Tiga hari didiamkan oleh Zane pasca kejadian di malam itu, Belle nyaris oleng dan kelabakan sendiri. Padahal, dirinya yang meminta Zane untuk sadar diri, dialah yang sejak awal menginginkan hidup selayaknya dua orang asing. Namun, justru sekarang Belle merasa gila sendiri karena diamnya Zane seakan mempertegas jarak dan status keduanya. Kegalauan Belle bukan tanpa alasan, beberapa hari ini Bryan juga tak bisa dihubungi seperti biasanya. Kesibukan Bryan telah kembali dan membuat Belle semakin haus perhatian. Di meja makan, Belle menatap lurus pada pintu kamar Zane yang terus tertutup sejak suaminya itu pulang dari kantornya. Zane pulang terlambat dan beringsut masuk tanpa menyapa Belle yang sedang menyantap buah di meja makan. "Dia kenapa, sih!" dengus Belle heran. Terbayang lagi momen ketika Zane hampir saja menjamahnya di malam itu. Hembusan napas Zane yang beraroma mint dan kopi, juga aroma parfumnya yang bercampur dengan keringat, masih bisa Belle ingat dengan sangat jelas. Ny
Terbangun dengan mood yang positif rupanya berpengaruh banyak pada ekspresi wajah Zane di pagi hari ini. Bibirnya tiada henti menyunggingkan senyuman sampai-sampai ia tak mengenali sosok pria yang sedang menatapnya didepan cermin. Belum berangkat saja, hatinya sudah berbunga-bunga membayangkan akan semobil dengan Belle menuju makam nenek Lila. Sejak menikah, momen inilah yang Zane nanti-nantikan. "Zane, kamu sudah siap?" Teriakan Belle di luar kamar, tak pelak menyadarkan Zane dari lamunan. Ia bergegas merapikan sisir ke dalam laci dan menyandang waistbag-nya di bahu. Dengan senyuman yang masih melekat di wajah, Zane membuka pintu dan --"Taraaaa! Bagaimana menurutmu penampilanku?" Zane tertegun, tatapannya menelisik penampilan Belle dari ujung kaki sampai ujung rambut. Alih-alih berpakaian sederhana, Belle justru terlihat seperti hendak mendatangi pesta!"Belle, sepertinya pakaianmu terlalu berlebihan," protes Zane tak nyaman. Sambil menyatukan alis, Belle menundukkan kepala dan
Puluhan bahkan mungkin seratus lebih makam berjajar di dalam komplek pemakaman sederhana, di desa itu. Karena masih jam 10 pagi dan bertepatan dengan hari kamis, hanya ada beberapa orang yang mengunjungi makam kerabat masing-masing. Zane membawa Belle ke sisi barat, di sana terdapat sebuah makam dengan nisan terbuat dari batu marmer berwarna abu-abu. Nama dan tanggal wafat di nisan itu, membuat Belle yakin bila mereka berdua telah sampai di makam nenek Lila. Dengan perlahan, Zane melepas genggaman tangannya dan berjongkok di sisi makam. Belle pun melakukan hal serupa dan berjongkok di sisi lainnya. Mereka sama-sama berdoa sembari memejamkan mata. Belle bahkan bisa mendengar dengan sangat jelas, betapa merdunya suara Zane saat sedang melantunkan ayat-ayat doa. Diam-diam Belle mengintip dari salah satu matanya dan kembali memejamkan mata ketika Zane begitu khusyuk membacakan doa-doa. "Belle.“ "Hm." Belle sontak membuka mata dan mendapati Zane tengah memandangnya dengan mata memerah.
