"Nah, itu dia putriku!"
Telunjuk Ronald mengarah pada seorang perempuan yang baru saja keluar dari ruangan yang berbatasan dengan taman. Pria yang saat ini tengah duduk bersamanya, sontak menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ronald.Saat tatapannya dan perempuan itu beradu, pria itu lantas menunduk dengan gelisah. Perlahan, ia mencubit tangannya, berharap ini semua hanya bermimpi dan setelah ini ia akan terbangun di ranjang sempitnya lagi. Namun, hingga cubitannya menyisakan bekas memerah, pria itu -yang masih mengenakan seragam kerjanya, masih tetap berada di kediaman Janata."Hai, Belle. Selamat pagi! Apa tidurmu nyenyak?" sapa Ronald ketika putrinya sudah sangat dekat dengan tempat mereka.Pria tadi memberanikan diri mendongah ketika aroma parfum putri Ronald terendus oleh indra penciumannya. Kembali tatapan mereka bertemu, dengan sorot mata yang jauh berbeda. Yang satu menatap penuh kekaguman, sementara wanita itu menatap dengan risih."Papa, siapa dia? Josh baru saja bilang kalau Papa mengundang dia ke sini untuk menikahkan kami! Bahkan Papa belum menemui Bryan tapi Papa sudah memutuskan dia akan menjadi suamiku!? What the hell!?"Tanpa sadar pria itu menelan salivanya, ketika dengan lancarnya perempuan di hadapannya ini mengungkapkan isi hatinya. Sosok cantik yang tadi terlihat sangat ramah itu, kini mengamuk tanpa sekalipun memberi kesempatan Ronald untuk berbicara."Aku nggak mau menikah sama dia, Papa! Bisa-bisanya Papa menjodohkan aku dengan pria aneh seperti dia! Lihatlah, dari caranya berpakaian saja sudah jauh dari seleraku! Bahkan model rambutnya saja persis seperti Josh! Oh, ya Tuhan, teganya Papaku melakukan ini pada putri satu-satunya yang ia miliki!"Ronald menghembuskan napasnya panjang ketika Belle masih saja menyerocos tanpa henti. Bukannya menghentikan cercaan putrinya pada tamu mereka, Ronald justru membiarkan Belle mengeluarkan segala uneg-uneg di hatinya. Ia ingin mengetahui seberapa besar kesabaran pria pilihannya dalam menghadapi Belle bila memang mereka berjodoh nanti.Berbeda dengan Ronald yang memang sengaja bungkam, pria yang sejak tadi tertunduk itu semakin dalam menenggelamkan kepalanya dengan kedua tangan yang terkepal. Ia semakin minder dan tak pantas berada di rumah ini ketika wanita itu terus saja mengomentari penampilannya. Ia memang miskin, dia memang bukan pria gaul seperti kebanyakan pria seusianya. Namun, ia masih punya harga diri untuk mempertahankan kehormatannya yang baru saja diinjak-injak."Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" Pria itu seketika bangkit dan menantang tatapan Belle yang sejak tadi menyorot dengan sinis. "Apa ada lagi yang ingin anda hina dari saya?"Belle bergeming. Sepersekian detik, ia terhenyak ketika pria itu telah berani memotong perkataannya, meskipun suaranya terdengar kalem."Kamu! Beraninya kamu melawanku!?""Saya tidak takut selama saya benar! Tujuan saya datang ke sini murni untuk mengunjungi Pak Ronald, bukan untuk mendengar hinaan anda," sanggah pria itu dengan intonasi rendah. Ia tak ingin terpancing emosi.Namun, rupanya Belle belum puas merendahkan pria di hadapannya. Ia lantas bergerak memutari pria aneh tadi dan menelisik penampilannya dari dekat."Yang seperti ini mau menjadi suamiku? Hahaha ... Bahkan dia lebih pantas menjadi sopirku dibanding--""Cukup, Belle! Mulutmu ternyata tidak secerdas otakmu. Papa kecewa melihat sisi lain darimu yang seperti ini.""Pa!""Papa akan mewariskan semuanya pada yayasan. Keputusan Papa sudah bulat." Ronald berdiri dan menghampiri putrinya dan pria itu, sambil menepuk pundak tamunya, Ronald kembali berkata, "Zane, mari ikut sarapan dengan kami sebelum kau pulang. Anggap saja ini permintaan maafku karena tidak bisa mendidik mulut putriku dengan baik."Zanendra Prasetyo, nama pria yang digadang-gadang oleh Ronald untuk menjadi calon menantunya. Sudah bertahun-tahun ia mengenal Zane, pria yang sabar dan tulus pada siapapun. "Zane, sekali