Tadinya, Zane pikir olahraga yang dimaksud hari ini adalah bersepeda atau berlari bersama pasangan. Nyatanya, ia salah besar. Di sebuah studio pusat kebugaran, sudah berjajar puluhan matras lengkap dengan handuk kecil dan air mineral. "Kamu nggak masuk grup chatting, ya?" kekeh Belle ketika dilihatnya raut Zane mulai pias. "Kamu salah kostum, Zane!" tawanya kemudian. Ya, dengan mengenakan celana jogger tebal juga jaket berbahan parasut, Zane nampak aneh diantara sekumpulan suami-suami di dalam ruangan itu. "Cepat lepas jaketmu. Nanti kamu dikira lagi meriang!" perintah Belle sembari lebih dulu berlalu dan memilih matras yang berada di jejeran belakang. Bukan tanpa alasan Belle memilih posisi di belakang, ia hanya tak ingin berdekatan dengan Jeremy dan istrinya itu. Sebisa mungkin, Belle akan menghindar dan mengurangi interaksi. Namun, di luar prediksi. Posisi belakang yang hanya di isi oleh tiga matras, akhirnya malah di tempati oleh Jeremi karena dia datang terlambat. Berulang k
Masih dalam tema olahraga, club pasutri bahagia rupanya membawa semua pasangan ke sebuah lapangan sepak bola. Untuk menjaga kekompakan antara para suami, maka diadakanlah pertandingan sepak bola kecil-kecilan. Zane tentu saja gembira bisa menyalurkan hobinya dalam berlari, meskipun ia terbilang sangat jarang bermain sepak bola. Satu tim dengan Jeremi, Zane dan beberapa pria lainnya, bertanding dengan sengit. Para istri turut memberi support di bagian tribun. Setelah babak pertama selesai dengan skor lebih tinggi di kubu lawan, Zane lantas menghampiri Belle yang turun dari tribun bersama yang lain. "Capek?" tanya Belle sembari mengusap peluh ke kening Zane dengan handuk kecil yang sudah ia persiapkan. Zane membuka tutup botol air isotonik yang dibawa oleh istrinya dan meneguknya hingga dahaganya tuntas. "Lumayan capek," sahut Zane sembari mengatur napasnya yang naik turun. "Sudah lama sekali aku tidak bertanding sepak bola." "Tapi kamu keren kok! Yaaah, meskipun nggak jadi mence
"Kamu marah sama aku?" Zane menoleh pada istrinya yang sejak masuk ke dalam mobil tadi, tak sekalipun bersuara. Dengan mengendarai salah satu mobil milik Ronald, keduanya kini kembali pulang ke apartemen tanpa diantar oleh Josh. "Belle, aku minta maaf." Zane melirik sekilas sembari mengucapkan kalimat itu. "Tapi bisa jelaskan salahku di mana? Apa karena aku tadi memaksamu makan bersama teman-teman?" "Kamu pikir saja sendiri!" dengus Belle ketus, tatapannya tak beralih dari pemandangan di luar jendela. Helaan napas panjang dari Zane, pada akhirnya membuat tatapan Belle bergerak. "Capek kan sama aku?" tanya Belle diselingi air mata. "Aku--""Kalo kamu capek, ngomong aja gapapa, Zane! Aku juga udah capek sama semuanya! Aku capek harus bersikap baik-baik aja di depan papa, aku capek harus meladeni sikap kamu, aku capek lihat kamu, aku capek--""Apa kamu mau menyerah?" sela Zane berusaha tetap tenang. "Apa karena Bryan? Kamu jadi begini karena dia, kan?" Belle berpaling, ia menyeka
"Ada hubungan apa antara kamu dan Zara, Bryan?" Pertanyaan yang sangat penting itu, akhirnya bisa diutarakan oleh Belle setelah sekian lama. Di cafe milik Jeremy, keduanya kini duduk berhadapan dengan mimik wajah serius. "Nggak ada hubungan apapun, Beb. Ceritanya panjang. Tapi aku akan mempersingkat ceritanya untuk kamu." Flashback On. "Ngapain lu!?" "Oh!" Prak. Ponsel mahal yang berada di genggaman Zara terjatuh dengan keras, sebelum akhirnya terlempar masuk ke dalam kolam. "Damn!" umpat Bryan marah sembari mengawasi ponselnya yang telah jatuh ke dasar kolam. "Ambil! Cepet!" perintahnya pada gadis itu ketus. "T-tapi, aku nggak bisa berenang.""Peduli setan! Cepat ambil!" Bryan mendorong tubuh mungil itu hingga tercebur ke dalam kolam. Selama beberapa detik, tubuh gadis itu turun ke dasar kolam yang cukup dalam. Namun, hingga beberapa detik berikutnya, Bryan melihat gadis itu terus bergerak meronta-ronta di dalam air dan tak sekalipun naik ke permukaan."Hhh, sial!!" Bryan