Mumpung berada di desa, Zane membawa Belle berkeliling dan mengunjungi rumahnya yang lama. Bangunan itu kini tak lagi terurus sejak Zane dan nenek Lila memutuskan pindah ke kota. Apalagi setelah nenek Lila meninggal, Zane seakan tak mau lagi melihat rumah masa kecilnya itu karena di sana tersimpan banyak kenangan. "Sayang sekali, ya! Coba direhab aja, Zane, anggap aja kamu punya vila.""Tidak mau. Aku tidak mau lagi tinggal di situ," tolak Zane mentah-mentah. "Tapi rumah itu adalah satu-satunya kenanganmu dan nenek Lila. Harusnya kamu--""Di rumah itu juga aku dibuang, Belle. Jadi lebih baik aku melupakan kenangan-kenangan itu." Zane menatap lurus ke depan, seakan rumah lusuh itu tak lagi nampak. "Kita ke rumah Bu Bidan sekarang," putus Zane dingin sembari menurunkan hand rem dan kembali melajukan mobil. Sementara Belle, membeku syok mendengar kata 'dibuang' yang baru saja Zane ucapkan. Ia melirik suaminya itu dengan perasaan campur aduk. Betapa banyak cerita mengejutkan yang ia
Tak ada satupun pesan yang dibaca oleh Bryan, juga telepon tak aktif sejak pulang dari acara di puncak, adalah kegalauan Belle yang kemudian membuatnya oleng dan selalu mencari perhatian pada Zane. Tadinya, Belle pikir Bryan sedang sibuk rekaman atau roadshow hingga ponselnya disita oleh manajernya. Namun ternyata, melihat kekasihnya itu tiba-tiba muncul dan rela mengantarkan Zara jauh-jauh dari kota ke desa, siapa yang tak terkejut? Zane juga tak kalah syoknya, ia tak pernah mengira jika Zara ternyata mengenal sosok pria yang sangat ia benci. Bahkan mungkin sudah lebih dari sekedar mengenal, karena nyatanya dia rela menyisihkan harinya yang sibuk demi mengantarkan Zara pulang. "Bryan." Suara lirih Belle yang terdengar penuh perasaan, membuat Zane menoleh pada istrinya itu. Ia tahu, mungkin Belle cemburu melihat Bryan bersama Zara. Namun, Zane juga cemburu melihat Belle sanggup menatap pria itu dengan begitu hangat dan mesra. Perlahan, Zane melepas tautan jemarinya, tetapi Belle ju
"Zara, tunggu!" Di lorong menuju departemen kamera, Zane baru saja keluar dari lift ketika ia kemudian melihat Zara melewatinya tanpa menyapanya seperti biasa. Zara yang ramah, seakan menjelma menjadi sosok asing."Zara!" Sekali lagi, Zane memanggil perempuan muda yang semakin kencang berlari, tentu saja untuk menghindar. Saat kemudian Zane berhasil menangkap lengan Zara, ia menarik rekannya itu ke sebuah ruangan kosong dan mengunci pintunya. Wajah Zara yang pucat, juga tatapan matanya yang seakan menghindari tatapan Zane, seakan memperjelas dugaan yang sejak kemarin Zane pikirkan. "Ada apa, Zara? Kenapa kamu malah menghindari aku? Dan, sejak kapan kamu kenal dengan Bryan? Apa kalian diam-diam memiliki hubungan?" cerca Zane bertubi-tubi dengan pertanyaan yang butuh jawaban secepatnya. Namun, Zara bungkam. Ia memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan Zane yang tajam menyelidik. "Zara, kenapa diam? Ada apa sebenarnya dengan kamu?" "Jangan campuri urusanku, Mas Za
Tadinya, Zane pikir olahraga yang dimaksud hari ini adalah bersepeda atau berlari bersama pasangan. Nyatanya, ia salah besar. Di sebuah studio pusat kebugaran, sudah berjajar puluhan matras lengkap dengan handuk kecil dan air mineral. "Kamu nggak masuk grup chatting, ya?" kekeh Belle ketika dilihatnya raut Zane mulai pias. "Kamu salah kostum, Zane!" tawanya kemudian. Ya, dengan mengenakan celana jogger tebal juga jaket berbahan parasut, Zane nampak aneh diantara sekumpulan suami-suami di dalam ruangan itu. "Cepat lepas jaketmu. Nanti kamu dikira lagi meriang!" perintah Belle sembari lebih dulu berlalu dan memilih matras yang berada di jejeran belakang. Bukan tanpa alasan Belle memilih posisi di belakang, ia hanya tak ingin berdekatan dengan Jeremy dan istrinya itu. Sebisa mungkin, Belle akan menghindar dan mengurangi interaksi. Namun, di luar prediksi. Posisi belakang yang hanya di isi oleh tiga matras, akhirnya malah di tempati oleh Jeremi karena dia datang terlambat. Berulang k
Masih dalam tema olahraga, club pasutri bahagia rupanya membawa semua pasangan ke sebuah lapangan sepak bola. Untuk menjaga kekompakan antara para suami, maka diadakanlah pertandingan sepak bola kecil-kecilan. Zane tentu saja gembira bisa menyalurkan hobinya dalam berlari, meskipun ia terbilang sangat jarang bermain sepak bola. Satu tim dengan Jeremi, Zane dan beberapa pria lainnya, bertanding dengan sengit. Para istri turut memberi support di bagian tribun. Setelah babak pertama selesai dengan skor lebih tinggi di kubu lawan, Zane lantas menghampiri Belle yang turun dari tribun bersama yang lain. "Capek?" tanya Belle sembari mengusap peluh ke kening Zane dengan handuk kecil yang sudah ia persiapkan. Zane membuka tutup botol air isotonik yang dibawa oleh istrinya dan meneguknya hingga dahaganya tuntas. "Lumayan capek," sahut Zane sembari mengatur napasnya yang naik turun. "Sudah lama sekali aku tidak bertanding sepak bola." "Tapi kamu keren kok! Yaaah, meskipun nggak jadi mence
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona