Ciuman pada malam itu seakan mengembalikan sedikit demi sedikit memori yang sempat terhapus diingatan Belle. Sayangnya, ia tak berani menanyakan pada Zane terkait suara-suara ataupun kejadian yang perlahan datang dan pergi. Sudah beberapa bulan ini, sejak keduanya melakukan ciuman itu, Zane mulai semakin berani berbuat nakal. Terkadang, Belle terbangun dengan tangan Zane yang sudah menyelinap di balik bra-nya. Beruntungnya, Zane tak pernah melakukan lebih dari itu. "Bik," panggil Belle ketika ia sedang duduk di ruang tengah usai sarapan. Penyangga di kakinya sudah dilepas, sudah dua bulan berlalu dan Belle kini bisa berpindah dari ranjang ke kursi rodanya tanpa bantuan. Zane membelikan kursi roda canggih dengan navigasi pintar dan sensor hambatan yang akan secara otomatis berhenti jika ada benda atau jalanan yang tidak rata. Belle juga bisa memerintahkan kursi rodanya dengan bantuan suara tanpa harus repot-repot menggerakkan roda dengan tangan. "Ya, Non!" sahut Bik Asih sambil be
"Non! Non Belle!" Suara teriakan Bik Asih yang membahana, membuat Belle sontak menoleh ke arah pintu di mana ia baru saja masuk. Dengan tatapannya yang kosong karena tak bisa melihat apapun, Belle menunggu Bik Asih menyusul masuk ke dalam kamarnya."Non ..." Bik Asih mengatur napasnya yang kembang kempis karena berlari, ia lantas menunjukkan ponsel nona mudanya, seakan lupa jika Belle buta. "Tuan Bryan sudah balas pesannya Non Belle!" "Benarkah!?" Belle membeliakkan mata tak percaya. "Dia bilang apa, Bik?" Spontan Bik Asih membaca kembali pesan balasan itu dengan lantang."Kabarku baik, Belle. Aku juga merindukan kamu." Belle menunggu Bik Asih melanjutkan penjelasannya, tetapi hingga beberapa detik berlalu Bik Asih tak lagi bersuara. "Itu doang?" sungut Belle kecewa. "Iya, itu doang, Non." Bik Asih menurunkan ponsel milik majikannya dengan ragu. "Memangnya Non Belle maunya tuan Bryan membalas apa?" "Bilang sama dia, saya mau ketemu besok siang. Terserah di mana, yang penting ki
Mengendarai mobil dengan kalap adalah satu-satunya cara agar Zane bisa secepatnya sampai di cafe terkutuk itu. Rio duduk di sebelahnya dengan wajah pias karena Zane menyetir dengan sangat ngawur. Mereka baru bisa berangkat setengah jam kemudian setelah membereskan prosedur pembatalan meeting yang cukup berbelit-belit. Itulah mengapa pada akhirnya Zane semakin senewen dan gelap mata. "Pak, biar saya yang menyetir.""Diamlah. Kamu hanya perlu duduk menemaniku dan jangan katakan apapun!""T-tapi saya masih ingin hidup, Pak. Saya masih belum bertobat dan masih banyak dosa yang belum saya--""Diam, Rio. Aku juga belum ingin mati sebelum membunuh pria itu!" Bola mata Rio membeliak semakin lebar. Bosnya yang terkenal sabar, elegan dan irit bicara, rupanya memiliki sisi lain yang mengejutkan. Jangan-jangan, selama ini ia tertipu oleh sikap kalem bosnya yang ternyata adalah seorang psikopat?? Setelah hampir setengah jam terombang-ambing diantara dua dunia, akhirnya Zane memarkir mobilnya d
Karena situasi semakin tak terkontrol dan kondusif, pada akhirnya suara tembakan pun menggema. Zane menahan pukulan yang hampir ia layangkan di pelipis Bryan ketika suara letusan itu membahana. Dengan posisi tubuh berada di atas artis kenamaan itu, tangan Zane menggantung di udara. "Pak, cukup! Hentikan!" Rio menurunkan pistol di tangannya dan meletakkan kembali benda itu di holster miliknya. Dengan dibantu dua orang pengunjung cafe, Zane ditarik mundur. Sementara beberapa orang lain membantu Bryan untuk bangkit. Darah yang mengalir dari pelipis dan hidung Zane, sama sekali tak membuatnya sakit. Justru ia lebih sakit melihat Belle menangis di sudut ruangan lain sambil menyebut nama Bryan. Karena telah membuat kegaduhan di tempat umum, menimbulkan kerusakan dan melakukan tindakan kekerasan, Zane harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di kantor polisi. Di sana, ia bertemu Jeremi yang ternyata adalah pemilik cafe dan juga sahabat Bryan. Sekali lagi, Zane merasa ditipu oleh fakta
