"Zane, ada apa?" Entah sudah berapa kali Belle melontarkan pertanyaan itu ketika Zane mendadak mengajak istrinya itu pulang ke Indonesia malam ini juga. Bahkan Zane tak lagi meneruskan permainan panas mereka usai menerima telepon dari seseorang. Meskipun kecewa karena merasa tanggung, tetapi Belle menghormati keputusan suaminya yang seolah menyimpan sesuatu. Kini keduanya telah berada di pesawat yang sedang landing di bandara Soekarno Hatta. Zane tak banyak bicara, ia hanya menanggapi pertanyaan Belle sesekali tapi tidak pernah menjawab secara gamblang. "Josh akan mengantarmu ke rumah papa. Aku harus ke suatu tempat dan menyelesaikan beberapa masalah.""Zane!" Belle menahan lengan suaminya yang baru saja memasang seatbelt di kursi istrinya. "Apa terjadi sesuatu yang gawat?" tebaknya cemas. Dalam sekali helaan napas, Zane mengurai cekalan istrinya dan mundur. "Tidak, Belle. Jangan khawatir. Aku berjanji akan menemuimu nanti. Pergilah, Josh!" perintah Zane lugas sebelum kemudian me
Tiga bulan sebelumnya. Di salah satu sudut cafe yang cukup ramai. Ronald baru saja turun dari mobil ketika Josh membukakan pintu untuknya. Dengan langkah tegap, ia berjalan memasuki tempat di mana seseorang sedang menunggunya sejak satu jam yang lalu. Wanita yang duduk di sudut cafe di dekat jendela, lantas berdiri ketika melihat Ronald datang. Ia menyambut kedatangan pria kaya itu dengan suka cita. Sulit sekali membuat janji untuk bertemu dengan Ronald mengingat jadwalnya yang padat dan tak sembarang orang bisa bertemu. "Shamilah?" Ronald menunjuk perempuan di hadapannya ketika tiba di depan meja bernomor 23 itu. Dengan seutas senyuman, wanita itu mengangguk lemah. "Betul, Tuan. Saya Shamilah yang tempo hari mengirim surat pada Tuan." Sambil menarik napas panjang, Ronald lantas duduk berhadapan dengan Shamilah. Ia memberi kode pada Josh agar duduk menjauh dari mereka berdua. "Maaf, jika saya menggangu waktu Tuan yang sangat berharga. Tuan tentu tahu alasan saya ingin sekali ber
"Ini yang kau mau, huh!? Keributan ini yang kau inginkan?!"Prang.Suara teriakan dan benda pecah bergantian memekakkan telinga. Setiap malam, tiada pernah sekalipun pertengkaran demi pertengkaran berhenti terjadi di rumah kecil dan sangat sederhana itu. Di dalam kamar yang gelap gulita, Zane kecil duduk bersimpuh sambil memeluk kedua lutut mungilnya. Tubuhnya bergetar hebat, suara tangisnya bahkan nyaris tak terdengar. "Jangan menyebutku wanita hina! Kau jauh lebih hina karena tak pernah mempedulikan anak dan istrimu!""Anak haram pembawa sial itu bukanlah anakku!" "Tutup mulutmu, Bajingan! Kau yang menghamiliku dan merusak masa depanku!""Ibu ..." isak Zane lirih dengan hati sakit. Tangisnya semakin menjadi tatkala suara baku hantam itu kemudian berganti suara jeritan menakutkan. Zane masih ingat betul, suara-suara benda tumpul dan pecah belah terus silih berganti hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka. "Nendra." "Ibu."Zane bangkit dan berlari memeluk ibunya yang berdiri lem
Belle sampai di apartemen tak sampai satu jam, ia meminta Josh mengebut agar bisa sampai secepatnya. Suara tangisan Zane saat di telepon tadi, telah membuatnya sangat khawatir. Ia yakin Zane pasti sedang bergulat dengan masalah yang sangat berat, mengingat suaminya itu sangat perasa tapi tak pernah mau merepotkan orang lain. Jika ia berkata butuh dipeluk, Belle paham sedalam apa luka yang sedang dirasakan suaminya itu. Melihat Belle masuk ke dalam kamar, Zane yang sedari tadi duduk di lantai sambil memperhatikan pemandangan kota, sontak berdiri dan memeluk istrinya. Ia lantas membawa tubuh Belle ke atas ranjang dan melanjutkan pelukan mereka di sana. Tanpa berkata apapun, Belle hanya memeluk dan mengusap rambut suaminya dengan penuh kasih. Zane pun belum membuka suara, ia hanya menikmati pelukan nyaman itu dengan mata terpejam. Karena lelah semalaman tak tidur, Zane akhirnya terlelap di dekapan Belle. Sesekali terdengar suara rintihan dari bibir suaminya, seakan-akan rasa sakit di
Selama dua hari, kondisi Zane drop dan lemah. Belle yang tak tahu harus meminta bantuan pada siapa, terpaksa menghubungi Amanda dan meminta tolong untuk sekedar memesan makanan. Zane tak mengijinkan Belle untuk menghubungi Ronald, karena ia tahu jika mertuanya selama ini diam-diam telah bersekongkol dengan wanita itu."Meskipun kamu nggak bisa memaafkan ibumu, setidaknya belajarlah untuk melupakan dia, Zane." Entah sudah berapa kali Belle menasihati Zane demikian, ia telah berusaha untuk menemani suaminya melewati masa-masa sulitnya, meskipun terkadang Zane masih lebih sering melamun sendirian. "Dia bukan ibuku, Belle. Mungkin aku memang lahir dari rahimnya, tapi dia tidak pantas disebut ibu setelah apa yang dia lakukan padaku!" "Dendam nggak akan membuatmu lega, Zane. Kamu justru akan semakin hancur dengan menyimpan dendam itu di hatimu.""Aku tidak dendam. Aku hanya tidak bisa melupakan semua perbuatan dia di masa lalu." Zane memandang istrinya dengan tatapan dingin. Belakangan,
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton