Terbangun dengan mood yang positif rupanya berpengaruh banyak pada ekspresi wajah Zane di pagi hari ini. Bibirnya tiada henti menyunggingkan senyuman sampai-sampai ia tak mengenali sosok pria yang sedang menatapnya didepan cermin. Belum berangkat saja, hatinya sudah berbunga-bunga membayangkan akan semobil dengan Belle menuju makam nenek Lila. Sejak menikah, momen inilah yang Zane nanti-nantikan. "Zane, kamu sudah siap?" Teriakan Belle di luar kamar, tak pelak menyadarkan Zane dari lamunan. Ia bergegas merapikan sisir ke dalam laci dan menyandang waistbag-nya di bahu. Dengan senyuman yang masih melekat di wajah, Zane membuka pintu dan --"Taraaaa! Bagaimana menurutmu penampilanku?" Zane tertegun, tatapannya menelisik penampilan Belle dari ujung kaki sampai ujung rambut. Alih-alih berpakaian sederhana, Belle justru terlihat seperti hendak mendatangi pesta!"Belle, sepertinya pakaianmu terlalu berlebihan," protes Zane tak nyaman. Sambil menyatukan alis, Belle menundukkan kepala dan
Puluhan bahkan mungkin seratus lebih makam berjajar di dalam komplek pemakaman sederhana, di desa itu. Karena masih jam 10 pagi dan bertepatan dengan hari kamis, hanya ada beberapa orang yang mengunjungi makam kerabat masing-masing. Zane membawa Belle ke sisi barat, di sana terdapat sebuah makam dengan nisan terbuat dari batu marmer berwarna abu-abu. Nama dan tanggal wafat di nisan itu, membuat Belle yakin bila mereka berdua telah sampai di makam nenek Lila. Dengan perlahan, Zane melepas genggaman tangannya dan berjongkok di sisi makam. Belle pun melakukan hal serupa dan berjongkok di sisi lainnya. Mereka sama-sama berdoa sembari memejamkan mata. Belle bahkan bisa mendengar dengan sangat jelas, betapa merdunya suara Zane saat sedang melantunkan ayat-ayat doa. Diam-diam Belle mengintip dari salah satu matanya dan kembali memejamkan mata ketika Zane begitu khusyuk membacakan doa-doa. "Belle.“ "Hm." Belle sontak membuka mata dan mendapati Zane tengah memandangnya dengan mata memerah.
Mumpung berada di desa, Zane membawa Belle berkeliling dan mengunjungi rumahnya yang lama. Bangunan itu kini tak lagi terurus sejak Zane dan nenek Lila memutuskan pindah ke kota. Apalagi setelah nenek Lila meninggal, Zane seakan tak mau lagi melihat rumah masa kecilnya itu karena di sana tersimpan banyak kenangan. "Sayang sekali, ya! Coba direhab aja, Zane, anggap aja kamu punya vila.""Tidak mau. Aku tidak mau lagi tinggal di situ," tolak Zane mentah-mentah. "Tapi rumah itu adalah satu-satunya kenanganmu dan nenek Lila. Harusnya kamu--""Di rumah itu juga aku dibuang, Belle. Jadi lebih baik aku melupakan kenangan-kenangan itu." Zane menatap lurus ke depan, seakan rumah lusuh itu tak lagi nampak. "Kita ke rumah Bu Bidan sekarang," putus Zane dingin sembari menurunkan hand rem dan kembali melajukan mobil. Sementara Belle, membeku syok mendengar kata 'dibuang' yang baru saja Zane ucapkan. Ia melirik suaminya itu dengan perasaan campur aduk. Betapa banyak cerita mengejutkan yang ia
Tak ada satupun pesan yang dibaca oleh Bryan, juga telepon tak aktif sejak pulang dari acara di puncak, adalah kegalauan Belle yang kemudian membuatnya oleng dan selalu mencari perhatian pada Zane. Tadinya, Belle pikir Bryan sedang sibuk rekaman atau roadshow hingga ponselnya disita oleh manajernya. Namun ternyata, melihat kekasihnya itu tiba-tiba muncul dan rela mengantarkan Zara jauh-jauh dari kota ke desa, siapa yang tak terkejut? Zane juga tak kalah syoknya, ia tak pernah mengira jika Zara ternyata mengenal sosok pria yang sangat ia benci. Bahkan mungkin sudah lebih dari sekedar mengenal, karena nyatanya dia rela menyisihkan harinya yang sibuk demi mengantarkan Zara pulang. "Bryan." Suara lirih Belle yang terdengar penuh perasaan, membuat Zane menoleh pada istrinya itu. Ia tahu, mungkin Belle cemburu melihat Bryan bersama Zara. Namun, Zane juga cemburu melihat Belle sanggup menatap pria itu dengan begitu hangat dan mesra. Perlahan, Zane melepas tautan jemarinya, tetapi Belle ju
