zane berdebar hebat kala membaca kontrak itu sekali lagi, hanya untuk memastikan jika tak ada pasal yang terlewat. Dan, semakin ia membaca, semakin Zane merasa direndahkan. Apa Belle menganggap pernikahan mereka hanya main-main? Bagaimana mungki
"Kamu takut bertemu denganku setelah kita berpisah?" Pertanyaan Zane sontak membuat Belle mendelik kesal. "Enak saja! Aku hanya nggak mau nantinya papa meminta kita rujuk. Jadi lebih baik kamu menjauhlah selama mungkin agar hidupku tenang bersama Bryan!"Mendengar nama pria itu disebut lagi, membuat Zane lantas mengangguk paham seberapa dalam cinta Belle pada Bryan. "Baiklah. Aku paham. Tapi aku tetap ingin waktu sebulan, aku berjanji tidak akan menemuimu, Belle. Aku hanya ingin tetap menjalin hubungan dengan pak Ronald." Belle memicingkan kedua matanya, mencoba mencari kejujuran dari mimik wajah Zane yang terlihat muram saat mengucapkan nama papanya. Namun, Belle tak menemukan apapun di sana selain ketulusan. Pada akhirnya, Belle mengangguk pasrah. Dia meraih lembaran surat kontrak itu dan mencoret kata yang harus direvisi kembali. "Kenapa kamu menolak kuberi saham, Zane? Kamu bisa jadi duda kaya seandainya menerima saham itu." "Karena aku tidak mengincar harta kalian." Belle m
"Mas Zane, kan?" Seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu dan menyapanya, membuat Zane mengernyit bingung. Ia mencoba mengingat-ingat, siapa perempuan muda ini. "Mas Zane, lupa sama aku?" ulang perempuan itu sembari mencebik sedih. Ekspresi ramah yang tiba-tiba berubah murung itu, tak pelak membuat Zane jadi merasa bersalah. "Maaf, sepertinya kita memang pernah bertemu, tapi saya lupa di mana," sesal Zane kikuk. Perempuan itu akhirnya menghampiri Zane dan mengulurkan tangannya dengan cepat."Sepertinya kita harus berkenalan sekali lagi. Aku Zara, putrinya Bu Bidan Hesti yang dulu sempat merawat nenek Lila." Seketika itu, kepingan-kepingan memori yang sempat teracak, kini mulai tertata dengan rapi. Ya, Zane ingat sekarang, wajah ini tak asing karena dulu sering ikut Bu Bidan Hesti ke rumah kontrakannya, untuk merawat nenek Lila yang sering kambuh. "Maaf, Zara, aku benar-benar lupa! Waktu itu kamu masih SD, kan?" "Iyalah! Dulu aku masih imut-imut. Sekarang udah amit-amit, ha
Gadis muda yang pantang menyerah. Bahkan sejak kecil, Zara selalu punya cara untuk membujuk orang lain melakukan apapun yang ia inginkan. "Maaf, Zara, kapan-kapan saja, ya?" tolak Zane halus, ia tak ingin mengecewakan Zara. "Tapi beneran, ya!? Aku boleh main-main." Zane hanya mengangguk ragu, karena ia sendiri tak paham, 'kapan-kapan' yang ia ucapkan itu entah kapan akan terlaksana. Zane merasa sungkan karena ia menganggap apartemen itu bukan miliknya, meskipun Ronald telah mengatasnamakan apartemen itu atas namanya. Menjelang sore, setelah selesai berdiskusi dengan beberapa reporter yang besok akan bertugas bersamanya, Zane akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia masih harus berbelanja kebutuhan rumah dan dapur di supermarket, tak mungkin menunggu Belle melakukan tugas itu karena ia tahu betul Belle bahkan tak bisa membedakan mana kecap dan saus. Saat sedang asyik memilah sayuran, percakapan diantara dua orang gadis belia -yang kebetulan berjalan melewatinya, membuat fokus Zane te
Belle baru saja menyelesaikan meetingnya dengan tim pemasaran ketika Josh menghampirinya dan memintanya untuk datang ke restoran langganan Ronald untuk makan malam nanti. "Aku nggak janji, Josh! Aku sudah ada acara," tolak Belle sembari terus berlalu menuju ruangannya. "Tapi, Tuan Zane juga akan datang, Nona."Langkah Belle terhenti. Pria konservatif itu akan datang juga? "Tuan Ronald pasti akan marah jika anda menolak untuk datang." "Baiklah, aku akan datang! Sampaikan saja sama Papa." Dan, setelah melewati kemacetan yang cukup parah, akhirnya Belle sampai di lokasi, di mana Ronald dan Zane sudah menunggunya. Tadinya, keduanya sedang asyik mengobrol hingga saat kedatangan Belle akhirnya membuat ekspresi wajah Zane berubah kaku, seperti biasanya. "Duduklah, Belle!" perintah Ronald sambil menunjuk kursi di sebelah menantunya. Seorang pelayanan kemudian mendekat, membantu menarik kursi dan mempersilahkan Belle untuk duduk di samping Zane. Setelah Belle menghempaskan dirinya di si
"Camera one, stand by! Camera two, take!" Teriakan demi teriakan yang di ucapkan oleh produser silih berganti terdengar. Zane mulai membiasakan diri untuk belajar di suasana kerja yang baru. Bila sebelumnya ia bebas berekspresi selama bertugas di lapangan, kini tak lagi sama ketika Zane harus bekerja di dalam studio. Semua yang ia rekam harus sesuai dengan arahan produser, bergantian dengan beberapa kameramen lain yang juga bersiaga. "Camera one, take!" teriak produser dengan lantang. Zane, yang kali ini bertugas di belakang kamera satu, mulai menyorotkan lensanya pada seorang host yang tengah membawakan acara bincang-bincang santai bersama artis-artis yang sedang naik daun. Bukan acara siaran langsung seperti yang biasa Zane rekam, acara kali ini merupakan acara taping yang dikerjakan beberapa hari sebelum tayang di televisi. Setelah kurang lebih dua jam berkutat di belakang kamera, akhirnya pekerjaannya pertamanya rampung. Zane menyerahkan hasil rekamannya ke ruang VTR lantas
Selama ini Zane berpikir bila Belle selalu menghabiskan waktunya bersama Bryan seusai pulang dari kantor. Namun, kenyataannya tak setiap malam Belle melakukan hal itu. Karena jadwal Bryan yang seringkali sibuk, Belle akhirnya menghabiskan malamnya dengan nongkrong di cafe hingga larut malam. Bukan tanpa alasan Belle melakukan hal itu, ia hanya tak suka terlalu banyak menghabiskan waktu di apartemen. Sejak tinggal bersama Zane, terkadang Belle merasa jiwanya tak lagi sama. Seperti ada sosok lain yang muncul setiap kali Belle mengobrol bersama Zane, sosok yang rapuh dan ingin Belle kubur dalam-dalam. Entahlah, padahal belum sebulan mereka saling mengenal, tetapi Zane nampaknya telah berhasil menyentuh sisi terlemah dari mental Belle yang mati-matian ia sembunyikan dari siapapun. Bahkan Bryan yang telah menjalin kasih selama tiga tahun, tak pernah tahu jika Belle memiliki phobia pada kedalaman air. Dan, Zane yang baru saja menginjakkan kakinya di hidup Belle, justru telah berhasil memba
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona