Zanendra Prasetyo, nama pria yang digadang-gadang oleh Ronald untuk menjadi calon menantunya. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Zane, pria yang sabar dan tulus pada siapapun.
"Zane, sekali lagi aku minta maaf padamu. Belle sebenarnya wanita yang baik, hanya saja tadi sepertinya dia sedang stress karena aku terlalu memaksanya untuk segera menikah!" ucap Ronald penuh sesal sembari menatap pria muda yang duduk di sisi kiri meja makan.Dengan kaku, Zane menarik sudut bibirnya. Tidak seharusnya stress dijadikan alasan untuk menghina keadaan orang lain, bukan?"Menikahlah dengan putriku, Zane. Aku mohon padamu," pinta Ronald penuh harap. "Anggap saja ini wasiat dari nenek Lila yang harus aku tunaikan. Menjagamu dengan menikahkan kamu dengan putriku.""Pak Ronald, saya tidak bisa.""Kenapa?" sela Ronald sembari menatap Zane dengan lekat. "Apa karena Belle tidak bisa menjaga tutur katanya? Atau karena dia kurang cantik?"Dengan cepat Zane menggelengkan kepalanya. Belle adalah wanita yang cantik, bahkan nyaris sempurna. Hanya saja Zane berusaha realistis, terlebih Belle sudah memiliki kekasih."Saya belum ingin menikah, Pak." Akhirnya Zane menemukan alasan yang tepat untuk menolak perjodohan tidak masuk akal ini."Mana mungkin! Jelas-jelas aku ingat bagaimana nenek Lila memintamu segera menikah agar kau tak kesepian. Dan sekarang kau bilang belum ingin menikah? Hah, pembohong!" tuding Ronald disertai tawa renyah."Saya masih belum mampu untuk membiayai istri saya, Pak.""Jika kau menikah dengan Belle, aku akan mewariskan perusahaan pada kalian berdua! Jadi jangan khawatirkan tentang harta, Zane!""Justru itulah saya menolaknya, Pak. Saya tidak mau dianggap aji mumpung dan tidak tahu diri. Maafkan saya, Pak Ronald." Zane bangkit dari kursinya, selera makannya sudah benar-benar lenyap saat ini.Melihat pria di hadapannya hendak pergi, buru-buru Ronald ikut bangkit untuk menahannya."Tolong pikirkan sekali lagi, Zane. Aku memohon padamu, aku tidak percaya pada pria lain selain dirimu, Nak. Hanya kau laki-laki yang tepat untuk Belle!""Pak--""Tidak perlu menjawab sekarang! Aku akan memberimu waktu untuk memikirkan tawaran ini," desak Ronald sembari terus mencekal lengan Zane agar tak pergi.Dan ternyata dua hari berikutnya, Zane sudah melupakan insiden di kediaman Janata. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan. Menenggelamkan pikirannya dalam kegiatan yang melelahkan, hingga tak ada waktu untuk sekedar memikirkan penghinaan yang ia terima beberapa hari yang lalu. Dunia Zane kembali ke keadaan semula. Damai tanpa ada drama yang merepotkan hidupnya.Berbanding terbalik dengan kehidupan Zane, yang dialami oleh Belle justru sebaliknya. Bryan menghilang pasca konser itu, tak satupun pesan Belle yang terbaca. Ditelepon pun tak pernah diangkat. Belle tak bisa menghubungi manajer atau orang manajemen karena ia dan Bryan menjalani hubungan secara backstreet selama beberapa tahun ini.Hari ketiga pasca Zane datang ke kediaman Janata, Ronald sudah memutuskan untuk mengeluarkan jurus pamungkas pada putrinya. Ia meminta notaris dan pengacara pribadinya datang pagi-pagi sekali. Belle yang hendak turun untuk sarapan, sontak terkejut melihat beberapa orang sudah ikut duduk di meja makan."Ngapain Pak Fendi ke mari pagi-pagi sekali?" tanya Belle heran sembari mengawasi pengacara pribadi ayahnya.Pria bernama Fendi itu menyapa Belle dengan ramah, ia menunduk sopan sebagai penghormatan pada putri dari klien spesialnya."Mereka semua datang ke mari untuk merevisi surat wasiat Papa." Ronald menjelaskan tanpa sekalipun mengawasi putrinya.Bola mata Belle membeliak tak percaya. Ia menoleh pada Ronald dengan kecewa."Pa, aku mohon kasih aku waktu lagi. Aku janji akan menikah tahun ini, aku janji, Pa!" rengek Belle memohon.Seutas senyuman kecut muncul di wajah Ronald. Ia melirik putrinya dengan dingin."Menikah dengan siapa? Bryan? Sorry ya, Papa sudah nggak merestui hubungan kalian!""Papa! Kenapa Papa tega sekali sama anak sendiri!" Air mata Belle meleleh seiring dengan rasa sakit yang menderanya. "Aku cuma mau menikah sama Bryan, Pa. Nggak mau sama yang lain!""Ya sudah, kalau itu pilihan kamu maka silahkan teruslah bermimpi. Anak-anak dibawah naungan yayasan lebih membutuhkan harta Papa dibanding kamu," sindir Ronald dengan santai."Papa jahat! Papa nggak sayang sama anak sendiri! Kenapa Papa tega sekali, sih!" Tangisan Belle semakin histeris seperti bayi yang tengah tantrum.Beberapa orang yang berada satu meja dengannya mendadak canggung untuk melanjutkan sarapan mereka. Mana mungkin mereka enak-enakan makan sementara seorang wanita di meja yang sama tengah menangis dengan hebohnya."Justru karena Papa sayang sama kamu, makanya Papa memilihkan lelaki yang tepat untuk kamu, Belle!""Aku lebih baik jomblo seumur hidup daripada nikah sama pria miskin dan kuno itu!"Ronald mengedikkan bahunya dengan pasrah. Ia mengalihkan tatapannya pada para tamunya."Jika kalian sudah selesai, mari kita naik ke ruangan kerjaku untuk me--""Oke. Oke! Aku akan menikah!" tukas Belle sembari menyeka air matanya, ia lantas menatap Ronald dengan tajam dan kembali melanjutkan, "tapi dengan satu syarat!""Jika syarat itu adalah Bryan, anggap saja Papa nggak mendengar apapun!" Ronald menyela seakan tahu arah pembicaraan putrinya."Nggak, ini bukan tentang Bryan. Papa dengerin dulu, dong!" sungut Belle geram.Ronald menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di dada."Lalu apa syarat itu?"Menyetujui ide licik papanya untuk sementara waktu adalah pilihan yang harus Belle putuskan secepatnya. Ia tak mau kehilangan harta dan segala kemewahan yang telah ia nikmati sejak kecil, Belle tak rela jika semua warisan Ronald jatuh ke yayasan yatim piatu yang dikelola oleh perusahaan. Belle masih waras, ia bisa merencanakan sesuatu yang lebih licik demi memenuhi permintaan sang papa. "Apa syaratnya, Belle? Katakan dengan jelas di depan tamu kita yang akan menjadi saksi," desak Ronald ketika putrinya mendadak bisu dan pucat pasi. "Aku ..." Belle mengawasi Ronald, Fendi, Josh dan notaris itu dengan tatapan gugup. "Kalau aku harus menikah dengan pria itu, aku nggak mau ada pesta yang besar-besaran. Cukup akad yang dihadiri oleh kalian dan keluarganya saja.""Oke!" Dengan wajah puas, Ronald bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan pada Belle. Saat putrinya menyambut jabatan tangan itu, Ronald kembali bersuara, "Deal!" sambungnya mantap. "Selesaikan hubunganmu dengan Bryan. Papa
