Hampir saja Zane terlelap, tapi suara langkah yang terdengar sangat teratur itu membuatnya kembali membuka mata. Ini bukan suara langkah Belle. Zane hafal betul langkah Belle selalu terburu-buru. Dengan penasaran, dan dengan efek obat bius yang masih membuatnya selalu mengantuk, Zane membuka matanya. Sesosok perempuan yang mengenakan jas putih tampak berdiri di depan ranjangnya. "Pak Zanendra?" tanya wanita itu ketika tatapannya dan Zane beradu. "Ya?" Senyum wanita itu merekah, memamerkan barusan giginya yang rapi dan putih. Ia lantas membuka kacamatanya dan menyempalkan kedua tangannya di saku jas putihnya. "Sebelumnya, saya ingin minta maaf karena sudah membuat istirahat anda terganggu. Boleh saya duduk di sana?" Wanita itu menunjuk kursi yang berada tak jauh dari ranjang Zane. "Silahkan." Dan masih dengan keanggunan yang alami, wanita itu duduk dan kembali mengawasi Zane dengan intens. "Perkenalkan, nama saya Clara Amanda, panggil saja saya Amanda," ucap wanita bernama Am
Sambil berlarian di lorong menuju lift rumah sakit, Belle memperhatikan jam tangannya sekali lagi. Jam 10.20, dia terlambat karena Bryan terus saja memaksanya untuk bicara. Padahal Belle sudah berjanji pada Zane untuk sampai sebelum dokter visit ke ruangan suaminya. Saat telah sampai di lantai paling atas gedung rumah sakit, di mana ruang president suite berada, Belle bergegas keluar sebelum pintu lift terbuka sepenuhnya. Ia kembali berlari sambil menahan napasnya yang mulai kembang kempis.Masuk ke dalam kamar, rupanya Zane tengah terlelap dengan sangat pulas. Belle kemudian meletakkan tas ranselnya di dalam lemari dan beringsut duduk di tepian ranjang suaminya. Ia menatap wajah yang tengah terpejam itu dengan lekat. Zane memiliki bulu mata yang tebal dan lentik, alisnya juga sempurna membingkai matanya yang selalu menyorotkan keteduhan. Rahang yang tegas dan berbulu kasar, serta bibir yang...."Kamu sudah datang?" Belle terkesiap, ia terlampau fokus memperhatikan bibir suaminya h
Hampir seminggu Zane di rawat di Rumah Sakit. Tak sedetikpun Belle meninggalkannya, kecuali untuk mengambil keperluan Zane seperti baju dan membeli makan. Pekerjaan di kantor pada akhirnya Belle bawa ke Rumah Sakit dan ia kerjakan di sana sambil menunggui suaminya. Belle bertindak selayaknya istri sungguhan, bukan istri pura-pura seperti biasanya. Beberapa kali Zane sudah berusaha membujuknya untuk pergi ke kantor dan melakukan hal-hal lain dengan normal. Namun, Belle bersikeras menolak. Ia tak ingin meninggalkan Zane yang masih butuh bantuan meski untuk ke kamar mandi.Penyangga di leher Zane telah dilepas kemarin, jadi sekarang ia sudah bisa menggerakkan kepalanya dengan bebas. Pun bahunya sudah tak begitu nyeri seperti diawal-awal. Teman-teman sedivisi Zane bergantian datang menjenguknya ke Rumah Sakit. Mereka harus bergiliran karena pihak Rumah Sakit melakukan screening yang ketat terhadap semua tamu yang datang menjenguk pasien. Dan setiap harinya hanya ada maksimal 3 orang tam
B is calling ...Belle menatap lama pada layar ponselnya yang masih menyala karena ada panggilan masuk dari Bryan. Ia sudah berada di luar kamar, memilih untuk menjauh dari Zane agar pembicaraannya dan Bryan tak mengusik harga dirinya."Halo," sapa Belle ragu setelah menempelkan ponselnya di telinga."Beb, I miss you. Nanti malam jalan, yuk! Aku stress bangettt semingguan ini sibuk sama proses reading!" keluh suara Bryan di ujung sana.Belle lantas menghela napasnya gusar. "Hmm, Bryan, Zane masih dirawat di Rumah Sakit. Aku belum bisa ninggalin dia selama dia masih dirawat di sini.""Memangnya harus kamu yang jagain, ya? Kan dia bisa sendiri, bukan bayi yang harus di jaga 24 jam.""Bryan, where is your empathy?" sela Belle terkejut mendengar cercaan kekasihnya."Apa lukanya sangat parah? Dia pasti berpura-pura agar kamu simpati.""Bryan, jangan berkata buruk tentang Zane dan menuduhnya seperti itu.""See, kamu bahkan mulai membela dia! Ya sudah, kalo kamu nggak mau keluar malam ini,