"Zara, tunggu!" Di lorong menuju departemen kamera, Zane baru saja keluar dari lift ketika ia kemudian melihat Zara melewatinya tanpa menyapanya seperti biasa. Zara yang ramah, seakan menjelma menjadi sosok asing."Zara!" Sekali lagi, Zane memanggil perempuan muda yang semakin kencang berlari, tentu saja untuk menghindar. Saat kemudian Zane berhasil menangkap lengan Zara, ia menarik rekannya itu ke sebuah ruangan kosong dan mengunci pintunya. Wajah Zara yang pucat, juga tatapan matanya yang seakan menghindari tatapan Zane, seakan memperjelas dugaan yang sejak kemarin Zane pikirkan. "Ada apa, Zara? Kenapa kamu malah menghindari aku? Dan, sejak kapan kamu kenal dengan Bryan? Apa kalian diam-diam memiliki hubungan?" cerca Zane bertubi-tubi dengan pertanyaan yang butuh jawaban secepatnya. Namun, Zara bungkam. Ia memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan Zane yang tajam menyelidik. "Zara, kenapa diam? Ada apa sebenarnya dengan kamu?" "Jangan campuri urusanku, Mas Za
Tadinya, Zane pikir olahraga yang dimaksud hari ini adalah bersepeda atau berlari bersama pasangan. Nyatanya, ia salah besar. Di sebuah studio pusat kebugaran, sudah berjajar puluhan matras lengkap dengan handuk kecil dan air mineral. "Kamu nggak masuk grup chatting, ya?" kekeh Belle ketika dilihatnya raut Zane mulai pias. "Kamu salah kostum, Zane!" tawanya kemudian. Ya, dengan mengenakan celana jogger tebal juga jaket berbahan parasut, Zane nampak aneh diantara sekumpulan suami-suami di dalam ruangan itu. "Cepat lepas jaketmu. Nanti kamu dikira lagi meriang!" perintah Belle sembari lebih dulu berlalu dan memilih matras yang berada di jejeran belakang. Bukan tanpa alasan Belle memilih posisi di belakang, ia hanya tak ingin berdekatan dengan Jeremy dan istrinya itu. Sebisa mungkin, Belle akan menghindar dan mengurangi interaksi. Namun, di luar prediksi. Posisi belakang yang hanya di isi oleh tiga matras, akhirnya malah di tempati oleh Jeremi karena dia datang terlambat. Berulang k
Masih dalam tema olahraga, club pasutri bahagia rupanya membawa semua pasangan ke sebuah lapangan sepak bola. Untuk menjaga kekompakan antara para suami, maka diadakanlah pertandingan sepak bola kecil-kecilan. Zane tentu saja gembira bisa menyalurkan hobinya dalam berlari, meskipun ia terbilang sangat jarang bermain sepak bola. Satu tim dengan Jeremi, Zane dan beberapa pria lainnya, bertanding dengan sengit. Para istri turut memberi support di bagian tribun. Setelah babak pertama selesai dengan skor lebih tinggi di kubu lawan, Zane lantas menghampiri Belle yang turun dari tribun bersama yang lain. "Capek?" tanya Belle sembari mengusap peluh ke kening Zane dengan handuk kecil yang sudah ia persiapkan. Zane membuka tutup botol air isotonik yang dibawa oleh istrinya dan meneguknya hingga dahaganya tuntas. "Lumayan capek," sahut Zane sembari mengatur napasnya yang naik turun. "Sudah lama sekali aku tidak bertanding sepak bola." "Tapi kamu keren kok! Yaaah, meskipun nggak jadi mence
"Kamu marah sama aku?" Zane menoleh pada istrinya yang sejak masuk ke dalam mobil tadi, tak sekalipun bersuara. Dengan mengendarai salah satu mobil milik Ronald, keduanya kini kembali pulang ke apartemen tanpa diantar oleh Josh. "Belle, aku minta maaf." Zane melirik sekilas sembari mengucapkan kalimat itu. "Tapi bisa jelaskan salahku di mana? Apa karena aku tadi memaksamu makan bersama teman-teman?" "Kamu pikir saja sendiri!" dengus Belle ketus, tatapannya tak beralih dari pemandangan di luar jendela. Helaan napas panjang dari Zane, pada akhirnya membuat tatapan Belle bergerak. "Capek kan sama aku?" tanya Belle diselingi air mata. "Aku--""Kalo kamu capek, ngomong aja gapapa, Zane! Aku juga udah capek sama semuanya! Aku capek harus bersikap baik-baik aja di depan papa, aku capek harus meladeni sikap kamu, aku capek lihat kamu, aku capek--""Apa kamu mau menyerah?" sela Zane berusaha tetap tenang. "Apa karena Bryan? Kamu jadi begini karena dia, kan?" Belle berpaling, ia menyeka