Tubuh ringkih dan kurus itu tergeletak tak jauh dari tempat tidur ketika Zane meringsek masuk ke dalam kamar. Zane sontak berlari dan menggotong Bik Milah ke atas ranjang, membaringkannya tanpa bantal agar posisi tubuhnya sejajar. Tubuh wanita paruh baya itu panas. Wajahnya juga merah merona seperti menahan sakit. "Bik," panggil Zane panik sembari menepuk pipi pelayan barunya itu. Tak ada respon, Bik Milah tetap terpejam dengan napas yang berhembus lemah. "Bik Milah." Sekali lagi Zane menepuk pipi wanita itu sedikit keras, mungkin dengan begitu ia akan bangun. Saat masih juga belum menunjukkan respon apa-apa, Zane pun bergegas ke dapur untuk mengambil baskom dan kain. Setidaknya suhu tubuhnya harus di turunkan dahulu. Usai mengisi baskom itu dengan air dingin, Zane bergegas kembali ke kamar Bik Milah dan menempatkan kain basah itu di kening pelayannya. Sekali lagi, Zane mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pelan pipi wanita tua itu. Beberapa menit kemudian, saat Zane mul
"Berdasarkan target market yang sudah kami survey selama dua bulan ini. Maka seharusnya projects.... Bla bla bla...""Pak." Lamunan Zane seketika bubar. Ia menoleh ragu pada Rio yang baru saja memanggilnya dengan suara lirih tepat di telinga. Saat netra keduanya bertemu, Rio mengarahkan tatapannya pada seseorang yang sedang presentasi di depan mereka. Ya, seharian ini Zane kehilangan fokus. Rio sampai harus menepuk pundak bosnya berulang kali sebagai kode agar Zane kembali ke dunia nyata dan tak melanglang buana ke alam bawah sadarnya. Bukan tanpa alasan semua itu terjadi. Zane merasa ada yang janggal dengan sikap pelayannya tadi pagi, juga semalam. Sebenarnya Zane sudah sering memergoki Bik Milah mencuri-curi pandang padanya atau pada Belle. Juga wanita tua itu terlalu sering mengurung diri di kamar, alih-alih menghabiskan waktu istirahatnya dengan menonton tivi seperti Bik Asih dulu. Bisa jadi, ia sungkan karena masih belum lama tinggal bersama Zane, tetapi caranya memandang Bel
Sekilas, tak ada yang mencurigakan di kamar berukuran 3x4 meter itu. Letak perabotannya masih sama seperti saat ditempati oleh Bik Asih. Hanya saja, beberapa benda yang tercecer di meja nakas di dekat ranjang, lantas menyita perhatian Zane. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang berukuran single tersebut. Ada beberapa kertas nota, bolpoin, obat-obatan dan juga uang receh di atas meja kecil itu. Jam tangan yang sudah lusuh, juga sebuah cincin berukuran kecil lantas membuat Zane semakin penasaran. Tangannya perlahan membuka sebuah laci di bawah meja, dan bola matanya membeliak ketika selembar foto pernikahannya dan Belle berada di sana. Sepertinya Bik Milah memotongnya dari koran yang mempublish berita pernikahannya beberapa bulan yang lalu. Tapi, untuk apa Bik Milah menyimpan foto ini? Belum terjawab rasa penasaran Zane, tatapannya beralih pada selembar foto lain yang sudah buram dan lecek. Ia memperhatikan foto seorang bayi itu dengan seksama, bayi siapa ini?"Oh, Bik Milah sudah p