lagi aku minta maaf padamu. Belle sebenarnya wanita yang baik, hanya saja tadi sepertinya dia sedang stress karena aku terlalu memaksanya untuk segera menikah!" ucap Ronald penuh sesal sembari menatap pria muda yang duduk di sisi kiri meja makan. Dengan kaku, Zane menarik sudut bibirnya. Tidak seharusnya stress dijadikan alasan untuk menghina keadaan orang lain, bukan? "Menikahlah dengan putriku, Zane. Aku mohon padamu," pinta Ronald penuh harap. "Anggap saja ini wasiat dari nenek Lila yang harus aku tunaikan. Menjagamu dengan menikahkan kamu dengan putriku.""Pak Ronald, saya tidak bisa.""Kenapa?" sela Ronald sembari menatap Zane dengan lekat. "Apa karena Belle tidak bisa menjaga tutur katanya? Atau karena dia kurang cantik?" Dengan cepat Zane menggelengkan kepalanya. Belle adalah wanita yang c
Menyetujui ide licik papanya untuk sementara waktu adalah pilihan yang harus Belle putuskan secepatnya. Ia tak mau kehilangan harta dan segala kemewahan yang telah ia nikmati sejak kecil, Belle tak rela jika semua warisan Ronald jatuh ke yayasan yatim piatu yang dikelola oleh perusahaan. Belle masih waras, ia bisa merencanakan sesuatu yang lebih licik demi memenuhi permintaan sang papa. "Apa syaratnya, Belle? Katakan dengan jelas di depan tamu kita yang akan menjadi saksi," desak Ronald ketika putrinya mendadak bisu dan pucat pasi. "Aku ..." Belle mengawasi Ronald, Fendi, Josh dan notaris itu dengan tatapan gugup. "Kalau aku harus menikah dengan pria itu, aku nggak mau ada pesta yang besar-besaran. Cukup akad yang dihadiri oleh kalian dan keluarganya saja.""Oke!" Dengan wajah puas, Ronald bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan pada Belle. Saat putrinya menyambut jabatan tangan itu, Ronald kembali bersuara, "Deal!" sambungnya mantap. "Selesaikan hubunganmu dengan Bryan. Papa
"Perjanjian?" ulang Zane dengan ragu.Baru saja Belle mengatakan bila sebelum resmi menikah, ia ingin membuat perjanjian tertulis antara mereka berdua. "Iya. Aku mau kita membuat perjanjian. Aku sudah membuat draft-nya." Belle merogoh map dari dalam tas kerjanya dan mengangsurkan lembaran pada Zane. "Kamu tinggal baca dan tanda tangan!" Tulisan cukup besar yang berjudul "Perjanjian Pernikahan Kontrak" membuat kening Zane berkerut. Ia meraih lembaran itu dan membacanya dengan seksama. Ada 6 pasal yang tertera di sana, semuanya menguntungkan pihak Belle. "Bagaimana? Ada yang mau kamu tambahkan?" tanya Belle ketika Zane nampak terpaku menatap lembaran itu. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Kita tinggal membuat perjanjian tanpa harus menandatangani --""No. No. No! Aku nggak suka sesuatu yang nggak pasti. Lagian kamu nggak berpikir untuk menikah denganku selamanya, kan? Oh, c'mon!" Belle terkekeh menyela perkataan Zane. "Tiga tahun, Zane. Setelah itu kita bercerai dan kamu akan kaya r
Senyuman di wajah Belle yang semula sangat lebar, mendadak lenyap ketika ia mengeluarkan sebuah sertifikat kepemilikan apartemen dan dua kartu kunci dari dalam amplop. "Itu hadiah dari Papa untuk kalian berdua!" ucap Ronald dengan senyuman merekah. "Kalian akan pindah mulai hari ini, kunci itu adalah kunci apartemen yang Papa berikan sebagai hadiah." Hembusan napas Belle terasa semakin berat. Ia menoleh pada Zane yang duduk di sebelahnya dengan syok."Papa mengusir kami?" protes Belle kecewa."Bukan mengusir, Belle. Papa hanya ingin kalian hidup mandiri dan saling mengenal satu sama lain. Tinggal di rumah ini pasti akan membuat Zane canggung dan tak nyaman, jadi Papa memilih apartemen yang dekat dengan kantor kalian berdua." "Tapi, Pa--""Coba tanya pada suamimu, dia sekarang adalah kepala keluarga, kamu harus menuruti apapun perintahnya!" Ronald lebih dulu menyela protes dari putrinya. Tatapan mata Belle dan Ronald sontak tertuju pada Zane yang sedari tadi hanya menyimak perdebata