Tadinya, Zane ingin tidur selepas Belle pergi. Namun, rupanya ia belum diperbolehkan beristirahat. Suara ketukan di pintu, membuatnya kembali membuka mata dengan waspada. "Permisi, boleh aku masuk?" Zane menajamkan penglihatannya. Sosok wanita yang tengah melongokkan kepalanya di celah pintu itu tersenyum dengan sangat ramah. "Amanda?" "Syukurlah, kamu masih mengingatku!" Amanda membuka daun pintu lebih lebar dan masuk ke dalam kamar Zane tanpa rasa sungkan. Wanita yang masih mengenakan jas kerjanya itu kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang Zane. Ia menyilangkan salah satu kakinya yang jenjang diatas kakinya yang lain, tatapannya menjurus pada sosok pria yang terlihat gelisah di depannya. "Kemajuanmu cukup pesat, Mas Zane. Mungkin lusa kamu sudah diperbolehkan pulang," ucap Amanda dengan tenang dan kalem. Hening. Ini kali kedua Amanda datang setelah seminggu berlalu. Dan entah mengapa kini Zane merasa canggung berduaan di dalam kamar seperti ini. Padahal sebelumn
Belum terlalu malam ketika Zane dan Belle akhirnya memilih untuk segera tidur sebelum mereka bertengkar. Suasana yang mulai tidak kondusif, juga mood Zane yang buruk, membuat Belle akhirnya mengalah dan menuruti apapun kemauan suaminya untuk malam ini. Dari ranjangnya, Zane bisa melihat Belle tengah berusaha untuk memejamkan matanya. Gerak-gerik istrinya yang gelisah, seakan menggambarkan suasana hatinya yang buruk. "Belle, apa kamu sudah tidur?" tanya Zane merasa bersalah karena sudah membentak Belle tadi. Hening. Belle tak lagi bergerak. Namun, Zane tahu jika istrinya itu masih belum tidur. "Aku minta maaf karena sudah membentakmu tadi. Aku tidak bermaksud untuk begitu." Masih hening, Belle mendengarkan setiap ucapan Zane dari tempatnya berbaring. "Ya sudah kalo kamu tidur. Selamat malam, Belle. Sekali lagi maafkan aku," ucap Zane setelah melihat Belle tak merespon apapun. Namun, sebersit ide kemudian muncul di benak Zane. Hanya untuk mengetes apakah Belle benar-benar tidur a
Sejak pagi, Josh sudah standby di rumah sakit untuk menjemput majikannya. Ronald tak jadi ikut karena ada meeting yang tak bisa ditunda. Setelah semua urusan administrasi beres, Zane akhirnya diperbolehkan pulang. "Zane, ayo!" panggil Belle ketika suaminya itu masih memandangi jalanan kota dari jendela Rumah Sakit. Sambil mengulas senyuman, Zane mengangguk dan menghampiri Belle yang baru saja menyelesaikan pembayaran. Dengan langkah yang sangat pelan karena lututnya masih terasa sakit, Zane akhirnya tiba di depan istrinya. "Ayo, pulang," lanjut Belle sembari menggenggam tangan kiri Zane dan tersenyum lega. Sekali lagi, Zane mengangguk. Sambil berjalan beriringan, keduanya lantas keluar dari kamar rawat inap yang telah menciptakan banyak kenangan indah. "Oh, aku lupa kabel chargerku!" pekik Belle tertahan ketika ia tiba-tiba teringat pada kabel charger yang tadi belum sempat ia lepaskan dari stop kontak.Dengan terburu-buru, Belle berlari kembali ke kamar sementara Zane memilih un
Tiba di rumah setelah hampir seminggu lebih di rawat di Rumah Sakit tentu membuat Zane sangat bahagia. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran di hatinya, ia tak akan lagi bisa menikmati momen kedekatan bersama Belle seperti kemarin selama di Rumah Sakit. "Zane, kemarilah! Ayo, duduk sini!" Belle sudah membelikan seporsi rawon daging untuk makan siang dan duduk di sofa, bersiap untuk menyuapi lelaki yang masih tak bisa menggunakan tangan kanannya itu.Zane yang sedang memperhatikan pemandangan kota dari jendela sontak menoleh, entah mengapa hatinya bersorak setiap kali Belle memperlakukannya dengan istimewa beberapa hari ini. Dengan langkah pelan, Zane menghampiri Belle dan duduk tenang di sampingnya."Aaaaa ..." Belle membuka mulut saat bersiap memasukkan nasi ke mulut Zane.Sambil menahan senyum, Zane menurut dan membiarkan Belle melakukan rutinitas barunya semingguan ini. Zane sudah seperti bayi yang harus dijaga 24 jam dan bergantung pada istrinya."Besok aku sudah mulai ngantor, Z