"Zane." "Hm?""Apa menurutmu aku harus operasi mata?" Zane terhenyak, ia mengurai pelukan mereka di atas ranjang dan mengawasi Belle yang belum juga terlelap. "Aku nggak bisa kasi kado apapun buat kami. Jadi, bisa melihat dan menatapmu lagi mungkin akan jadi kado terindah untukmu," ungkap Belle dengan serius.Bola mata Zane sontak memanas, hatinya merasakan lega yang sangat memuaskan batin. "Lakukan apapun yang kamu inginkan, Belle. Bisa melihatmu sehat seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur. Kalo pun kamu ingin operasi, aku akan segera mendaftarkan untukmu," tegas Zane bersungguh-sungguh. Sudut bibir mungil Belle memamerkan giginya yang rapi, ia kembali menenggelamkan tubuhnya di pelukan Zane yang hangat. "Aku ingin cepat operasi biar bisa lihat berapa tampannya suamiku. Semoga dengan begitu, ingatanku juga cepat kembali." Sambil terus mengusap-usap punggung istrinya, Zane mengangguk setuju. Di dalam kamar yang dulunya milik Belle, kini mereka bersiap untuk terlelap samb
"Papa memanggil kami?" Zane mendorong kursi roda istrinya masuk ke dalam ruangan perpustakaan, di mana Ronald tengah bersantai sambil minum teh. Pria tua itu menoleh pada dua manusia kesayangannya dan tersenyum lebar sembari menutup buku tebal di tangannya. Sambil melepas kacamata, ia lantas bangkit dan mempersilahkan Zane serta Belle untuk duduk di sofa panjang di tengah ruangan. "Ya, Papa menunggu kalian sejak tadi. Apa tidur kalian nyenyak semalam?" tanya Ronald kepo sembari mengerlingkan mata pada menantunya. Zane sontak tersipu, ia menundukkan kepala semakin dalam karena Ronald seakan bisa membaca pikirannya. "Tidur kami nyenyak, Pa. Apalagi Zane, dia sampai bangun kesiangan tadi!" sahut Belle ketika suaminya hanya diam bergeming. "Papa mau ngomongin apa sampai nyuruh kami ke sini?" "Hmmm, begini. Karena satu dan lain hal, Papa akan meminta Bik Asih untuk kembali ke rumah ini." Ronald berhenti sejenak, ia menelisik ekspresi anak dan menantunya sebelum kembali melanjutkan, "
Tubuh ringkih dan kurus itu tergeletak tak jauh dari tempat tidur ketika Zane meringsek masuk ke dalam kamar. Zane sontak berlari dan menggotong Bik Milah ke atas ranjang, membaringkannya tanpa bantal agar posisi tubuhnya sejajar. Tubuh wanita paruh baya itu panas. Wajahnya juga merah merona seperti menahan sakit. "Bik," panggil Zane panik sembari menepuk pipi pelayan barunya itu. Tak ada respon, Bik Milah tetap terpejam dengan napas yang berhembus lemah. "Bik Milah." Sekali lagi Zane menepuk pipi wanita itu sedikit keras, mungkin dengan begitu ia akan bangun. Saat masih juga belum menunjukkan respon apa-apa, Zane pun bergegas ke dapur untuk mengambil baskom dan kain. Setidaknya suhu tubuhnya harus di turunkan dahulu. Usai mengisi baskom itu dengan air dingin, Zane bergegas kembali ke kamar Bik Milah dan menempatkan kain basah itu di kening pelayannya. Sekali lagi, Zane mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pelan pipi wanita tua itu. Beberapa menit kemudian, saat Zane mul
"Berdasarkan target market yang sudah kami survey selama dua bulan ini. Maka seharusnya projects.... Bla bla bla...""Pak." Lamunan Zane seketika bubar. Ia menoleh ragu pada Rio yang baru saja memanggilnya dengan suara lirih tepat di telinga. Saat netra keduanya bertemu, Rio mengarahkan tatapannya pada seseorang yang sedang presentasi di depan mereka. Ya, seharian ini Zane kehilangan fokus. Rio sampai harus menepuk pundak bosnya berulang kali sebagai kode agar Zane kembali ke dunia nyata dan tak melanglang buana ke alam bawah sadarnya. Bukan tanpa alasan semua itu terjadi. Zane merasa ada yang janggal dengan sikap pelayannya tadi pagi, juga semalam. Sebenarnya Zane sudah sering memergoki Bik Milah mencuri-curi pandang padanya atau pada Belle. Juga wanita tua itu terlalu sering mengurung diri di kamar, alih-alih menghabiskan waktu istirahatnya dengan menonton tivi seperti Bik Asih dulu. Bisa jadi, ia sungkan karena masih belum lama tinggal bersama Zane, tetapi caranya memandang Bel