"Perjanjian?" ulang Zane dengan ragu.Baru saja Belle mengatakan bila sebelum resmi menikah, ia ingin membuat perjanjian tertulis antara mereka berdua. "Iya. Aku mau kita membuat perjanjian. Aku sudah membuat draft-nya." Belle merogoh map dari dalam tas kerjanya dan mengangsurkan lembaran pada Zane. "Kamu tinggal baca dan tanda tangan!" Tulisan cukup besar yang berjudul "Perjanjian Pernikahan Kontrak" membuat kening Zane berkerut. Ia meraih lembaran itu dan membacanya dengan seksama. Ada 6 pasal yang tertera di sana, semuanya menguntungkan pihak Belle. "Bagaimana? Ada yang mau kamu tambahkan?" tanya Belle ketika Zane nampak terpaku menatap lembaran itu. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Kita tinggal membuat perjanjian tanpa harus menandatangani --""No. No. No! Aku nggak suka sesuatu yang nggak pasti. Lagian kamu nggak berpikir untuk menikah denganku selamanya, kan? Oh, c'mon!" Belle terkekeh menyela perkataan Zane. "Tiga tahun, Zane. Setelah itu kita bercerai dan kamu akan kaya r
Senyuman di wajah Belle yang semula sangat lebar, mendadak lenyap ketika ia mengeluarkan sebuah sertifikat kepemilikan apartemen dan dua kartu kunci dari dalam amplop. "Itu hadiah dari Papa untuk kalian berdua!" ucap Ronald dengan senyuman merekah. "Kalian akan pindah mulai hari ini, kunci itu adalah kunci apartemen yang Papa berikan sebagai hadiah." Hembusan napas Belle terasa semakin berat. Ia menoleh pada Zane yang duduk di sebelahnya dengan syok."Papa mengusir kami?" protes Belle kecewa."Bukan mengusir, Belle. Papa hanya ingin kalian hidup mandiri dan saling mengenal satu sama lain. Tinggal di rumah ini pasti akan membuat Zane canggung dan tak nyaman, jadi Papa memilih apartemen yang dekat dengan kantor kalian berdua." "Tapi, Pa--""Coba tanya pada suamimu, dia sekarang adalah kepala keluarga, kamu harus menuruti apapun perintahnya!" Ronald lebih dulu menyela protes dari putrinya. Tatapan mata Belle dan Ronald sontak tertuju pada Zane yang sedari tadi hanya menyimak perdebata
Zane yang pagi ini kelaparan karena semalam tak sempat menyantap makan malam, mendadak kehilangan selera ketika melihat Belle menyusul ke meja makan dan mengomelinya. Sudah separuh porsi nasi goreng yang berhasil ia habiskan dengan lahap, sisanya ia telan dengan susah payah karena tatapan Belle tersorot risih padanya. Dan suasana tegang di meja makan, mendadak berubah ketika terdengar suara teriakan seseorang di luar. Zane dan Belle sama-sama menoleh ke lorong menuju ruang tamu. Karena Belle hanya meneguk susu, ia bisa dengan leluasa bangkit dan lebih dulu melangkah ke luar. Semakin Belle mendekat, suara teriakan yang berulang kali memanggil namanya itu semakin membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Bryan?? Itu Bryan, kan? Langkah Belle berganti lari, ia ingin segera memastikan bila pria di luar itu memang benar-benar kekasihnya. "Belle!" "Bryan?"Air mata Belle tak bisa lagi di bendung, di depan mata kepalanya sendiri ia melihat kekasihnya tengah dihadang dan dicegah masuk
Apartemen yang berada persis di tengah kota dengan segala fasilitasnya yang mewah dan canggih, membuat nyali Zane semakin ciut dihadapan Belle. Egonya sebagai pria dan seorang suami semakin meronta, tak seharusnya Zane menikmati segala kemewahan ini."Aku akan menempati kamar di atas, jangan sekali-kali kamu naik atau..." Belle memberi isyarat dengan menembak kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Paham?" Tanpa menjawab, Zane berpaling dan menyeret kopernya menuju kamar yang dimaksud oleh Belle. Apa itu harga diri? Sepertinya Zane harus terbiasa direndahkan seperti ini. Ranjang kingsize dengan sprei putih seakan melambai pada Zane yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tatapannya memindai ke seluruh sudut kamar yang akan menjadi tempatnya tidur mulai malam ini. Sementara itu di lantai atas, Belle mulai memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari di walk in closet. Masih ada tiga koper lagi yang belum ia bawa, juga beberapa sepatu dan tas mahal miliknya. Kegiatan Belle terhenti