'Jadilah seperti bunga, ia tetap memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah menghancurkannya.' Prinsip hidup yang selalu Zane pegang sejak nenek Lila tiada, tak ubahnya seperti boomerang yang selalu berbalik menghancurkan dirinya sendiri. Bahkan orang yang telah kita sayangi sepenuh hati, bisa dengan sangat tega menghancurkan diri kita. Melihat Belle turun bersama Bryan beberapa jam yang lalu, sungguh sangat melukai harga diri Zane sebagai suami. Entah sudah berapa kali Belle membuatnya kecewa dan direndahkan, bodohnya Zane selalu saja diam dan mengalah. Bukankah batas antara sabar dan bodoh sangatlah tipis? Sudah tiga jam berlalu sejak Belle pergi, dan Zane masih menunggunya seperti orang dungu di ruang tengah. Waktu berjalan sangat lambat saat kita sedang patah hati, ternyata benar adanya. Tepat jam sebelas malam, saat Zane sudah merasa sangat kelelahan dan hendak masuk ke dalam kamar, suara pintu yang dibuka membuat langkahnya tertahan. Zane urung masuk, ia masih ingi
Ciuman di malam itu, membuat Zane memikirkan ulang tentang hubungannya bersama Belle. Ia tak menampik jika perasaannya kini semakin larut ke dalam hubungan sementara ini. Namun, Zane butuh kepastian, ia tak ingin Belle hanya menjadikan dirinya sebagai pelipur lara yang bisa dibuang kapan saja dan dipungut seperlunya. Sayangnya, setiap kali berpapasan di apartemen, Belle kembali memasang pembatas diantara Zane dan dirinya. Belle sering pulang larut malam dan berangkat ke kantor lebih siang, hanya demi menghindari suaminya. Hal itu tentu saja membuat Zane depresi sendiri. Bahkan kini, Belle menolak untuk datang ke club pasutri bahagia dengan seribu satu alasan. Dua bulan berlalu tanpa kepastian, Zane akhirnya lelah sendiri. Nomornya di blokir, Zane bahkan tak bisa klarifikasi melalui pesan atau telepon. Ia akhirnya pasrah dan membiarkan hubungannya berjalan apa adanya. Gaji yang setiap bulan ia letakkan di depan pintu kamar Belle, entah diambil atau tidak, Zane tak peduli. Yang terpen
Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah dengan larut dalam kesibukan. Itulah yang saat ini Belle jalani demi bisa melupakan dua pria yang telah mengguncang kehidupannya. Belle tak menampik, ia masih memiliki rasa pada Bryan dan tak rela kehilangan kekasih yang telah menjalin hubungan selama tiga tahun bersamanya. Namun, di sisi lain, Belle mulai goyah dengan kehadiran Zane yang selalu ada untuknya di setiap situasi dan kondisi. Dua bulan ini, Belle benar-benar memutus komunikasi dengan Zane. Sampai kontrak pernikahan mereka selesai, Belle tak boleh goyah. "Miss, ada telepon untuk ada dari Kepala Divisi Oke Chanel." Suara Tiana yang memecah keheningan, membuat Belle tersentak dan menoleh cepat pada sang sekretaris yang berdiri di tengah pintu ruangannya. "Stasiun Tivi?" Belle bertanya dengan bingung pada sang sekretaris, dan Tiana mengangguk dengan cepat. Masih dengan rasa heran bercampur penasaran, Belle mengangkat gagang telepon di mejanya yang otomatis tersambung dengan s
"Ada apa, Sus?" tanya Belle cemas sembari mengikuti langkah seorang perawat yang memanggilnya tadi. Perawat itu terus berjalan tanpa menjawab, dengan langkah anggun ia lantas berhenti di sebuah bilik yang tertutupi oleh tirai berwarna biru. Saat tirai tersebut disibak, Belle menemukan tubuh Zane telah terbujur dengan penyangga dileher. "Pak Zanendra baru saja sadar. Kami akan memindahkan beliau ke ruang rawat inap," terang perawat itu dengan seutas senyuman. Setelah seharian kemarin sangat panik dan khawatir pada keadaan suaminya, Belle akhirnya bisa melihat betapa kecelakaan kemarin cukup parah, hingga membuat Zane harus mengalami patah tulang dan cidera. Mendengar ada suara yang menyebut namanya, Zane yang sejak tadi terpejam lantas membuka mata. Netranya menangkap sosok Belle tengah berdiri tak jauh dari ranjangnya dan mengobrol serius dengan seorang perawat. Antara senang karena ternyata Belle masih peduli padanya dan sungkan karena harus merepotkan istrinya, Zane akhirnya mem