Sekilas, tak ada yang mencurigakan di kamar berukuran 3x4 meter itu. Letak perabotannya masih sama seperti saat ditempati oleh Bik Asih. Hanya saja, beberapa benda yang tercecer di meja nakas di dekat ranjang, lantas menyita perhatian Zane. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang berukuran single tersebut. Ada beberapa kertas nota, bolpoin, obat-obatan dan juga uang receh di atas meja kecil itu. Jam tangan yang sudah lusuh, juga sebuah cincin berukuran kecil lantas membuat Zane semakin penasaran. Tangannya perlahan membuka sebuah laci di bawah meja, dan bola matanya membeliak ketika selembar foto pernikahannya dan Belle berada di sana. Sepertinya Bik Milah memotongnya dari koran yang mempublish berita pernikahannya beberapa bulan yang lalu. Tapi, untuk apa Bik Milah menyimpan foto ini? Belum terjawab rasa penasaran Zane, tatapannya beralih pada selembar foto lain yang sudah buram dan lecek. Ia memperhatikan foto seorang bayi itu dengan seksama, bayi siapa ini?"Oh, Bik Milah sudah p
Bandar Udara International Changi, Singapura. "Kamu senang?" Zane menggenggam jemari istrinya sembari mendorong kursi roda itu dengan senyuman lebar. Belle mengangguk cepat. "Aku nggak sabar pengen cepet besok! Rasanya seperti mimpi bisa melihat indahnya dunia lagi." Keduanya lantas dijemput oleh orang suruhan Ronald yang akan standby untuk melayani Zane dan Belle selama di Singapore. Pria bersama Frans tersebut mengantar Zane menuju hotel yang akan mereka tempati selama seminggu ke depan. "Zane, aku pengin jalan-jalan dulu sebentar. Bagaimana kalo kita nonton?" usul Belle merajuk. "Tidak. Kita harus ke hotel dan istirahat. Kamu tidak boleh terlalu capek," tolak Zane tegas. "Dokter sudah mewanti-wanti agar kamu dalam keadaan fit ketika di operasi.""Tapi aku pengen jalan-jalan, Zane. Aku bosen seminggu ini dikurung terus di rumah!" dengus Belle sambil bersedekap jengkel. "Tidak boleh. Nanti kita akan puas-puasin jalan-jalan kalo operasinya berhasil. Aku akan menuruti ke manapun
Seakan lupa pada janjinya untuk tidak menyentuh Belle sebelum ingatan istrinya itu kembali, Zane melakukan hubungan badan itu tanpa beban berulang kali hingga sore. Bahkan Belle pun yang tadinya kesakitan di awal-awal, mulai ketagihan dan tak ingin mereka menyelesaikan permainan penuh kenikmatan itu. "Dulu aku sempat curiga kalo kamu sudah tidak perawan, tapi ternyata aku salah," ucap Zane usai mengecup kening istrinya. Keduanya kini sudah kelelahan dan bersiap untuk istirahat sejenak sebelum mencari makan malam. Sambil berpelukan tanpa sehelai benang pun di badan, keduanya kini tak canggung saling menempel satu sama lain. "Kenapa kamu bisa menuduhku begitu!" protes Belle sengit dengan bibir mengerucut maju. "Karena hubungan kamu dan Bryan terlalu ekstrim. Bahkan meski sudah menikah, kamu masih tidak mau putus dari dia. Bukankah wajar kalo aku lantas curiga?" Zane membeberkan alibinya dengan gamblang. "Dasar egois! Sekarang cabut kembali tuduhanmu itu." Belle mencubit perut Zane
"Belle.""Hm?" Zane termangu untuk beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam hingga dadanya terasa penuh sesak oleh oksigen. "Kenapa, Zane?" tanya Belle sembari menarik kepalanya dari dada hangat sang suami. "Aku sangat menyayangimu." Zane mencium kening istrinya cukup lama, tiba-tiba saja air matanya menetes haru atas pengorbanan besar yang baru saja wanita itu lakukan. Dua jam yang lalu. Belle menahan Zane yang hendak pergi untuk membantu pria tua itu. Tadinya Belle pikir, Zane akan memaki seperti yang dilakukan Frans. Hingga akhirnya ia buka suara. "Hentikan, Frans! Cukup," seru Belle dengan tubuh gemetar, ia tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya pria tua itu jatuh membentur lantai. "Sakit apa putri anda, Pak?" tanya Belle prihatin. "Bolehkah saya menemuinya sebelum memutuskan jawaban saya?" "Tentu, Nona!" Pria itu sontak berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit yang ia rasakan di tungkai kakinya. "Putri saya juga dirawat di Rumah Sakit ini. Mari ikut dengan saya!" Pr