Zane yang pagi ini kelaparan karena semalam tak sempat menyantap makan malam, mendadak kehilangan selera ketika melihat Belle menyusul ke meja makan dan mengomelinya. Sudah separuh porsi nasi goreng yang berhasil ia habiskan dengan lahap, sisanya ia telan dengan susah payah karena tatapan Belle tersorot risih padanya. Dan suasana tegang di meja makan, mendadak berubah ketika terdengar suara teriakan seseorang di luar. Zane dan Belle sama-sama menoleh ke lorong menuju ruang tamu. Karena Belle hanya meneguk susu, ia bisa dengan leluasa bangkit dan lebih dulu melangkah ke luar. Semakin Belle mendekat, suara teriakan yang berulang kali memanggil namanya itu semakin membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Bryan?? Itu Bryan, kan? Langkah Belle berganti lari, ia ingin segera memastikan bila pria di luar itu memang benar-benar kekasihnya. "Belle!" "Bryan?"Air mata Belle tak bisa lagi di bendung, di depan mata kepalanya sendiri ia melihat kekasihnya tengah dihadang dan dicegah masuk
Apartemen yang berada persis di tengah kota dengan segala fasilitasnya yang mewah dan canggih, membuat nyali Zane semakin ciut dihadapan Belle. Egonya sebagai pria dan seorang suami semakin meronta, tak seharusnya Zane menikmati segala kemewahan ini."Aku akan menempati kamar di atas, jangan sekali-kali kamu naik atau..." Belle memberi isyarat dengan menembak kepalanya sendiri dengan jari telunjuk. "Paham?" Tanpa menjawab, Zane berpaling dan menyeret kopernya menuju kamar yang dimaksud oleh Belle. Apa itu harga diri? Sepertinya Zane harus terbiasa direndahkan seperti ini. Ranjang kingsize dengan sprei putih seakan melambai pada Zane yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tatapannya memindai ke seluruh sudut kamar yang akan menjadi tempatnya tidur mulai malam ini. Sementara itu di lantai atas, Belle mulai memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari di walk in closet. Masih ada tiga koper lagi yang belum ia bawa, juga beberapa sepatu dan tas mahal miliknya. Kegiatan Belle terhenti
"Bryan?" Belle masuk semakin dalam mencari pria yang sangat ia cintai. Langkahnya kecilnya kemudian terhenti di pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup, dengan ragu, Belle mengintip melalui celahnya yang terbuka. Tubuh seseorang pria yang tengah menggigil di atas ranjang membuat Belle sontak berlari masuk. "Bryan!" pekiknya cemas. "Belle ..." lirih Bryan lemah sembari membuka mata, ia mengulas senyuman ketika sosok wanita cantik telah duduk di sisi ranjangnya. "Belle, maafkan aku." "Bryan, ayo, kita ke rumah sakit. Kamu demam!" "Aku nggak apapa, Belle. Aku cuma masuk angin." "Nggak apapa gimana! Ini badanmu panas, kamu juga menggigil. Ayo, aku antar ke rumah sakit!" Belle hendak bangkit untuk menyibak selimut Bryan, tetapi pria itu lebih dulu menahan tangannya hingga membuat Belle kembali duduk di tempat semula. "Aku cuma butuh kamu, Belle. Aku sudah minum obat tadi. Dan sekarang aku cuma butuh pelukan kamu biar cepet pulih," pinta Bryan memohon. Meskipun masih dirundung kek
Di dalam mobil mahal milik Belle, tatapan Zane terpaku pada satu titik di mana Belle tadi menghilang di dalam bangunan tersebut. Apa yang kiranya dilakukan sepasang kekasih di dalam kamar berdua? Zane tak ingin berpikiran buruk, akan tetapi akal sehatnya tak dapat diajak kompromi kali ini. Zane bukan bocah labil yang tak paham apa itu nafsu. Meskipun usianya tahun depan sudah memasuki kepala tiga dan ia tak pernah sekalipun berpacaran, tetapi Zane bisa menebak apa yang dilakukan Belle di dalam sana bersama kekasihnya. Dengan suntuk, Zane memeriksa kembali arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 00.15. Bahkan sudah selarut ini dan Belle belum juga nampak. Entah sudah berapa kali napasnya berhembus dengan kasar dan tak sabar, ingin rasanya Zane meringsek masuk ke apartemen pria itu dan menyeret Belle pulang, tetapi ia tak ingin Belle mengamuk dan memperkeruh hubungan mereka. "Mari kita tunggu setengah jam lagi," bisik Zane pada dirinya sendiri. Ia masih mencoba berpik