Bandar Udara International Changi, Singapura. "Kamu senang?" Zane menggenggam jemari istrinya sembari mendorong kursi roda itu dengan senyuman lebar. Belle mengangguk cepat. "Aku nggak sabar pengen cepet besok! Rasanya seperti mimpi bisa melihat indahnya dunia lagi." Keduanya lantas dijemput oleh orang suruhan Ronald yang akan standby untuk melayani Zane dan Belle selama di Singapore. Pria bersama Frans tersebut mengantar Zane menuju hotel yang akan mereka tempati selama seminggu ke depan. "Zane, aku pengin jalan-jalan dulu sebentar. Bagaimana kalo kita nonton?" usul Belle merajuk. "Tidak. Kita harus ke hotel dan istirahat. Kamu tidak boleh terlalu capek," tolak Zane tegas. "Dokter sudah mewanti-wanti agar kamu dalam keadaan fit ketika di operasi.""Tapi aku pengen jalan-jalan, Zane. Aku bosen seminggu ini dikurung terus di rumah!" dengus Belle sambil bersedekap jengkel. "Tidak boleh. Nanti kita akan puas-puasin jalan-jalan kalo operasinya berhasil. Aku akan menuruti ke manapun
Seakan lupa pada janjinya untuk tidak menyentuh Belle sebelum ingatan istrinya itu kembali, Zane melakukan hubungan badan itu tanpa beban berulang kali hingga sore. Bahkan Belle pun yang tadinya kesakitan di awal-awal, mulai ketagihan dan tak ingin mereka menyelesaikan permainan penuh kenikmatan itu. "Dulu aku sempat curiga kalo kamu sudah tidak perawan, tapi ternyata aku salah," ucap Zane usai mengecup kening istrinya. Keduanya kini sudah kelelahan dan bersiap untuk istirahat sejenak sebelum mencari makan malam. Sambil berpelukan tanpa sehelai benang pun di badan, keduanya kini tak canggung saling menempel satu sama lain. "Kenapa kamu bisa menuduhku begitu!" protes Belle sengit dengan bibir mengerucut maju. "Karena hubungan kamu dan Bryan terlalu ekstrim. Bahkan meski sudah menikah, kamu masih tidak mau putus dari dia. Bukankah wajar kalo aku lantas curiga?" Zane membeberkan alibinya dengan gamblang. "Dasar egois! Sekarang cabut kembali tuduhanmu itu." Belle mencubit perut Zane
"Belle.""Hm?" Zane termangu untuk beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam hingga dadanya terasa penuh sesak oleh oksigen. "Kenapa, Zane?" tanya Belle sembari menarik kepalanya dari dada hangat sang suami. "Aku sangat menyayangimu." Zane mencium kening istrinya cukup lama, tiba-tiba saja air matanya menetes haru atas pengorbanan besar yang baru saja wanita itu lakukan. Dua jam yang lalu. Belle menahan Zane yang hendak pergi untuk membantu pria tua itu. Tadinya Belle pikir, Zane akan memaki seperti yang dilakukan Frans. Hingga akhirnya ia buka suara. "Hentikan, Frans! Cukup," seru Belle dengan tubuh gemetar, ia tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya pria tua itu jatuh membentur lantai. "Sakit apa putri anda, Pak?" tanya Belle prihatin. "Bolehkah saya menemuinya sebelum memutuskan jawaban saya?" "Tentu, Nona!" Pria itu sontak berdiri tanpa mempedulikan rasa sakit yang ia rasakan di tungkai kakinya. "Putri saya juga dirawat di Rumah Sakit ini. Mari ikut dengan saya!" Pr
"Zane, ada apa?" Entah sudah berapa kali Belle melontarkan pertanyaan itu ketika Zane mendadak mengajak istrinya itu pulang ke Indonesia malam ini juga. Bahkan Zane tak lagi meneruskan permainan panas mereka usai menerima telepon dari seseorang. Meskipun kecewa karena merasa tanggung, tetapi Belle menghormati keputusan suaminya yang seolah menyimpan sesuatu. Kini keduanya telah berada di pesawat yang sedang landing di bandara Soekarno Hatta. Zane tak banyak bicara, ia hanya menanggapi pertanyaan Belle sesekali tapi tidak pernah menjawab secara gamblang. "Josh akan mengantarmu ke rumah papa. Aku harus ke suatu tempat dan menyelesaikan beberapa masalah.""Zane!" Belle menahan lengan suaminya yang baru saja memasang seatbelt di kursi istrinya. "Apa terjadi sesuatu yang gawat?" tebaknya cemas. Dalam sekali helaan napas, Zane mengurai cekalan istrinya dan mundur. "Tidak, Belle. Jangan khawatir. Aku berjanji akan menemuimu nanti. Pergilah, Josh!" perintah Zane lugas sebelum kemudian me
Tiga bulan sebelumnya. Di salah satu sudut cafe yang cukup ramai. Ronald baru saja turun dari mobil ketika Josh membukakan pintu untuknya. Dengan langkah tegap, ia berjalan memasuki tempat di mana seseorang sedang menunggunya sejak satu jam yang lalu. Wanita yang duduk di sudut cafe di dekat jendela, lantas berdiri ketika melihat Ronald datang. Ia menyambut kedatangan pria kaya itu dengan suka cita. Sulit sekali membuat janji untuk bertemu dengan Ronald mengingat jadwalnya yang padat dan tak sembarang orang bisa bertemu. "Shamilah?" Ronald menunjuk perempuan di hadapannya ketika tiba di depan meja bernomor 23 itu. Dengan seutas senyuman, wanita itu mengangguk lemah. "Betul, Tuan. Saya Shamilah yang tempo hari mengirim surat pada Tuan." Sambil menarik napas panjang, Ronald lantas duduk berhadapan dengan Shamilah. Ia memberi kode pada Josh agar duduk menjauh dari mereka berdua. "Maaf, jika saya menggangu waktu Tuan yang sangat berharga. Tuan tentu tahu alasan saya ingin sekali ber
Selama prosesi pemakaman, Zane lebih banyak terlibat di dalamnya. Ia turut menggotong keranda Shamilah, ia juga turun ke liang kubur untuk mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menahan tangis, Zane juga mengadzani jenazah ibunya sebelum akhirnya ia menyampaikan salam perpisahan. "Aku menyayangimu, Ibu. Beristirahatlah dengan tenang, selamat jalan." Hanya kalimat itu yang Zane katakan secara sadar, karena setelahnya ia tak bisa mengingat apapun lagi. Saat kembali membuka mata, ia sudah berada di apartemen dengan beberapa orang mengelilinginya sambil menangis. Belle berulangkali mengucap syukur sambil menciumi suaminya. Amanda dan Rio bahkan saling berpelukan penuh haru tak jauh dari mereka. Ronald, masih dengan mata yang basah, ikut mendekat dan memeluk menantunya. "Stay strong, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk mendiang Ibumu. Dia pasti sangat bangga padamu, Zane." Setetes air mata lolos kembali dari sudut mata Zane, mengingat ibunya mas
Malam itu juga, Zane meminta bantuan pada Rio untuk mencari tahu di mana ibunya berada.Tak mungkin Zane menghubungi mertuanya karena ia tak ingin mengganggu istirahat Ronald. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, Rio akhirnya mendapat nama rumah sakit di mana Shamilah saat ini tengah dirawat. Bersama Belle, Zane akhirnya berangkat menuju rumah sakit tersebut. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu, Zane takut ibunya keburu pergi seperti nenek Lila dulu. Dan benar saja, saat Zane berlari menyusuri lorong tempat Shamilah dirawat, beberapa orang suster nampak keluar dari ruangan itu dengan wajah panik. Rasanya sekujur tubuh Zane memanas detik itu juga, ia sontak berlari semakin cepat dan meringsek masuk ke kamar di mana ibunya berada. Wajah pucat itu, sedang berusaha keras bernapas melalui selang oksigen di hidungnya. Air mata Zane kembali menetes ketika dilihatnya tubuh ibunya mulai kesusahan untuk menghirup oksigen itu. "Ibu..." Zane mendekat tanpa mempedulikan beberapa orang suster y
