"Selamat datang kembali untuk kalian semua, Pasangan Penuh Cinta!" Trias menyambut kembali semua pasutri yang sudah duduk di kursi masing-masing. "Bagaimana kegiatan hati ini? Berkesan sekali, bukan? Ini baru hari pertama! Hari-hari berikutnya pasti lebih seru!" Hampir semua pasutri bertepuk tangan dengan antusias. Belle dan Zane saling tatap dan akhirnya ikut bertepuk tangan dengan canggung. "Sebelum saya meminta kalian untuk maju dan menceritakan kembali momen berkesan kalian, terlebih dahulu silahkan kalian memotong jawaban dari pertanyaan nomor enam, dan masukkan ke dalam amplop kecil yang ada di scrapbook." Trias memberi instruksi pada seluruh pasangan. Mereka pun mulai menggunting jawaban dari pertanyaan terakhir dan melipatnya. "Jangan tunjukkan jawaban kalian pada pasangan! Ingat, soal nomor terakhir adalah rahasia yang baru bisa kalian buka jika pertanyaan tersebut terjadi di kehidupan kalian. Tapi amit-amit, ya! Jangan sampai kejadian!" seru Trias dengan serius. "Baiklah
Debaran hangat yang sesaat lalu sempat Belle rasakan, kini berganti gemuruh kencang saat sepasang suami istri yang lain kini maju menggantikannya. Tatapan Belle terus tertuju tajam pada sosok pria yang berjalan sambil menggandeng tangan pasangannya. Tidak, Belle tidak salah lihat. Pria itu adalah Jeremi, sahabat Bryan!"Damn!" desis Belle sembari menunduk dan menutupi wajahnya dengan rambut. Namun, sesaat kemudian Belle tersadar, percuma ia bersembunyi karena Jeremi pasti sudah melihat kemesraannya dengan Zane tadi. Sial sekali, mengapa Jeremi harus ikut club ini juga! "Kamu mengenal mereka?" tanya Zane lirih sembari mendekat ke telinga istrinya. Dari cara Belle menatap pasutri itu, terlihat jelas jika Belle tak nyaman dan gelisah. Dengan cepat, Belle menggeleng. Namun, beberapa detik kemudian ia mengangguk ragu. Entah, Belle sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan pada Zane tentang status Jeremi! "Jadi, kamu mengenalnya atau tidak?" "Nggak! Aku nggak kenal mereka!" tukas B
"Zara?" cicit Zane heran, sesaat setelah ia berbalik dan mendapati sosok perempuan muda yang beberapa hari ini selalu mengekor padanya di kantor. "Ngapain kamu di sini?" tanya Zane bingung. Zara lantas mengangkat paperbag yang ia jinjing dan menunjukkan tas itu pada Zane. "Aku habis dari kantor barusan! Mbak Lintang minta tolong sama aku buat standby selama Mas Zane libur.""Jadi kamu yang gantikan aku selama aku dikasi libur?" Zane bertanya lagi dengan iba, dan dengan mantap, Zara menganggukkan kepalanya. Kebijakan baru yang ia dapatkan setelah menikah, nampak tak adil bagi sebagian karyawan seperti Zara. Di saat karyawan lain harus tetap standby di kala weekend, Zane justru mendapat jatah libur. "Kamu sudah makan? Aku traktir makan siang, mau?" tawar Zane sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen. "Mau, mau, mau!! Kebetulan aku juga udah laper, sih!" kekeh Zara girang. Dan setelah berdiskusi singkat untuk memilih tempat makan, akhirnya keduanya memutuskan untuk
Sejak memutuskan untuk menikah dengan Zane, beberapa kali Belle mendengar selentingan di kalangan para pebisnis di sekitarnya tentang sosok suaminya yang dianggap sangat beruntung bisa menikah dengan putri tunggal konglomerat. Belle yang selalu menjaga image dan personal branding dengan sangat baik, mulai terusik ketika seleranya tentang pria banyak dipertanyakan. Banyak yang kecewa, mengapa Belle justru menikah dengan pria dari kalangan biasa dan bukan pebisnis handal seperti Ronald. Meskipun awalnya orang-orang mengagumi sosok Zane yang tampan dan berkharisma, tetapi celotehan-celotehan negatif tetap tak bisa dihindari. Meskipun sempat syok pada awalnya, tetapi akhirnya Belle memilih untuk tak peduli. Baginya, penilaian Bryan sudah lebih dari cukup. Ia tak butuh dianggap baik oleh orang banyak. Yang terpenting baginya adalah Bryan percaya dan tetap mencintainya. Namun, sejak melihat Jeremi berada di club yang sama, Belle merasa dunianya nyaris hancur. Jeremi adalah sahabat baik Br
