Sejak memutuskan untuk menikah dengan Zane, beberapa kali Belle mendengar selentingan di kalangan para pebisnis di sekitarnya tentang sosok suaminya yang dianggap sangat beruntung bisa menikah dengan putri tunggal konglomerat. Belle yang selalu menjaga image dan personal branding dengan sangat baik, mulai terusik ketika seleranya tentang pria banyak dipertanyakan. Banyak yang kecewa, mengapa Belle justru menikah dengan pria dari kalangan biasa dan bukan pebisnis handal seperti Ronald. Meskipun awalnya orang-orang mengagumi sosok Zane yang tampan dan berkharisma, tetapi celotehan-celotehan negatif tetap tak bisa dihindari. Meskipun sempat syok pada awalnya, tetapi akhirnya Belle memilih untuk tak peduli. Baginya, penilaian Bryan sudah lebih dari cukup. Ia tak butuh dianggap baik oleh orang banyak. Yang terpenting baginya adalah Bryan percaya dan tetap mencintainya. Namun, sejak melihat Jeremi berada di club yang sama, Belle merasa dunianya nyaris hancur. Jeremi adalah sahabat baik Br
Akhir pekan yang romantis dan intimate, pada akhirnya harus berakhir ketika hari berganti senin. Belle kembali dingin dan bersikap acuh pada Zane, seakan pria itu tak ada dihadapannya. Setiap pagi, Zane akan menyiram bibit pohon Tabebuya yang masih rata dengan tanah. Kegiatannya bertambah sejak memilikinya. "Jangan lupa, ajak tanaman kita mengobrol setiap hari. Anggaplah ia sebagai makhluk hidup yang akan merespon setiap rayuan yang kita ucapkan padanya." Perkataan Trias kembali terngiang, Zane tersenyum samar dengan tatapan yang masih tertuju pada permukaan tanah yang baru saja ia sirami. "Selamat pagi. Semoga kamu cepat tumbuh dan besar. Aku akan merawatmu dengan baik, jangan khawatir!" Zane tak pandai merayu, ia juga tak suka basa-basi. Bahkan berbicara dengan bibit pohon saja sudah membuatnya salting bukan main. Sebelum akhirnya meninggalkan kawan barunya itu pergi, Zane lebih dulu memindahnya ke dekat jendela agar sinar matahari bisa menyinarinya. Belle sudah berangkat beb
Beberapa hari sebelum family gathering itu dimulai, Belle baru saja tiba di kantor ketika ponselnya berdering tiada henti. Ia merogoh gawai canggih keluaran terbaru di dalam tas sembari berjalan menuju kursinya. Ketika sebaris nama yang ia tunggu muncul di layar, senyumnya merekah lebar. "Hai, Bryan!""Beb, maaf. Kemarin aku super sibuk sampai nggak sempat pegang hape sama sekali. Huft!" keluh Bryan diujung sana. "Apa kamu sudah di kantor?" "Iya, ini baru sampai." Belle meletakkan tasnya di meja dan menghempaskan pantatnya di kursi. "Apa hari ini kamu nggak sibuk?""Sebenarnya masih, sih! Tapi kesibukanku dimulai nanti setelah jam dua belas siang. I miss you, Belle," decit Bryan sendu."I miss you too, Bryan. Betewe, apa kamu sudah membaca pesanku? Aku butuh nomer Jeremy.""Untuk apa?""Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama dia. Bisa kirimi aku nomornya?" sela Belle cepat. "Baik, aku kirim sebentar lagi. I miss you so much, Belle!" Sekali lagi, Bryan menegaskan perasaannya. "Sep
"Tanya apa?" Belle mengalihkan tatapannya pada Zane yang masih berdiri tak jauh dari ranjang. "Mau tanya soal Bryan?" tebaknya. Zane mengangguk samar. Sebenarnya tanpa bertanya pun, Zane sudah tahu jawabannya. Hanya saja, dia ingin memastikan kembali dan terus menyangkal perasaannya sendiri. "Kamu sudah tahu sebelumnya?" ulang Zane getir. Sambil tersenyum penuh misteri, Belle lantas berdiri dan menghampiri Zane. Ia berjalan memutari tubuh jangkung suaminya itu dengan langkah perlahan. "Iya, kamu benar, Zane. Aku sudah tahu kalo Bryan akan mengisi acara di ulang tahun kantormu," ucap Belle santai tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Bukan salahku kalo akhirnya kami bertemu di sini? Kan, kamu yang mengajakku!"Zane mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ia akui dirinya memang ceroboh, tak membaca rundown acara secara lengkap. "Jadi, mari kita nikmati akhir pekan kali ini, Zane! Jangan khawatir, aku akan bermain cantik tanpa ketahuan siapapun!" "Jangan macam-macam!" Zane mencekal l