Teruntuk anakku tersayang, Zanendra Aditya. Saat kamu membuka surat ini, mungkin perasaanmu pada Ibu masih sama. Benci, marah, dan kecewa pasti masih kamu rasakan hingga saat ini. Tapi, melalui surat ini ijinkan Ibu untuk menjelaskan padamu beberapa hal yang tidak sempat Ibu katakan malam itu. Zane, demikian kamu dipanggil oleh mereka yang menyayangimu, nama indah yang berarti hadiah/ berkat dari Tuhan. Semua yang mengenalmu pasti akan menyayangimu, dan Ibu bersyukur akan hal itu. Zane yang kini tumbuh menjadi pria dewasa yang hebat dan penyayang, Ibu bangga pernah menjadi bagian dari masa kecilmu. Anakku, Zanendra anakku, bocah kecil yang selalu menemani Ibu tidur dan memeluk Ibu setiap malam, maafkan Ibu yang telah membuatmu trauma seperti ini. Seandainya bisa memutar kembali waktu, seandainya Ibu masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dari awal lagi, mungkin Ibu akan membawamu pergi tanpa harus membunuh pria itu. Agar kita bisa melalui masa berat itu berdua, agar I
Selama proses pemulihan dari operasinya, Zane selalu mendampingi Belle tanpa sekalipun beranjak meninggalkannya. Zane menepati janjinya untuk selalu siaga 24 jam demi memastikan istrinya baik-baik saja. Kembali pulang ke tanah air, Bik Asih menyambut kedatangan majikannya dengan penuh sukacita. Pun Ronald tak bisa menyembunyikan kebahagiaan dan rasa syukurnya ketika mendapati putrinya telah bisa melihat seperti dulu kala. "Papa akan mengadakan acara syukuran dan mengundang anak-anak yayasan untuk datang. Kesembuhanmu patut dirayakan, Belle," ujar Ronald berjanji. Belle hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, meskipun penglihatannya belum sepenuhnya jernih melihat objek di depannya, tetapi Belle tetap bersyukur kini ia bisa melihat orang-orang yang ia sayangi. "Di mana Zane? Apa dia belum pulang dari kantor?" Pandangan Ronald mengedar mencari sosok menantunya. "Zane akan segera kembali, Pa. Tadi habis mengantarku pulang, dia langsung ke kantor karena ada meeting penting
"Apa sudah selesai anda menghina saya, Nona?" "Saya terima nikah dan kawinnya Belle Ivy Janata binti Ronald Janata dengan mas kawin tersebut tunai.""Saat kita berpisah nanti, apakah aku masih boleh mengunjungi papamu?""Karena pohon ini akan tetap tumbuh meskipun dia tidak disiram dan tidak dirawat dengan baik. Sama sepertiku." "Bahkan sampah yang tidak berguna, bisa bermanfaat di tangan orang yang tepat. Aku salah satu sampah itu, dan ternyata orang yang tepat bukanlah kamu.""Kalo kamu bisa melakukannya dengan Bryan, lalu kenapa kamu tidak mau melakukannya denganku?" "Itu gajiku bulan ini.""Satu-satunya perempuan yang akan melakukan hubungan badan denganku hanya kamu, Belle!" "Ya sudah, maaf ya, Istriku. Aku janji kalo suatu saat kamu sakit, aku akan jagain kamu 24 jam sampai kamu sembuh." "Zane ..." Kilasan kejadian demi kejadian lewat secara bergantian di ingatan Belle. Semuanya tentang Zane, sejak pertama kali mereka bertemu hingga ingatan terakhirnya sebelum kecelakaan
Seperti yang sudah dinanti-nantikan, akhirnya hari itu tiba jua. Ronald mengantar Belle dan Zane di bandara seperti biasanya. Kali ini, Rio ikut menemani bosnya karena Zane butuh seseorang untuk menemani dan menenangkannya selama Belle dioperasi. Tak banyak halangan yang berarti, bahkan semua berjalan dengan sangat lancar. Cuaca pun seakan merestui sepanjang Zane landing di Singapore dan tiba di hotel. Karena operasi masih dilakukan besok, jadi Zane dan Belle masih punya waktu untuk istirahat. "Aku penasaran, kenapa beberapa hari ini kamu selalu memakai kalung itu?" Zane memperhatikan kalung sederhana berliontin permata kecil di leher istrinya. Dengan penuh perasaan, Belle menyentuh bandul permata pemberian Milah dan tersenyum mengingat momen terakhirnya bersama sang mertua. Sewaktu Belle meminta tolong pada Milah untuk memasangkan kalung itu dilehernya, wanita itu menangis penuh haru dan bahagia. Dia bahkan memeluk dan mencium Belle sebelum akhirnya benar-benar pergi. "Belle, k
