Tak ada satupun pesan yang dibaca oleh Bryan, juga telepon tak aktif sejak pulang dari acara di puncak, adalah kegalauan Belle yang kemudian membuatnya oleng dan selalu mencari perhatian pada Zane. Tadinya, Belle pikir Bryan sedang sibuk rekaman atau roadshow hingga ponselnya disita oleh manajernya. Namun ternyata, melihat kekasihnya itu tiba-tiba muncul dan rela mengantarkan Zara jauh-jauh dari kota ke desa, siapa yang tak terkejut? Zane juga tak kalah syoknya, ia tak pernah mengira jika Zara ternyata mengenal sosok pria yang sangat ia benci. Bahkan mungkin sudah lebih dari sekedar mengenal, karena nyatanya dia rela menyisihkan harinya yang sibuk demi mengantarkan Zara pulang. "Bryan." Suara lirih Belle yang terdengar penuh perasaan, membuat Zane menoleh pada istrinya itu. Ia tahu, mungkin Belle cemburu melihat Bryan bersama Zara. Namun, Zane juga cemburu melihat Belle sanggup menatap pria itu dengan begitu hangat dan mesra. Perlahan, Zane melepas tautan jemarinya, tetapi Belle ju
"Zara, tunggu!" Di lorong menuju departemen kamera, Zane baru saja keluar dari lift ketika ia kemudian melihat Zara melewatinya tanpa menyapanya seperti biasa. Zara yang ramah, seakan menjelma menjadi sosok asing."Zara!" Sekali lagi, Zane memanggil perempuan muda yang semakin kencang berlari, tentu saja untuk menghindar. Saat kemudian Zane berhasil menangkap lengan Zara, ia menarik rekannya itu ke sebuah ruangan kosong dan mengunci pintunya. Wajah Zara yang pucat, juga tatapan matanya yang seakan menghindari tatapan Zane, seakan memperjelas dugaan yang sejak kemarin Zane pikirkan. "Ada apa, Zara? Kenapa kamu malah menghindari aku? Dan, sejak kapan kamu kenal dengan Bryan? Apa kalian diam-diam memiliki hubungan?" cerca Zane bertubi-tubi dengan pertanyaan yang butuh jawaban secepatnya. Namun, Zara bungkam. Ia memiringkan kepalanya ke samping untuk menghindari tatapan Zane yang tajam menyelidik. "Zara, kenapa diam? Ada apa sebenarnya dengan kamu?" "Jangan campuri urusanku, Mas Za
Tadinya, Zane pikir olahraga yang dimaksud hari ini adalah bersepeda atau berlari bersama pasangan. Nyatanya, ia salah besar. Di sebuah studio pusat kebugaran, sudah berjajar puluhan matras lengkap dengan handuk kecil dan air mineral. "Kamu nggak masuk grup chatting, ya?" kekeh Belle ketika dilihatnya raut Zane mulai pias. "Kamu salah kostum, Zane!" tawanya kemudian. Ya, dengan mengenakan celana jogger tebal juga jaket berbahan parasut, Zane nampak aneh diantara sekumpulan suami-suami di dalam ruangan itu. "Cepat lepas jaketmu. Nanti kamu dikira lagi meriang!" perintah Belle sembari lebih dulu berlalu dan memilih matras yang berada di jejeran belakang. Bukan tanpa alasan Belle memilih posisi di belakang, ia hanya tak ingin berdekatan dengan Jeremy dan istrinya itu. Sebisa mungkin, Belle akan menghindar dan mengurangi interaksi. Namun, di luar prediksi. Posisi belakang yang hanya di isi oleh tiga matras, akhirnya malah di tempati oleh Jeremi karena dia datang terlambat. Berulang k
Masih dalam tema olahraga, club pasutri bahagia rupanya membawa semua pasangan ke sebuah lapangan sepak bola. Untuk menjaga kekompakan antara para suami, maka diadakanlah pertandingan sepak bola kecil-kecilan. Zane tentu saja gembira bisa menyalurkan hobinya dalam berlari, meskipun ia terbilang sangat jarang bermain sepak bola. Satu tim dengan Jeremi, Zane dan beberapa pria lainnya, bertanding dengan sengit. Para istri turut memberi support di bagian tribun. Setelah babak pertama selesai dengan skor lebih tinggi di kubu lawan, Zane lantas menghampiri Belle yang turun dari tribun bersama yang lain. "Capek?" tanya Belle sembari mengusap peluh ke kening Zane dengan handuk kecil yang sudah ia persiapkan. Zane membuka tutup botol air isotonik yang dibawa oleh istrinya dan meneguknya hingga dahaganya tuntas. "Lumayan capek," sahut Zane sembari mengatur napasnya yang naik turun. "Sudah lama sekali aku tidak bertanding sepak bola." "Tapi kamu keren kok! Yaaah, meskipun nggak jadi mence