*Lampiran foto dikirim. [Inikah suamimu?] Belle yang tadinya tersenyum saat mendapat pesan dari Bryan, sontak merengut ketika mendapati foto Zane dikirim oleh kekasihnya itu. Dengan ogah-ogahan, Belle membalas pesan itu sesingkat mungkin, lantas kembali merebahkan dirinya di ranjang yang empuk dan lebar. Tak begitu lama, ponselnya kembali berdenting dan dengan cepat Belle membukanya. [Ayo, bertemu di restoran. Sebentar lagi jadwalku kosong sampai nanti malam. Kita makan bareng di meja bersebelahan, mau?] Belle buru-buru bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Ia memoles kembali make up-nya, menyisir rambut panjangnya lantas mengganti pakaian santainya. Belle ingin tampil cantik setelah seminggu lebih tak bisa bertemu dengan Bryan. Nyatanya, Zane justru datang dan mengacaukan rencana mereka. Bryan yang tadinya hendak duduk di kursi di sebelah Belle, pada akhirnya memilih untuk duduk di dalam restoran, di kursi yang menghadap ke arah kekasihnya. Sambil berbalas pesan, keduanya teru
Bukan tanpa alasan Zane bersikeras untuk ikut lomba berhadiah ponsel canggih itu. Harganya yang mahal, membuat Zane harus berpikir ulang untuk merogoh uang tabungannya. Namun, disisi lain, ia tak ingin Belle merasa malu ketika sedang bersamanya yang terlampau sederhana. Itulah mengapa, ketika ada kesempatan untuk mendapatkan ponsel berkamera tiga itu secara gratis, Zane tak menyia-nyiakannya begitu saja. "Ayo, Mas Zane!" teriakan Zara semakin kencang ketika beberapa langkah lagi, mereka akan sampai di garis finish. Balon yang tadinya tertahan di atas pantat Zane, perlahan bergeser sedikit demi sedikit ketika Zara melepas gamitan tangannya. Tentu saja Zane yang menyadari bila balon itu hampir lepas, sontak menarik Zara agar berlari lebih cepat. Nahas, satu langkah menuju finish, balon itu terlepas dan jatuh di sisi kanan. "Yaaaah ..." desis Zara kecewa, napasnya masih naik turun karena lelah. "Yeaah! Pak Seno dan Istri adalah pasangan pertama yang berhasil sampai di garis finis
Karena acara masih berlanjut dan Zane harus merekamnya untuk dokumentasi, terpaksa ia mengesampingkan amarahnya pada Belle. Dengan profesional, Zane berdiri di belakang kamera yang sedang menyorot pada Bryan yang tengah bernyanyi. Meskipun rasanya isi dadanya hampir meledak, tetapi Zane menahannya sekuat tenaga. Sementara Bryan bernyanyi, Belle menyaksikan kekasihnya itu dari kejauhan. Sesekali Belle memperhatikan Zane yang sibuk menyorot setiap momen untuk dokumentasi. Melihat Zane memegang kamera besar itu, entah mengapa membuat Belle merasa sesuatu yang aneh menjalar di dalam dadanya. Zane terlihat lebih keren, dan Belle benci mengakui hal itu!!Belle tak tahu, jika Zane juga sedang mengawasinya sesekali. Senyuman yang tersungging di wajahnya untuk Bryan, diam-diam membuat Zane semakin terluka. Beginikah rasanya dimanfaatkan? Sesakit inikah rasanya berpura-pura bahagia di depan banyak orang? "Mas Zane, aku udah selesai nge-record bagian dalam. Lalu apa lagi tugasku?" Zara tiba
[Jangan lupa pakai gaun putih. Aku punya kejutan untukmu.] Belle mematut pantulan dirinya di cermin. Pesan dari Bryan tadi siang membuatnya terpaksa menutupi gaun hitamnya dengan blazer putih. Karena Belle hanya membawa satu gaun yang merupakan dresscode di acara puncak pesta malam ini, alhasil ia kesulitan mendapatkan gaun putih. Zane sudah siap sejak setengah jam yang lalu dan sudah turun lebih dulu. Ia memberikan undangan pada Belle, sebagai tanda masuk yang akan menunjukkan nomor kursinya. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Belle lantas bergegas turun karena acara akan dimulai sepuluh menit lagi. Sambil mengenakan gaun halterneck berbahan satin dengan aksen payet manik-manik di sepanjang leher, Belle terlihat sangat mempesona. Punggung yang tadinya hendak ia pamerkan, terpaksa ia tutupi dengan blazer putih sesuai permintaan Bryan. Masuk ke dalam gedung yang merupakan lokasi utama pesta Anniversary Oke Chanel, Belle lantas diantar oleh seorang petugas menuju ke kursiny