"Ada hubungan apa antara kamu dan Zara, Bryan?" Pertanyaan yang sangat penting itu, akhirnya bisa diutarakan oleh Belle setelah sekian lama. Di cafe milik Jeremy, keduanya kini duduk berhadapan dengan mimik wajah serius. "Nggak ada hubungan apapun, Beb. Ceritanya panjang. Tapi aku akan mempersingkat ceritanya untuk kamu." Flashback On. "Ngapain lu!?" "Oh!" Prak. Ponsel mahal yang berada di genggaman Zara terjatuh dengan keras, sebelum akhirnya terlempar masuk ke dalam kolam. "Damn!" umpat Bryan marah sembari mengawasi ponselnya yang telah jatuh ke dasar kolam. "Ambil! Cepet!" perintahnya pada gadis itu ketus. "T-tapi, aku nggak bisa berenang.""Peduli setan! Cepat ambil!" Bryan mendorong tubuh mungil itu hingga tercebur ke dalam kolam. Selama beberapa detik, tubuh gadis itu turun ke dasar kolam yang cukup dalam. Namun, hingga beberapa detik berikutnya, Bryan melihat gadis itu terus bergerak meronta-ronta di dalam air dan tak sekalipun naik ke permukaan."Hhh, sial!!" Bryan
'Jadilah seperti bunga, ia tetap memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah menghancurkannya.' Prinsip hidup yang selalu Zane pegang sejak nenek Lila tiada, tak ubahnya seperti boomerang yang selalu berbalik menghancurkan dirinya sendiri. Bahkan orang yang telah kita sayangi sepenuh hati, bisa dengan sangat tega menghancurkan diri kita. Melihat Belle turun bersama Bryan beberapa jam yang lalu, sungguh sangat melukai harga diri Zane sebagai suami. Entah sudah berapa kali Belle membuatnya kecewa dan direndahkan, bodohnya Zane selalu saja diam dan mengalah. Bukankah batas antara sabar dan bodoh sangatlah tipis? Sudah tiga jam berlalu sejak Belle pergi, dan Zane masih menunggunya seperti orang dungu di ruang tengah. Waktu berjalan sangat lambat saat kita sedang patah hati, ternyata benar adanya. Tepat jam sebelas malam, saat Zane sudah merasa sangat kelelahan dan hendak masuk ke dalam kamar, suara pintu yang dibuka membuat langkahnya tertahan. Zane urung masuk, ia masih ingi
Ciuman di malam itu, membuat Zane memikirkan ulang tentang hubungannya bersama Belle. Ia tak menampik jika perasaannya kini semakin larut ke dalam hubungan sementara ini. Namun, Zane butuh kepastian, ia tak ingin Belle hanya menjadikan dirinya sebagai pelipur lara yang bisa dibuang kapan saja dan dipungut seperlunya. Sayangnya, setiap kali berpapasan di apartemen, Belle kembali memasang pembatas diantara Zane dan dirinya. Belle sering pulang larut malam dan berangkat ke kantor lebih siang, hanya demi menghindari suaminya. Hal itu tentu saja membuat Zane depresi sendiri. Bahkan kini, Belle menolak untuk datang ke club pasutri bahagia dengan seribu satu alasan. Dua bulan berlalu tanpa kepastian, Zane akhirnya lelah sendiri. Nomornya di blokir, Zane bahkan tak bisa klarifikasi melalui pesan atau telepon. Ia akhirnya pasrah dan membiarkan hubungannya berjalan apa adanya. Gaji yang setiap bulan ia letakkan di depan pintu kamar Belle, entah diambil atau tidak, Zane tak peduli. Yang terpen
Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah dengan larut dalam kesibukan. Itulah yang saat ini Belle jalani demi bisa melupakan dua pria yang telah mengguncang kehidupannya. Belle tak menampik, ia masih memiliki rasa pada Bryan dan tak rela kehilangan kekasih yang telah menjalin hubungan selama tiga tahun bersamanya. Namun, di sisi lain, Belle mulai goyah dengan kehadiran Zane yang selalu ada untuknya di setiap situasi dan kondisi. Dua bulan ini, Belle benar-benar memutus komunikasi dengan Zane. Sampai kontrak pernikahan mereka selesai, Belle tak boleh goyah. "Miss, ada telepon untuk ada dari Kepala Divisi Oke Chanel." Suara Tiana yang memecah keheningan, membuat Belle tersentak dan menoleh cepat pada sang sekretaris yang berdiri di tengah pintu ruangannya. "Stasiun Tivi?" Belle bertanya dengan bingung pada sang sekretaris, dan Tiana mengangguk dengan cepat. Masih dengan rasa heran bercampur penasaran, Belle mengangkat gagang telepon di mejanya yang otomatis tersambung dengan s