Seandainya bisa memutar kembali waktu, mungkin Belle akan mengurungkan niatnya untuk bertemu Bryan jika akhirnya akan jadi serunyam ini. Sungguh, kedatangan Zane benar-benar diluar dugaan dan mengacaukan segalanya. Terlebih setelah suaminya itu memukul Bryan, Belle menjadi tak lagi simpatik padanya. Bik Asih bilang, perkelahian mereka membuat cafe rusak parah. Pun demikian, Bryan jadi babak belur karena ulah Zane yang menghajarnya habis-habisan. Karena harus bertanggungjawab atas permasalahan yang ia ciptakan, Zane akhirnya dibawa ke kantor polisi sore itu juga. Sementara Belle dan Bik Asih, memutuskan pulang setelah polisi meminta keterangan pada keduanya sebagai saksi. "Zane belum pulang, Bik?" tanya Belle ketika ia tengah menyantap makan malamnya sendirian di meja makan. "Belum, Non. Sepertinya juga nggak akan pulang." Kening Belle berkerut bingung. "Maksudnya? Dia ditahan?" "Sepertinya begitu. Apalagi melihat Tuan Bryan babak belur, kayanya Tuan Zane akan mendapat hukuman be
Selama beberapa menit, Zane hanya memandangi raga yang tak berdaya itu dengan tatapan bengis. Terbayang olehnya momen kemarin sore ketika Belle menangis dan menyebut nama kekasih terkutuknya itu. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Belle!? Katakan!" desak Zane dengan suara berat dan dalam. Jangankan Belle, bahkan semut pun akan takut jika mendengar suara Zane yang semacam itu. Belle sudah mempermainkan dan mengusik kesabaran pria yang selalu mengalah dan rela melakukan apapun untuknya. "A-aku hanya ingin tahu cerita yang sebenarnya, Zane. Aku--""Bukankah aku sudah menceritakan semuanya padamu? Bagian mana lagi yang belum jelas, huh!?" potong Zane tak sabar. "Kamu selalu menolak menceritakan Bryan padaku. Padahal ingatan terakhirku berhenti di dia. Aku nggak tahu harus bertanya sama siapa karena--""Bryan mencampakkanmu, Belle! Laki-laki yang pernah kamu bela mati-matian itu, lebih memilih serumah dengan Zara dibanding mempertahankan cinta kalian! Itukah yang mau kamu dengar? Atau
"Wah, ayam bumbu pedas? Tumben sekali Bibik masak ini untuk sarapan kita?" Zane beringsut duduk dengan tak sabar setelah menarik kursi. Belle duduk di depannya dengan senyum merekah, kejutannya pagi ini berhasil. Ia tak sabar untuk memberi kejutan lainnya di rumah Ronald nanti. Sementara dua majikannya sedang menikmati sarapan, Bik Asih berulang kali mengucap syukur dari dalam kamarnya. Ia sengaja bersembunyi di sana, selain karena masih takut pada Zane, ia juga ingin memberi ruang privasi pada sepasang suami istri itu. "Tolong ambilkan sarapan juga untukku, Zane," pinta Belle sembari menggeser botol susunya ke samping. Dengan bola mata membeliak, Zane menatap istrinya. "Kamu mau sarapan juga? T-tapi...""Cepatlah sebelum aku berubah pikiran! Aku penasaran seenak apa ayam pedas favoritmu itu!" dengus Belle cepat. Tanpa menunggu lama, Zane mengambil piring milik Belle di lemari kabinet dan menyuguhkan sedikit nasi serta lauk kesukaannya. Selama menikah, ini kali pertama Belle sar
Tawaran yang Zane berikan untuk mandi bersama tadi pagi, bukanlah bualan semata. Ia menggotong tubuh Belle ke kamar mandi ketika istrinya itu tak kunjung menjawab. Di bawah guyuran shower air dingin, keduanya saling melepas pakaian yang menempel di tubuh masing-masing. Zane tak berharap banyak, meskipun 'miliknya' sontak menegang ketika melihat tubuh molek itu tanpa sehelai benang pun. Berkali-kali Zane hanya menelan saliva tanpa berani berbuat hal yang lebih. "Segar?" tanya Zane ketika Belle mengusap sabun beraroma vanilla strawbery itu di tubuhnya. Sambil mengangguk, Belle terus mengoleskan sabun itu ke seluruh tubuhnya. Entah harus gugup atau bahagia, Belle hanya menikmati momen mandi berdua ini tanpa berharap lebih. Apalagi Zane sudah menegaskan jika ia tak akan melakukan apapun sebelum Belle bisa mengingatnya secara utuh. Jadi, Belle merasa aman berada di bawah shower berdua seperti ini, meskipun sesekali Zane menempelkan tubuhnya secara sengaja. Dan kini, saat Zane seakan ke
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona