"Kamu takut bertemu denganku setelah kita berpisah?" Pertanyaan Zane sontak membuat Belle mendelik kesal. "Enak saja! Aku hanya nggak mau nantinya papa meminta kita rujuk. Jadi lebih baik kamu menjauhlah selama mungkin agar hidupku tenang bersama Bryan!"Mendengar nama pria itu disebut lagi, membuat Zane lantas mengangguk paham seberapa dalam cinta Belle pada Bryan. "Baiklah. Aku paham. Tapi aku tetap ingin waktu sebulan, aku berjanji tidak akan menemuimu, Belle. Aku hanya ingin tetap menjalin hubungan dengan pak Ronald." Belle memicingkan kedua matanya, mencoba mencari kejujuran dari mimik wajah Zane yang terlihat muram saat mengucapkan nama papanya. Namun, Belle tak menemukan apapun di sana selain ketulusan. Pada akhirnya, Belle mengangguk pasrah. Dia meraih lembaran surat kontrak itu dan mencoret kata yang harus direvisi kembali. "Kenapa kamu menolak kuberi saham, Zane? Kamu bisa jadi duda kaya seandainya menerima saham itu." "Karena aku tidak mengincar harta kalian." Belle m
"Mas Zane, kan?" Seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu dan menyapanya, membuat Zane mengernyit bingung. Ia mencoba mengingat-ingat, siapa perempuan muda ini. "Mas Zane, lupa sama aku?" ulang perempuan itu sembari mencebik sedih. Ekspresi ramah yang tiba-tiba berubah murung itu, tak pelak membuat Zane jadi merasa bersalah. "Maaf, sepertinya kita memang pernah bertemu, tapi saya lupa di mana," sesal Zane kikuk. Perempuan itu akhirnya menghampiri Zane dan mengulurkan tangannya dengan cepat."Sepertinya kita harus berkenalan sekali lagi. Aku Zara, putrinya Bu Bidan Hesti yang dulu sempat merawat nenek Lila." Seketika itu, kepingan-kepingan memori yang sempat teracak, kini mulai tertata dengan rapi. Ya, Zane ingat sekarang, wajah ini tak asing karena dulu sering ikut Bu Bidan Hesti ke rumah kontrakannya, untuk merawat nenek Lila yang sering kambuh. "Maaf, Zara, aku benar-benar lupa! Waktu itu kamu masih SD, kan?" "Iyalah! Dulu aku masih imut-imut. Sekarang udah amit-amit, ha
Gadis muda yang pantang menyerah. Bahkan sejak kecil, Zara selalu punya cara untuk membujuk orang lain melakukan apapun yang ia inginkan. "Maaf, Zara, kapan-kapan saja, ya?" tolak Zane halus, ia tak ingin mengecewakan Zara. "Tapi beneran, ya!? Aku boleh main-main." Zane hanya mengangguk ragu, karena ia sendiri tak paham, 'kapan-kapan' yang ia ucapkan itu entah kapan akan terlaksana. Zane merasa sungkan karena ia menganggap apartemen itu bukan miliknya, meskipun Ronald telah mengatasnamakan apartemen itu atas namanya. Menjelang sore, setelah selesai berdiskusi dengan beberapa reporter yang besok akan bertugas bersamanya, Zane akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia masih harus berbelanja kebutuhan rumah dan dapur di supermarket, tak mungkin menunggu Belle melakukan tugas itu karena ia tahu betul Belle bahkan tak bisa membedakan mana kecap dan saus. Saat sedang asyik memilah sayuran, percakapan diantara dua orang gadis belia -yang kebetulan berjalan melewatinya, membuat fokus Zane te
Belle baru saja menyelesaikan meetingnya dengan tim pemasaran ketika Josh menghampirinya dan memintanya untuk datang ke restoran langganan Ronald untuk makan malam nanti. "Aku nggak janji, Josh! Aku sudah ada acara," tolak Belle sembari terus berlalu menuju ruangannya. "Tapi, Tuan Zane juga akan datang, Nona."Langkah Belle terhenti. Pria konservatif itu akan datang juga? "Tuan Ronald pasti akan marah jika anda menolak untuk datang." "Baiklah, aku akan datang! Sampaikan saja sama Papa." Dan, setelah melewati kemacetan yang cukup parah, akhirnya Belle sampai di lokasi, di mana Ronald dan Zane sudah menunggunya. Tadinya, keduanya sedang asyik mengobrol hingga saat kedatangan Belle akhirnya membuat ekspresi wajah Zane berubah kaku, seperti biasanya. "Duduklah, Belle!" perintah Ronald sambil menunjuk kursi di sebelah menantunya. Seorang pelayanan kemudian mendekat, membantu menarik kursi dan mempersilahkan Belle untuk duduk di samping Zane. Setelah Belle menghempaskan dirinya di si
"Camera one, stand by! Camera two, take!" Teriakan demi teriakan yang di ucapkan oleh produser silih berganti terdengar. Zane mulai membiasakan diri untuk belajar di suasana kerja yang baru. Bila sebelumnya ia bebas berekspresi selama bertugas di lapangan, kini tak lagi sama ketika Zane harus bekerja di dalam studio. Semua yang ia rekam harus sesuai dengan arahan produser, bergantian dengan beberapa kameramen lain yang juga bersiaga. "Camera one, take!" teriak produser dengan lantang. Zane, yang kali ini bertugas di belakang kamera satu, mulai menyorotkan lensanya pada seorang host yang tengah membawakan acara bincang-bincang santai bersama artis-artis yang sedang naik daun. Bukan acara siaran langsung seperti yang biasa Zane rekam, acara kali ini merupakan acara taping yang dikerjakan beberapa hari sebelum tayang di televisi. Setelah kurang lebih dua jam berkutat di belakang kamera, akhirnya pekerjaannya pertamanya rampung. Zane menyerahkan hasil rekamannya ke ruang VTR lantas
Selama ini Zane berpikir bila Belle selalu menghabiskan waktunya bersama Bryan seusai pulang dari kantor. Namun, kenyataannya tak setiap malam Belle melakukan hal itu. Karena jadwal Bryan yang seringkali sibuk, Belle akhirnya menghabiskan malamnya dengan nongkrong di cafe hingga larut malam. Bukan tanpa alasan Belle melakukan hal itu, ia hanya tak suka terlalu banyak menghabiskan waktu di apartemen. Sejak tinggal bersama Zane, terkadang Belle merasa jiwanya tak lagi sama. Seperti ada sosok lain yang muncul setiap kali Belle mengobrol bersama Zane, sosok yang rapuh dan ingin Belle kubur dalam-dalam. Entahlah, padahal belum sebulan mereka saling mengenal, tetapi Zane nampaknya telah berhasil menyentuh sisi terlemah dari mental Belle yang mati-matian ia sembunyikan dari siapapun. Bahkan Bryan yang telah menjalin kasih selama tiga tahun, tak pernah tahu jika Belle memiliki phobia pada kedalaman air. Dan, Zane yang baru saja menginjakkan kakinya di hidup Belle, justru telah berhasil memba
"Brengsek!" umpat Belle kesal setelah Zane menghilang di balik pintu. Memangnya siapa yang berkuasa di apartemen ini? Kenapa justru Zane yang memaksanya melakukan apa yang pria itu inginkan! Menjaga nama baik? Menjaga kesehatan Papa? Tanpa perlu diingatkan oleh Zane, Belle sudah tahu batasannya. Itulah mengapa ia tak pernah mau berkencan di tempat umum bersama Bryan, kecuali di cafe Jeremy. Dulu, ia merahasiakan hubungannya dan Bryan demi popularitas pria itu. Dan sekarang pun, ia masih harus merahasiakan hubungan mereka karena pernikahan sialan ini! Sambil terus menggerutu, Belle mengayunkan langkahnya ke dapur. Berteriak membuat tenggorokannya kering, pun dadanya berdebar kencang tak terkontrol. Usai meneguk segelas air, Belle menatap nanar ke dalam kulkas yang penuh terisi bahan makanan. Apakah Zane yang membelinya? Padahal kemarin lusa Belle tak menemukan sayuran di dalam kulkas itu. Mengingat Zane sangat suka memasak, bisa jadi memang dia yang membeli bahan-bahan masakan itu
"Kita mau ke mana, Josh?" Josh sekilas melirik sang majikan dari kaca spion dan berujar, "tentu saja ke lokasi club itu diadakan pekan ini, Nona.""Aku juga tahu! Tapi kenapa kamu malah ke luar dari kota." "Karena lokasinya ada di pedesaan yang tenang. Dua hari ini kegiatannya di sana." Belle menghembuskan napasnya panjang, ia menoleh pada Zane yang bergeming dan malah menikmati pemandangan di luar jendela. Ingin rasanya Belle memprotes, tetapi ia tak bisa berkutik karena masih kesal pada Zane. Tak lama, mobil pun masuk ke sebuah halaman yang luas dengan bangunan besar di tengah-tengahnya. Sudah ada beberapa mobil lain terparkir di sana. Sepertinya Belle dan Zane adalah peserta terakhir yang datang. Josh lebih dulu masuk ke bangunan itu, diikuti oleh Zane dan kemudian Belle yang berjalan dengan malas di barisan belakang. Josh nampak berbincang dengan seseorang di depan pintu, kemudian orang itu tersenyum pada Zane. "Selamat datang, Suami Hebat! Mari kita isi daftar hadir dulu!"