"Ada apa, Sus?" tanya Belle cemas sembari mengikuti langkah seorang perawat yang memanggilnya tadi. Perawat itu terus berjalan tanpa menjawab, dengan langkah anggun ia lantas berhenti di sebuah bilik yang tertutupi oleh tirai berwarna biru. Saat tirai tersebut disibak, Belle menemukan tubuh Zane telah terbujur dengan penyangga dileher. "Pak Zanendra baru saja sadar. Kami akan memindahkan beliau ke ruang rawat inap," terang perawat itu dengan seutas senyuman. Setelah seharian kemarin sangat panik dan khawatir pada keadaan suaminya, Belle akhirnya bisa melihat betapa kecelakaan kemarin cukup parah, hingga membuat Zane harus mengalami patah tulang dan cidera. Mendengar ada suara yang menyebut namanya, Zane yang sejak tadi terpejam lantas membuka mata. Netranya menangkap sosok Belle tengah berdiri tak jauh dari ranjangnya dan mengobrol serius dengan seorang perawat. Antara senang karena ternyata Belle masih peduli padanya dan sungkan karena harus merepotkan istrinya, Zane akhirnya mem
Hampir saja Zane terlelap, tapi suara langkah yang terdengar sangat teratur itu membuatnya kembali membuka mata. Ini bukan suara langkah Belle. Zane hafal betul langkah Belle selalu terburu-buru. Dengan penasaran, dan dengan efek obat bius yang masih membuatnya selalu mengantuk, Zane membuka matanya. Sesosok perempuan yang mengenakan jas putih tampak berdiri di depan ranjangnya. "Pak Zanendra?" tanya wanita itu ketika tatapannya dan Zane beradu. "Ya?" Senyum wanita itu merekah, memamerkan barusan giginya yang rapi dan putih. Ia lantas membuka kacamatanya dan menyempalkan kedua tangannya di saku jas putihnya. "Sebelumnya, saya ingin minta maaf karena sudah membuat istirahat anda terganggu. Boleh saya duduk di sana?" Wanita itu menunjuk kursi yang berada tak jauh dari ranjang Zane. "Silahkan." Dan masih dengan keanggunan yang alami, wanita itu duduk dan kembali mengawasi Zane dengan intens. "Perkenalkan, nama saya Clara Amanda, panggil saja saya Amanda," ucap wanita bernama Am
Sambil berlarian di lorong menuju lift rumah sakit, Belle memperhatikan jam tangannya sekali lagi. Jam 10.20, dia terlambat karena Bryan terus saja memaksanya untuk bicara. Padahal Belle sudah berjanji pada Zane untuk sampai sebelum dokter visit ke ruangan suaminya. Saat telah sampai di lantai paling atas gedung rumah sakit, di mana ruang president suite berada, Belle bergegas keluar sebelum pintu lift terbuka sepenuhnya. Ia kembali berlari sambil menahan napasnya yang mulai kembang kempis.Masuk ke dalam kamar, rupanya Zane tengah terlelap dengan sangat pulas. Belle kemudian meletakkan tas ranselnya di dalam lemari dan beringsut duduk di tepian ranjang suaminya. Ia menatap wajah yang tengah terpejam itu dengan lekat. Zane memiliki bulu mata yang tebal dan lentik, alisnya juga sempurna membingkai matanya yang selalu menyorotkan keteduhan. Rahang yang tegas dan berbulu kasar, serta bibir yang...."Kamu sudah datang?" Belle terkesiap, ia terlampau fokus memperhatikan bibir suaminya h
Hampir seminggu Zane di rawat di Rumah Sakit. Tak sedetikpun Belle meninggalkannya, kecuali untuk mengambil keperluan Zane seperti baju dan membeli makan. Pekerjaan di kantor pada akhirnya Belle bawa ke Rumah Sakit dan ia kerjakan di sana sambil menunggui suaminya. Belle bertindak selayaknya istri sungguhan, bukan istri pura-pura seperti biasanya. Beberapa kali Zane sudah berusaha membujuknya untuk pergi ke kantor dan melakukan hal-hal lain dengan normal. Namun, Belle bersikeras menolak. Ia tak ingin meninggalkan Zane yang masih butuh bantuan meski untuk ke kamar mandi.Penyangga di leher Zane telah dilepas kemarin, jadi sekarang ia sudah bisa menggerakkan kepalanya dengan bebas. Pun bahunya sudah tak begitu nyeri seperti diawal-awal. Teman-teman sedivisi Zane bergantian datang menjenguknya ke Rumah Sakit. Mereka harus bergiliran karena pihak Rumah Sakit melakukan screening yang ketat terhadap semua tamu yang datang menjenguk pasien. Dan setiap harinya hanya ada maksimal 3 orang tam