Akhir pekan yang romantis dan intimate, pada akhirnya harus berakhir ketika hari berganti senin. Belle kembali dingin dan bersikap acuh pada Zane, seakan pria itu tak ada dihadapannya. Setiap pagi, Zane akan menyiram bibit pohon Tabebuya yang masih rata dengan tanah. Kegiatannya bertambah sejak memilikinya. "Jangan lupa, ajak tanaman kita mengobrol setiap hari. Anggaplah ia sebagai makhluk hidup yang akan merespon setiap rayuan yang kita ucapkan padanya." Perkataan Trias kembali terngiang, Zane tersenyum samar dengan tatapan yang masih tertuju pada permukaan tanah yang baru saja ia sirami. "Selamat pagi. Semoga kamu cepat tumbuh dan besar. Aku akan merawatmu dengan baik, jangan khawatir!" Zane tak pandai merayu, ia juga tak suka basa-basi. Bahkan berbicara dengan bibit pohon saja sudah membuatnya salting bukan main. Sebelum akhirnya meninggalkan kawan barunya itu pergi, Zane lebih dulu memindahnya ke dekat jendela agar sinar matahari bisa menyinarinya. Belle sudah berangkat beb
Beberapa hari sebelum family gathering itu dimulai, Belle baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering tiada henti. Ia merogoh gawai canggih keluaran terbaru di dalam tas sembari berjalan menuju kursinya. Ketika sebaris nama yang ia tunggu muncul di layar, senyumnya merekah lebar. "Hai, Bryan!""Beb, maaf. Kemarin aku super sibuk sampai nggak sempat pegang hape sama sekali. Huft!" keluh Bryan diujung sana. "Apa kamu sudah di kantor?" "Iya, ini baru sampai." Belle meletakkan tasnya di meja dan menghempaskan pantatnya di kursi. "Apa hari ini kamu nggak sibuk?""Sebenarnya masih, sih! Tapi kesibukanku dimulai nanti setelah jam dua belas siang. I miss you, Belle," decit Bryan sendu."I miss you too, Bryan. Betewe, apa kamu sudah membaca pesanku? Aku butuh nomer Jeremy.""Untuk apa?""Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama dia. Bisa kirimi aku nomornya?" sela Belle cepat. "Baik, aku kirim sebentar lagi. I miss you so much, Belle!" Sekali lagi, Bryan menegaskan perasaannya. "Sep
"Tanya apa?" Belle mengalihkan tatapannya pada Zane yang masih berdiri tak jauh dari ranjang. "Mau tanya soal Bryan?" tebaknya. Zane mengangguk samar. Sebenarnya tanpa bertanya pun, Zane sudah tahu jawabannya. Hanya saja, dia ingin memastikan kembali dan terus menyangkal perasaannya sendiri. "Kamu sudah tahu sebelumnya?" ulang Zane getir. Sambil tersenyum penuh misteri, Belle lantas berdiri dan menghampiri Zane. Ia berjalan memutari tubuh jangkung suaminya itu dengan langkah perlahan. "Iya, kamu benar, Zane. Aku sudah tahu kalo Bryan akan mengisi acara di ulang tahun kantormu," ucap Belle santai tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Bukan salahku kalo akhirnya kami bertemu di sini? Kan, kamu yang mengajakku!"Zane mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ia akui dirinya memang ceroboh, tak membaca rundown acara secara lengkap. "Jadi, mari kita nikmati akhir pekan kali ini, Zane! Jangan khawatir, aku akan bermain cantik tanpa ketahuan siapapun!" "Jangan macam-macam!" Zane mencekal l
*Lampiran foto dikirim. [Inikah suamimu?] Belle yang tadinya tersenyum saat mendapat pesan dari Bryan, sontak merengut ketika mendapati foto Zane dikirim oleh kekasihnya itu. Dengan ogah-ogahan, Belle membalas pesan itu sesingkat mungkin, lantas kembali merebahkan dirinya di ranjang yang empuk dan lebar. Tak begitu lama, ponselnya kembali berdenting dan dengan cepat Belle membukanya. [Ayo, bertemu di restoran. Sebentar lagi jadwalku kosong sampai nanti malam. Kita makan bareng di meja bersebelahan, mau?] Belle buru-buru bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Ia memoles kembali make up-nya, menyisir rambut panjangnya lantas mengganti pakaian santainya. Belle ingin tampil cantik setelah seminggu lebih tak bisa bertemu dengan Bryan. Nyatanya, Zane justru datang dan mengacaukan rencana mereka. Bryan yang tadinya hendak duduk di kursi di sebelah Belle, pada akhirnya memilih untuk duduk di dalam restoran, di kursi yang menghadap ke arah kekasihnya. Sambil berbalas pesan, keduanya teru