"Benarkah?" Belle memekik girang ketika Zane mengabarinya bahwa minggu depan ada donor kornea yang tersedia untuknya. Dengan senyuman lebar, Zane mengangguk dan memeluk istrinya dengan erat. "Benar. Kamu harus banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu capek mengurusiku.""Cih, terus siapa yang mau ngurusin kamu kalo bukan aku?" ledek Belle sembari menjulurkan lidah. "Sepertinya ide Amanda tidak terlalu buruk.""Maksudmu!?" Belle mendelik dan mendorong tubuh suaminya yang betah memeluknya sejak tadi. "Coba saja kalo berani!""Kenapa harus takut!?""Oh, jadi begitu!? Kamu sekarang sudah berani meladeni tantangan dariku?" Zane hanya tertawa menanggapi omelan istrinya. Ia menghujani Belle dengan ciuman dan menggendongnya ke atas ranjang. Ia pandangi wajah dengan bibir manyun itu dengan gemas. "Bagaimana bisa aku cari wanita pengganti kalo istriku secantik ini? Bahkan meskipun dia menolak mengandung anakku, aku akan menunggu dia sampai siap, selama apapun itu." "Zane." Belle memoton
Bukan tanpa alasan Rio bertanya tentang Amanda pada bosnya. Tadinya, ia hanya iseng agar Zane berhenti melamun. Namun, Zane justru menanggapi pertanyaan itu dengan serius dan mengajaknya untuk makan malam bersama. Sungguh, Rio merasa serba salah dan bingung untuk memutuskan. "Besok malam Amanda ada waktu. Kita akan makan malam di restoran favorit istriku, bagaimana?"Wajah Zane yang sesaat lalu terlihat murung, kini kembali ceria usai menelepon Amanda untuk mengajaknya makan malam. Mau tak mau, Rio akhirnya mengangguk dengan sangat terpaksa. "Ya sudah, cepat keluar dan selesaikan pekerjaanmu," usir Zane sembari bersiap membuka berkas yang menumpuk di mejanya. Dengan langkah lebar, Rio bergegas pergi sembari mengutuk dirinya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak mungkin menarik kembali ucapannya mengingat Zane sangat menjaga Amanda seperti adiknya sendiri. Bisa-bisa Rio babak belur jika Zane tahu bila ia hanya iseng bertanya tentang Amanda. Keesokan hari, Zane menyelesaikan p
Kehadiran orang-orang yang peduli dan menyayanginya, membuat Zane perlahan bangkit dan move on dari momen menyakitkan yang ia alami seminggu yang lalu. Kini, Zane sudah mulai ngantor setelah berhari-hari meliburkan diri dan menikmati waktu berdua dengan Belle di apartemen. Keduanya saling menguatkan dan menghibur satu sama lain, Zane mulai bisa tersenyum kembali setelah sebelumnya selalu murung dan merenung sendiri. "Permisi, Pak. Ada Pak Ronald di luar." Rio meringsek masuk ke dalam ruangan kerja bosnya. "Beliau ingin menemui anda."Dengan dada yang mulai terasa sesak kembali, Zane lantas menutup map di hadapannya dan berkata, "persilahkan beliau masuk, Rio."Tak seberapa lama setelah Rio keluar, Ronald pun muncul dengan wajah tak terbaca. Tak ada senyuman, tak ada raut kesedihan. Baru kali ini Zane melihat wajah tanpa ekspresi itu nampak di raut mertuanya. Dengan tanggap, Zane bangkit dan mempersilahkan Ronald untuk duduk di sofa panjang tak jauh dari meja kerjanya. Ia paham, Rona