"Kamu marah sama aku?" Zane menoleh pada istrinya yang sejak masuk ke dalam mobil tadi, tak sekalipun bersuara. Dengan mengendarai salah satu mobil milik Ronald, keduanya kini kembali pulang ke apartemen tanpa diantar oleh Josh. "Belle, aku minta maaf." Zane melirik sekilas sembari mengucapkan kalimat itu. "Tapi bisa jelaskan salahku di mana? Apa karena aku tadi memaksamu makan bersama teman-teman?" "Kamu pikir saja sendiri!" dengus Belle ketus, tatapannya tak beralih dari pemandangan di luar jendela. Helaan napas panjang dari Zane, pada akhirnya membuat tatapan Belle bergerak. "Capek kan sama aku?" tanya Belle diselingi air mata. "Aku--""Kalo kamu capek, ngomong aja gapapa, Zane! Aku juga udah capek sama semuanya! Aku capek harus bersikap baik-baik aja di depan papa, aku capek harus meladeni sikap kamu, aku capek lihat kamu, aku capek--""Apa kamu mau menyerah?" sela Zane berusaha tetap tenang. "Apa karena Bryan? Kamu jadi begini karena dia, kan?" Belle berpaling, ia menyeka
"Ada hubungan apa antara kamu dan Zara, Bryan?" Pertanyaan yang sangat penting itu, akhirnya bisa diutarakan oleh Belle setelah sekian lama. Di cafe milik Jeremy, keduanya kini duduk berhadapan dengan mimik wajah serius. "Nggak ada hubungan apapun, Beb. Ceritanya panjang. Tapi aku akan mempersingkat ceritanya untuk kamu." Flashback On. "Ngapain lu!?" "Oh!" Prak. Ponsel mahal yang berada di genggaman Zara terjatuh dengan keras, sebelum akhirnya terlempar masuk ke dalam kolam. "Damn!" umpat Bryan marah sembari mengawasi ponselnya yang telah jatuh ke dasar kolam. "Ambil! Cepet!" perintahnya pada gadis itu ketus. "T-tapi, aku nggak bisa berenang.""Peduli setan! Cepat ambil!" Bryan mendorong tubuh mungil itu hingga tercebur ke dalam kolam. Selama beberapa detik, tubuh gadis itu turun ke dasar kolam yang cukup dalam. Namun, hingga beberapa detik berikutnya, Bryan melihat gadis itu terus bergerak meronta-ronta di dalam air dan tak sekalipun naik ke permukaan."Hhh, sial!!" Bryan
'Jadilah seperti bunga, ia tetap memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah menghancurkannya.' Prinsip hidup yang selalu Zane pegang sejak nenek Lila tiada, tak ubahnya seperti boomerang yang selalu berbalik menghancurkan dirinya sendiri. Bahkan orang yang telah kita sayangi sepenuh hati, bisa dengan sangat tega menghancurkan diri kita. Melihat Belle turun bersama Bryan beberapa jam yang lalu, sungguh sangat melukai harga diri Zane sebagai suami. Entah sudah berapa kali Belle membuatnya kecewa dan direndahkan, bodohnya Zane selalu saja diam dan mengalah. Bukankah batas antara sabar dan bodoh sangatlah tipis? Sudah tiga jam berlalu sejak Belle pergi, dan Zane masih menunggunya seperti orang dungu di ruang tengah. Waktu berjalan sangat lambat saat kita sedang patah hati, ternyata benar adanya. Tepat jam sebelas malam, saat Zane sudah merasa sangat kelelahan dan hendak masuk ke dalam kamar, suara pintu yang dibuka membuat langkahnya tertahan. Zane urung masuk, ia masih ingi
Ciuman di malam itu, membuat Zane memikirkan ulang tentang hubungannya bersama Belle. Ia tak menampik jika perasaannya kini semakin larut ke dalam hubungan sementara ini. Namun, Zane butuh kepastian, ia tak ingin Belle hanya menjadikan dirinya sebagai pelipur lara yang bisa dibuang kapan saja dan dipungut seperlunya. Sayangnya, setiap kali berpapasan di apartemen, Belle kembali memasang pembatas diantara Zane dan dirinya. Belle sering pulang larut malam dan berangkat ke kantor lebih siang, hanya demi menghindari suaminya. Hal itu tentu saja membuat Zane depresi sendiri. Bahkan kini, Belle menolak untuk datang ke club pasutri bahagia dengan seribu satu alasan. Dua bulan berlalu tanpa kepastian, Zane akhirnya lelah sendiri. Nomornya di blokir, Zane bahkan tak bisa klarifikasi melalui pesan atau telepon. Ia akhirnya pasrah dan membiarkan hubungannya berjalan apa adanya. Gaji yang setiap bulan ia letakkan di depan pintu kamar Belle, entah diambil atau tidak, Zane tak peduli. Yang terpen