Karena acara masih berlanjut dan Zane harus merekamnya untuk dokumentasi, terpaksa ia mengesampingkan amarahnya pada Belle. Dengan profesional, Zane berdiri di belakang kamera yang sedang menyorot pada Bryan yang tengah bernyanyi. Meskipun rasanya isi dadanya hampir meledak, tetapi Zane menahannya sekuat tenaga. Sementara Bryan bernyanyi, Belle menyaksikan kekasihnya itu dari kejauhan. Sesekali Belle memperhatikan Zane yang sibuk menyorot setiap momen untuk dokumentasi. Melihat Zane memegang kamera besar itu, entah mengapa membuat Belle merasa sesuatu yang aneh menjalar di dalam dadanya. Zane terlihat lebih keren, dan Belle benci mengakui hal itu!!Belle tak tahu, jika Zane juga sedang mengawasinya sesekali. Senyuman yang tersungging di wajahnya untuk Bryan, diam-diam membuat Zane semakin terluka. Beginikah rasanya dimanfaatkan? Sesakit inikah rasanya berpura-pura bahagia di depan banyak orang? "Mas Zane, aku udah selesai nge-record bagian dalam. Lalu apa lagi tugasku?" Zara tiba
[Jangan lupa pakai gaun putih. Aku punya kejutan untukmu.] Belle mematut pantulan dirinya di cermin. Pesan dari Bryan tadi siang membuatnya terpaksa menutupi gaun hitamnya dengan blazer putih. Karena Belle hanya membawa satu gaun yang merupakan dresscode di acara puncak pesta malam ini, alhasil ia kesulitan mendapatkan gaun putih. Zane sudah siap sejak setengah jam yang lalu dan sudah turun lebih dulu. Ia memberikan undangan pada Belle, sebagai tanda masuk yang akan menunjukkan nomor kursinya. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Belle lantas bergegas turun karena acara akan dimulai sepuluh menit lagi. Sambil mengenakan gaun halterneck berbahan satin dengan aksen payet manik-manik di sepanjang leher, Belle terlihat sangat mempesona. Punggung yang tadinya hendak ia pamerkan, terpaksa ia tutupi dengan blazer putih sesuai permintaan Bryan. Masuk ke dalam gedung yang merupakan lokasi utama pesta Anniversary Oke Chanel, Belle lantas diantar oleh seorang petugas menuju ke kursiny
Tepat jam satu dini hari, Zane akhirnya bisa kembali ke kamarnya dan beristirahat. Sebenarnya jam sebelas tadi acara sudah selesai, hanya saja Zane masih tertahan karena harus menyimpan data dan berkoordinasi dengan editor. Masuk ke dalam kamar, Belle rupanya sudah tidur dan meringkuk di bawah selimut. Sekelebat bayangan saat Belle dan Bryan saling menatap mesra di atas panggung tadi, melintas di ingatan Zane. Pun ketika Bryan menindih Belle dan menciumnya dengan panas tadi siang, kembali terbayang. Zane menghembuskan napasnya resah dan mengendurkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Panas yang bersumber dari hatinya, menjalar ke seluruh nadi dan lapisan kulit. Dengan kasar, Zane melempar jas yang ia kenakan dan beringsut naik ke atas ranjang. Gerakan itu membuat Belle yang baru saja terlelap, sontak membuka mata karena terkejut. Ia semakin mendelik ketika melihat Zane merangkak menghampirinya. Spontan Belle menarik selimut hingga menutupi kepalanya. "Apa yang kamu lakukan, Za
Semalam setelah pertengkaran sengit itu, Zane memutuskan untuk menjauh dari Belle. Dengan alasan 'sadar diri', Zane mulai membatasi perhatian dan rasa pedulinya pada sosok wanita yang sebulanan ini terikat dengannya. Zane sudah membulatkan niat, ia tak akan lagi terjebak pada pesona Belle dan bertekuk lutut seperti Bryan. Toh, hubungan mereka akan berakhir dalam waktu setahun ke depan. Sejak masuk ke dalam mobil hingga sampai di apartemen, tak sekalipun Zane menggubris Belle yang terlihat kerepotan membawa travelbag-nya. Pun hingga keduanya berpisah di kamar masing-masing, Zane masih belum bisa melampiaskan rasa jengkel di hatinya. Tak ingin berlarut-larut, Zane lantas memutuskan untuk berolahraga dan membuang hormon kortisol yang mengendap berhari-hari di dalam tubuhnya. Setidaknya dengan berolahraga, hormon endorfin yang melimpah akan menekan dan mengurangi jumlah hormon kortisol si biang amarah. Puas berlari mengelilingi kompleks apartemen hingga sejauh 2 kilometer, Zane memutu