"Bryan?" Belle masuk semakin dalam mencari pria yang sangat ia cintai. Langkahnya kecilnya kemudian terhenti di pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, dengan ragu, Belle mengintip melalui celahnya yang terbuka. Tubuh seseorang pria yang tengah menggigil di atas ranjang membuat Belle sontak berlari masuk. "Bryan!" pekiknya cemas. "Belle ..." lirih Bryan lemah sembari membuka mata, ia mengulas senyuman ketika sosok wanita cantik telah duduk di sisi ranjangnya. "Belle, maafkan aku." "Bryan, ayo, kita ke rumah sakit. Kamu demam!" "Aku nggak apapa, Belle. Aku cuma masuk angin." "Nggak apapa gimana! Ini badanmu panas, kamu juga menggigil. Ayo, aku antar ke rumah sakit!" Belle hendak bangkit untuk menyibak selimut Bryan, tetapi pria itu lebih dulu menahan tangannya hingga membuat Belle kembali duduk di tempat semula. "Aku cuma butuh kamu, Belle. Aku sudah minum obat tadi. Dan sekarang aku cuma butuh pelukan kamu biar cepet pulih," pinta Bryan memohon. Meskipun masih dirundung kek
Di dalam mobil mahal milik Belle, tatapan Zane terpaku pada satu titik di mana Belle tadi menghilang di dalam bangunan tersebut. Apa yang kiranya dilakukan sepasang kekasih di dalam kamar berdua? Zane tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi akal sehatnya tak dapat diajak kompromi kali ini. Zane bukan bocah labil yang tak paham apa itu nafsu. Meskipun usianya tahun depan sudah memasuki kepala tiga dan ia tak pernah sekalipun berpacaran, tetapi Zane bisa menebak apa yang dilakukan Belle di dalam sana bersama kekasihnya. Dengan suntuk, Zane memeriksa kembali arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 00.15. Bahkan sudah selarut ini dan Belle belum juga nampak. Entah sudah berapa kali napasnya berhembus dengan kasar dan tak sabar, ingin rasanya Zane meringsek masuk ke apartemen pria itu dan menyeret Belle pulang, tetapi ia tak ingin Belle mengamuk dan memperkeruh hubungan mereka. "Mari kita tunggu setengah jam lagi," bisik Zane pada dirinya sendiri. Ia masih mencoba berpik
"Pa, apalagi ini?" Belle melemparkan dua lembar tiket pesawat dengan kesal. "Aku nggak mau berangkat!" "Itu hadiah bulan madu! Bukankah sebagai pasangan yang baru menikah, kalian wajib berbulan madu?" "Aku nggak mau! Aku nggak mau berangkat ke manapun!" sela Belle geram karena ia tak menyukai ide sang ayah. Tatapan Ronald mengarahkan pada Zane yang sejak tadi hanya diam membisu. "Bagaimana, Zane? Kamu mau berangkat?" Merasa terpojok, Zane lantas menoleh pada Belle yang juga tengah menatapnya dengan tajam. "S-saya tidak tahu, Pa." "Kalian hanya tinggal berangkat, apa susahnya sih! Lagian cuma ke Maldives, bukan ke luar angkasa!" gerutu Ronald gemas. "Kami bahkan baru pindah, Pa. Belum sempat beres-beres dan--""Jangan khawatirkan itu, Belle. Papa akan meminta anak buah Josh untuk membereskan semuanya! Biar dia yang menata pakaian kalian di lemari dan bersih- bersih!""Tidak usah, Pa. Tidak perlu sampai seperti itu. Kami bisa membereskan nanti!" sela Zane panik, meminta bantuan