Tiga hari didiamkan oleh Zane pasca kejadian di malam itu, Belle nyaris oleng dan kelabakan sendiri. Padahal, dirinya yang meminta Zane untuk sadar diri, dialah yang sejak awal menginginkan hidup selayaknya dua orang asing. Namun, justru sekarang Belle merasa gila sendiri karena diamnya Zane seakan mempertegas jarak dan status keduanya. Kegalauan Belle bukan tanpa alasan, beberapa hari ini Bryan juga tak bisa dihubungi seperti biasanya. Kesibukan Bryan telah kembali dan membuat Belle semakin haus perhatian. Di meja makan, Belle menatap lurus pada pintu kamar Zane yang terus tertutup sejak suaminya itu pulang dari kantornya. Zane pulang terlambat dan beringsut masuk tanpa menyapa Belle yang sedang menyantap buah di meja makan. "Dia kenapa, sih!" dengus Belle heran. Terbayang lagi momen ketika Zane hampir saja menjamahnya di malam itu. Hembusan napas Zane yang beraroma mint dan kopi, juga aroma parfumnya yang bercampur dengan keringat, masih bisa Belle ingat dengan sangat jelas. Ny
Terbangun dengan mood yang positif rupanya berpengaruh banyak pada ekspresi wajah Zane di pagi hari ini. Bibirnya tiada henti menyunggingkan senyuman sampai-sampai ia tak mengenali sosok pria yang sedang menatapnya didepan cermin. Belum berangkat saja, hatinya sudah berbunga-bunga membayangkan akan semobil dengan Belle menuju makam nenek Lila. Sejak menikah, momen inilah yang Zane nanti-nantikan. "Zane, kamu sudah siap?" Teriakan Belle di luar kamar, tak pelak menyadarkan Zane dari lamunan. Ia bergegas merapikan sisir ke dalam laci dan menyandang waistbag-nya di bahu. Dengan senyuman yang masih melekat di wajah, Zane membuka pintu dan --"Taraaaa! Bagaimana menurutmu penampilanku?" Zane tertegun, tatapannya menelisik penampilan Belle dari ujung kaki sampai ujung rambut. Alih-alih berpakaian sederhana, Belle justru terlihat seperti hendak mendatangi pesta!"Belle, sepertinya pakaianmu terlalu berlebihan," protes Zane tak nyaman. Sambil menyatukan alis, Belle menundukkan kepala dan
Puluhan bahkan mungkin seratus lebih makam berjajar di dalam komplek pemakaman sederhana, di desa itu. Karena masih jam 10 pagi dan bertepatan dengan hari kamis, hanya ada beberapa orang yang mengunjungi makam kerabat masing-masing. Zane membawa Belle ke sisi barat, di sana terdapat sebuah makam dengan nisan terbuat dari batu marmer berwarna abu-abu. Nama dan tanggal wafat di nisan itu, membuat Belle yakin bila mereka berdua telah sampai di makam nenek Lila. Dengan perlahan, Zane melepas genggaman tangannya dan berjongkok di sisi makam. Belle pun melakukan hal serupa dan berjongkok di sisi lainnya. Mereka sama-sama berdoa sembari memejamkan mata. Belle bahkan bisa mendengar dengan sangat jelas, betapa merdunya suara Zane saat sedang melantunkan ayat-ayat doa. Diam-diam Belle mengintip dari salah satu matanya dan kembali memejamkan mata ketika Zane begitu khusyuk membacakan doa-doa. "Belle.“ "Hm." Belle sontak membuka mata dan mendapati Zane tengah memandangnya dengan mata memerah.
Mumpung berada di desa, Zane membawa Belle berkeliling dan mengunjungi rumahnya yang lama. Bangunan itu kini tak lagi terurus sejak Zane dan nenek Lila memutuskan pindah ke kota. Apalagi setelah nenek Lila meninggal, Zane seakan tak mau lagi melihat rumah masa kecilnya itu karena di sana tersimpan banyak kenangan. "Sayang sekali, ya! Coba direhab aja, Zane, anggap aja kamu punya vila.""Tidak mau. Aku tidak mau lagi tinggal di situ," tolak Zane mentah-mentah. "Tapi rumah itu adalah satu-satunya kenanganmu dan nenek Lila. Harusnya kamu--""Di rumah itu juga aku dibuang, Belle. Jadi lebih baik aku melupakan kenangan-kenangan itu." Zane menatap lurus ke depan, seakan rumah lusuh itu tak lagi nampak. "Kita ke rumah Bu Bidan sekarang," putus Zane dingin sembari menurunkan hand rem dan kembali melajukan mobil. Sementara Belle, membeku syok mendengar kata 'dibuang' yang baru saja Zane ucapkan. Ia melirik suaminya itu dengan perasaan campur aduk. Betapa banyak cerita mengejutkan yang ia